Tanggal 16 Oktober, merupakan suatu momen yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pangan se-Dunia. Tentu tidak ada satu Negara pun yang mau ketinggalan dalam merayakan peringatan hari pangan ini. Peringatan hari pangan didirikan oleh Negara-negara anggota FAO (Food and Agriculture Organization) pada konferensi umum ke-20, November 1979.
Di Indonesia sendiri, peringatan hari pangan tahun ini juga dirayakan dengan begitu meriah. Salah satunya di Palangkaraya. Peringatan hari pangan dirayakan dalam bentuk pameran dan bazar, dengan tema ‘Agroindustri Berbasis Kemitraan Petani Menuju Kemandirian Pangan’. Perayaan yang tak kalah meriah juga digelar di beberapa provinsi atau daerah oleh badan pemerintah maupun komunitas-komunitas lainnya.
Tentu saya sangat setuju jika peringatan ini haruslah dirayakan dengan meriah dan gegap gempita. Karena perayaan ini merupakan sebuah moment hari raya bagi seluruh rakyat didunia – khusunya kaum tani – yang telah memberikan makanan terhadap manusia yang hidup diseluruh belahan dunia.
Berbeda dengan kalangan gerakan tani di Indonesia bahkan di Asia dalam menyikapi peringatan Hari Pangan se-Dunia ini. Organisasi tani se-Asia, APC (Asian Peasant Coalition), memperingati hari pangan sedunia dengan rangkaian kegiatan yang bertema ‘Hari Kelaparan se-Dunia’. Tema ini merupakan suatu bentuk protes terhadap masalah ketimpangan agraria yang berdampak pada masalah kerentanan pangan.
Saya juga sangat sepakat dengan tema ini. Karena masih terdapat jutaan orang didunia yang terjerat dalam deraan kelaparan dan kemiskinan kronis yang tidak teratasi. Data terakhir dari FAO (9-19-2012) menjelaskan, bahwa masih ada 870 juta jiwa warga didunia yang menderita kelaparan. Ditahun 2012 ini, menurut FAO telah terjadi penurunan angka kelaparan dari 925 juta jiwa, pada tahun 2010.
Namun menurut saya, tetap saja hal ini merupakan sebuah ironi yang sangat menyedihkan. Mayoritas dari penderita kelaparan tersebut adalah para petani skala kecil di pedesaan, yang semestinya menjadi pusat produksi pertanian pangan. Semoga kenyataan ini tidak hanya menjadi catatan semata, melainkan menjadi sebuah pijakan dalam mengatasi kasus pangan ini, tentunya berbasiskan kedaulatan rakyat atas pangan.
Masalah Ketimpangan Agraria
Sejauh ini, masalah pangan yang berujung pada terjadinya kasus kelaparan di dunia, dipicu oleh ketimpangan pada struktur agraria. Intensifnya praktek perampasan tanah dalam skala global, merupakan satu factor utama yang memperburuk kerentanan dunia dalam hal pangan. Aktivitas perampasan tanah ini juga didorong oleh adanya prediksi bahwa akan terjadi peningkatan permintaan komoditi pangan skala besar.
Beberapa Negara saat ini, sedang gencarnya melakukan penguasaan lahan diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. MIFFE (Marauke Integrated Food Farm Estate) adalah salah satu proyek investasi pangan skala besar, yang pada awalnya hendak didanai oleh perusahaan milik keluarga Bin Laden, Arab Saudi. Investasi industry pangan skala besar inilah yang justru memperburuk kerentanan akses terhadap pangan.
Ada beberapa alasan terhadap ungkapan diatas. Pertama, tersingkirnya produksi pertanian skala kecil akibat perampasan tanah yang menyasar pada tanah-tanah subur, yang selama ini menjadi sumber produksi bagi petani tradisional skala kecil tadi. Sekaligus, menyingkirkan sumber kebutuhan pangan utama bagi mereka dan keluarga.
Kedua, mempersempit lahan garapan petani yang selama ini menganut system berladang dan berpindah-pindah. Akibat dari permpasan tanah untuk industry pangan skala besar serta perluasan industry perkebunan kelapa sawit ini, juga telah merusak system produksi pertanian pangan bagi petani, karena telah dipaksa untuk melakukan system produksi pertanian menetap. Tentu hal ini membutuhkan biaya produski yang cukup besar.