Tinggal menghitung hari, segala hal menyangkut arena pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 akan segera usai. Apapun dalilnya, pasangan Jokowi-Jk kini hampir dipastikan lahir sebagai pemenang. Meski begitu, Beliau belumlah menjadi apa-apa, mengingat peluit terakhir belum berbunyi. Artinya, simpati serta dukungan publik tetaplah berguna dalam bentuk apapun.
Keadaan ini boleh saja diambil sebagai langkah kecil dari rangkaian panjang merebut cita-cita Reforma Agraria, baik bagi petani maupun pegiat isu agraria sebagai pendukung gerakan tani, yang selama ini ambil bagian dalam pemenangan Jokowi-Jk. Masa transisi adalah hari baik untuk mengurai perihal agraria dan problemnya kepada figur salam dua jari tersebut.
Demikian kiranya sepenggal topik menarik yang melintas di pagi ini (16/8). “Stidaknya melontarkan hal-hal minimum dari rangkaian perjuangan Reforma Agraria,” tutur Made (34) dalam diskusi ringan di sekretariat sebuah Ormas Tani yang terletak di Kota Jambi.
Made mengaku, hak suaranya digunakan tidak untuk menitipkan perubahan nasibnya, nasib hidup rakyat miskin lainnya, termasuk petani di pedesaan, menuju arah lebih baik. Tapi paling tidak, jangan berikan kekuasaan pada calon pimpinan berwatak fasis, yang selalu memboyong kekuatan militer dan pasukan bersenjata lainnya dalam menghalangi aksi-aksi rakyat menuntut kesejahteraan ditingkatkan. Lebih khusus upaya petani dalam mempertahankan tanahnya. Praktek demikian, adalah bagian dari bentuk-bentuk ketidak inginan Reforma Agraria itu ada.
“Misal, seratus hari pertama masa jabatan Jokowi-Jk, minimal ada komitmen untuk menarik seluruh pasukan militer maupun kepolisian yang selama ini ditempatkan di daerah-daerah konflik agraria,” sambung pemuda yang aktif dalam sebuah Ormas Tani tersebut.
Pandangan tersebut kemudian disambut baik oleh Bonang, staf urusan jaringan di sebuah NGO yang berkedudukan di Pekan Baru, Riau. Menurutnya, rumah transisi harusnya membuka ruang dialog bagi petani dan para aktivis agraria untuk membeberkan apa Reforma Agraria itu sesungguhnya, dan bagaimana keadaan yang dialami petani hari ini.
“Kesempatan ini harus ditangkap, selagi ruang tatap muka belum terhambat oleh aturan surat-menyurat dan protokoler yang rumit”, Sambar Bonang, yang juga terlibat sebagai pengurus tim relawan Seknas Tani untuk Jokowi-Jk di Propinsi Riau dan Sumatera Barat ini.
Reforma Agraria memang merupakan agenda harapan. Sebuah jawaban atas keadaan pengelolaan sumber-sumber agraria hari ini. Bukan hal mudah untuk dipahami, bukan pula bebas rintangan dalam menjalankannya. Lantas, bagaimana Jokowi memiliki pengertian atas Reforma Agraria, dan bagaimana penerjemahannya terhadap situasi agraria hari ini?
Reforma Agraria antara program dan janji politik
Dalam visi misinya, pasangan kemeja kotak-kotak ini meletakkan program Reforma Agraria di poin lima dalam sembilan agenda prioritas yang akan dijalankan masa pemerintahannya mendatang. Jokowi dan partnernya, Muhammad Jusuf Kalla berjanji akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program ‘Indonesia Kerja’ dan ‘Indonesia Sejahtera’ dengan ‘Mendorong land referom dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar’.
Kabar nostalgia kepemerintahan Orde Lama ini disambut hangat dan mendapat dukungan dari sejumlah kalangan pegiat isu agraria tanah air. Satu diantaranya adalah Noer Fauzi Rachman, Dewan Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Menurutnya, tak terlintas keraguan atas program perbaikan sektor pertanian yang termuat dalam visi misi Jokowi-Jk.
“Dari visi dan misinya jelas bahwa beliau pro pada agenda Reforma Agraria,” jelasnya, usai deklarasi dukungan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk pasangan Jokowi-Jk, di Hotel Ibis, (23/5), dikutip oleh suaraagraria.com (24/5).
Lain lagi tanggapan yang terlontar dari seorang Setia P. Longge. Peneliti Pokja Kajian Agraria LPPM-IPB itu, menilai bahwa masih tersisa pertanyaan besar dari program yang dijanjikan oleh Jokowi-Jk diatas. “Bagaiaman dan dari mana pengalokasian lahan seluas 9 juta hektar diperloh? Mengingat luasan lahan di negeri ini sudah sedemikian terbatas dan secara legal hanya tersedia di dalam kawasan hutan negara, HGU, tanah terlantar dan areal pasca-tambang,” tulisnya dalam artikel Menelisik Agenda Reforma Agraria Capres, dimuat oleh jurnas.com (8/7).
Selain itu, Rongge juga masih menyoal tentang upaya Jokowi-Jk menaikkan akses petani atas lahan, yang rata-rata menguasai 0,3 hektar menjadi 2 hektar untuk masing-masing Kepala Keluarga. ”Padahal, jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia tahun 2013, menurut BPS, mencapai 14,25 juta. Artinya, terdapat kebutuhan 24 hektar lahan produktif,” lanjutnya.
Tampaknya pada tataran ide saja sudah menuai banyak persepsi. Kembali pada topik pagi milik Made, Bonang dkk yang melingkari sebuah meja buram, memang tak dapat diharap Reforma Agraria itu mulus di tangan pemerintah baru. Suara jalanan tetap bergema, petani tetap berjuang di desa-desa. Perubahan tetap ada di tangan rakyat dan kaum muda yang berserikat.
Topik pagi ini hanya soal memontum semata, tentang rumah transisi yang masih bisa diketuk. Kemungkinan penghuninya membuka pintu dan berdialog masih menampakkan celah. Jika sang jagoan sudah di istana, rakyat melaporkan ketimpangan grararia sudah harus teriak lantang dan butuh energi besar dari rakyat, terutama masyarakat pedesaan. Pasalnya, kepentingan petani adalah satu dari banyak kepentingan elit yang berdesak-desakan. Berkaca pada masa sebelumnya, kepentingan itu selalu bertentangan, dan kekuatan adalah kunci kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H