"Haaaahh . . . . " Isyam memekik kaget? matanya melotot dengan mulut menganggah saking syoknya.
"Berapa? Berapa tadi sebungkus?" Kali ini ia meluapkan rasa penasarannya dengan mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk dalam benaknya. Ahh rasanya seperti gemuruh yang ingin segerah menyuarakan gaungnya, dari tadi ia menahan namun tak tertahankan. Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.
 "Lima ribu, syam. Emangnya kenapa se? " jawab Miza enteng
      "ituu . . . itu. Kok murah banget!  Segitu banyak cuma lima ribu?" Isyam masih terbengong sambil merogoh kantong baju seragamnya.
"Lha memangnya mau berapa?" tanya Ziva sambil mencomot potongan buah semangka.
"Di kalimantan harga sebungkus rujak dua puluh lima ribu. Di Lamongan semua-semua pada murah sekali. Dua puluh lima ribu bisa buat nraktir rujak teman sekelas." Isyam menjawab dengan mencocol buah nanas dengan Sambal. Sambil mengunya ia masih dibuat terheran akan harga-harga yang jauh lebih murah dari tempatnya.
"Satu lagi, rujak di Lamongan, kenapa rasanya selezat ini? Manis, asam, asin, kecutnya kok bisa pas semua. Ooohh iya apa itu tadi, yang dicampurkan hitam-hitam aku tidak pernah melihatnya di Kalimantan" Lanjut Hisyam
"Kalau di Madura itu namanya petis ikan, dibuat rujak, atau sambal tomat, duh aduuh rasanya nyaman sekali tak iye " Sahut Dimas dengan logat khas Maduranya.
"Sudah kau coba kah rangginang khas Madura yang ada macam cumi-cumi kecilnya itu kakak?, pasti kau bakal ketagihan. Aku pernah dibawakan Dimas." Sahut Alvaro yang kental dengan logat khas Papuanya.
"itu namanya ranginang Lorjuk khas madura, itu bukan cumi-cumi tak iye, itu lorjuk." Dimas membenarkan dengan meraih keripik yang dibawa Udin.
"Heeyy kakak, dari mana kau dapatkan keripik keladi itu? Sudah lama aku tidak memakannya. Kau habis dari papua kah? " Tanya Alvaro dengan mata berbinar penuh kerinduan akan kampung halaman. Tanpa ba bi bu ia langsung meraih keripik Udin dan mengambil satu genggam penuh.