"What.....???" Hitam. Aku tak bergumam, suaraku tercekat, terserap habis pada dinding-dinding pengucapku. Ada apa dengan matanya ??? Aku hafal betul itu, segelas kopi pada dimensi dua belas tahun terakhirku. Si hitam yang tak pernah lelah membuatku merona. Ah.... Konyol, dalam momen sesakral itu aku dengan polosnya mengukir sejarah. Tentu saja dengan tanpa sengaja. Kekonyolan yang keesokan harinya mampu membuatku tersipu, hanya karena menjadi santapan bibirbibir mungil mereka. Sebuah pengucap yang kental dengan kepolosan. Lucu memang, hanya dalam satu gerakan, mampu kuratakan habis isinya. Menciptakan genangan, hingga cairan hitam itu membentuk pusaran, pusaran yang sampai detik ini tidak mampu kutepis adanya. Hitam... "Ta'...,???!!" suara bass setengah basah itu menyapaku, aku tetap tertegum, berusaha sekuat mungkin menciptakan kesadaran. Sebuah ingatan yang terbingkis manis dalam sudut memori. Tak kutangkap siluit jemarinya yang tergerak bebas membawaku pada kenyataan yang hampir tak kumiliki saat ini. Ujung jemarinya menyentuh hidungku persis seperti waktu itu. Aku mulai tergetar, ada degub aneh memompa rasa, dengan caranya ia membuatku berbeda. "Sial si hitam itu...." Batinku mengerutu, berusaha berontak dari rona yang hadir tanpa kupinta. "Kamu Martha kan??" kali ini dengan penegasan, dan hitam itu semakin ku nikmati kini. "Eeemmm,...eee" lagi-lagi hanya dengungan, diksiku hilang, mulutku seakan terkunci rapat. Aku sama sekali tidak bisa mengelak. Apalagi sedikit berbohong. Dalam diam aku terus bergumam, berharap masa mampu merubah sejarah. Namun aku keliru, pusaran hitam itu selalu mengingatkanku pada tatapannya, pada bola mata, yang sama hitamnya dengan kopi itu. Cahaya yang selama dua belas tahun terakhir membuaiku dalam lelap. Lelap yang tak pernah ku harap. Ah bodohnya aku mengembara dalam puing-puing sejarah lampaunya. "Kok diem, kamu Marta yang waktu itu ......" Oh No, ku berharap separuh memorinya lenyap, dan peristiwa konyol itu tak mampu ia ingat. Bukankah semuanya telah terbingkis manis?? Semanis kopi yang mampu menghitamkan masa laluku. Sampai hitam itu benar-benar rata, dan aku semakin tak bisa hidup tanpanya. "Ya ampun Martha kamu inget ndak, dua belas tahun yang lalu?? Kamu kan yang...." Kalimatnya menggantung, secepat mungkin kusambar sebelum kalimat itu menjalar lalu, peristiwa itu tergelar, dari belahan bibirnya yang kemerahan. " Ya, aku yang menumpahkan kopinya, aku Martha yang mengacaukan acaramu." Sekali lagi di luar kendali. Aku menyekat ucapannya. Aneh.., kenapa Dia justru sersenyum??? Manis..., semanis pusaran yang belum sempat kucicippi. Hikzz kok aku malah ingin nangis?? "iiiihhhh" Senyumnya Gemes samba menarik kedua pipiku. Apa itu berarti ia mencelahku? Apa mungkin, hanya gara-gara segelas wedang yang secara tak sengaja ku tumpahkan?? Aku heran baju yang baru kukenakan kadang aku lupa menaruhnya di mana. Tapi yang satu ini, my God tarik aku dari duniaMu Tuhan. Secepat Wedang yang aku tumpahkan. "Martha, kamu masih mengingatnya??" Dahinya berkerut, entah apa yang ia pikirkan saat ini? persetan dengan kenyataan. Aku harus mengakhirinya, aku mulai lelah bermain kata, apalagi bersilat lidah, toh si bola mata hitam belum tentu mengingatku. Apalagi peristiwa yang kusakralkan sebagai alasan untuk tetap mengenangnya. Atau mungkin selama ini aku yang terlalu banyak membohongi diri. "Ya, aku Martha lalu kenapa?? Kamu ingin ketawa? Coba saja. Tapi sebelum kamu melakukanya, aku tegaskan sekarang juga. Sekarang aku Martha pada dimensi yang berbeda. Aku bukan lagi si lugu yang dua belas tahun yang lalu menumpahkan wedang pada acara sunatanmu. Aku beda Aku..." "Aku tahu..." Sahutya pendek, Senyumnya mengembang. Kali ini begitu mengetarkan. Cahaya itu.!!! Hitam.!! Tanpa kuduga dan dengan tiba-tiba jemarinya menyentuhku memberi kekuatan dan aku. . . ., aku lunglai saat itu juga, dalam hati aku bertanya. Benarkah senyum itu untukku?? "Hans, kamu ngak marah.??" Gumamku pelan. Dia mengangguk lalu dengan suara yang entah dirancang untuk siapa, ia menjawab "Aku, suka caramu menginggatku" seketika aku luruh, suaranya begitu menyejukkan seperti embun pagi pada penghujung musim kemarau. Pusaran hitam itu perlahan menghilang, dari benak, imajinasi, juga dari paradigma yang selama ini mengusikku. Tidak sepenuhnya memang, karena aku seringkali tenggelam dalam lamun yang mengantarkanku pada ingatan akan sepasang bola mata hitamnya. Aahh bodohnya aku yang selalu merindu tanpa tahu letak sosok yang kurindukan. Sosok yang selalu membuat lesung pipiku mengembang ketika menatap setiap pusaran kopi yang terhidang. "Kamu adalah satu-satunya alasan yang menuntunku pada dimensi ini" ia menyambung kalimatnya seolah tak menangkap keherananku. "Aku suka setiap pesan yang kamu titipkan pada ribuan bangau-bangau kertas itu. Aku suka caramu mengagumiku." Ooooww no, jangan-jangan sijangkung ini pun fahan akan gelagatku yang diam-diam mengamatinya dari kejauhan, gelagat yang diam-diam mengubah sosoknya dalam bait-bait penuh makna. "Terimakasih telah mengagumiku selama ini, terimakasih pula telah mendeskripsikanku seindah itu" Whaaat? Dari mana ia berasal? Kenapa ia seolah mampu membaca setiap bait yang terlintas dalam pikiranku. Ataaauu mungkinkah ini keahliannya yang lain? Kemampuan keduanya yang semakin memikatku. "Apa tujuan kamu ke sini? " Sebuah pertanyaan datar terlontar, aku cepatcepat berpaling. Mencoba mengalihkan diri dari tatapan matanya. Dari keteduhan wajah yang selama ini memikat inginku. Seolah tak peduli kupalingkan wajah pada secercah cahaya dari balik bukit. Aaahh kehadirannya kali ini mengalihkanku pada manjanya senja yang tersipu jingga. Senja yang menjadi saksi akan sajak dan puisi yang membingkis mata hitamnya dalam diksi. "Tentu saja, menjadi jingga yang kau inginkan, mewujudkan sajak-sajak indahmu. Bukan hal yang mudah untuk sampai di sini. Seperti kamu yang selalu merasa bodoh oleh rasamu. Begitu juga aku yang hampir gila menelusuri jejek dimana sajak itu diciptakan." Ia mencoba mendekat lalu tanpa kukomando turut menikmati pancaran senja yang hendak berlabuh pada peraduannya. Ia seperti terkagum menikmati bola raksasa dengan semburat hangat itu, aaahh akan terasa tepat berada disini sore hari. Karena di sinilah panorama senja tergelar sempurna. "Lalu, setelah kamu menemukanku . . . ." Kataku menggantung "Entahlah akupun tak tahu betul, aku hanya ingin menemukanmu, mendapatimu yang sibuk melukisku dalam pilihan kata yang tepat. " aku tersenyum simpul, kuberanikan diri menyelami kedua bola mata hitamnya. Kutatap ia lekat-lekat, aaahh kenapa aku masih saja terpikat. "Bolehkah aku menjadi satu-satunya obyek yang kamu tulis? Bisakah aku menggantikan jingga yang memberimu kehangatan. Bisakah aku menjadi apapun yang kamu kagumi." Aku terperanga, penglihatku mulai menghanggat sehanggat permintaanya sore ini, hidungku pengar, namun sebisa mungkin kutahan haruku menerobos dari barisan bulu mata. "Bisa ta'? bisa aku menjadi itu? Sepertimu diam-diam aku terhipnotis akanmu. Terbuai pada huruf-huruf yang bersanding indah saat bersentuhan dengan huruf lainnya. Kamu, iya kamu. Gadis yang sejak 12 tahun yang lalu ingin kubahagiakan. Kadang aku malu pada Tuhan, kamu yang selalu kuceritakan Lewat doaku memilih untuk pergi. Lalu menyisahkan sajak-sajak sebagai jejak." Aaahh benarkah? Mungkin saja doa kami beradu, lalu kebaikan Tuhan mempertemukan kami disini. Diperaduan senja yang mulai beranjak menghitam. Sehitam kopi yang kutumpahkan. Sehitam puing-puing dimensi sejarah yang kemudian menuntunya ke arahku. Aku suka senja, namun bola mata dan setiap hal tentangnya yang selalu kudeskripsikan. Seperti hitam yang melekat pada kopi. Seperti kisah yang tertulis tentang rasa yang bermula dari kopi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI