Mohon tunggu...
ohjuliette
ohjuliette Mohon Tunggu... Lainnya - Gadis dua puluh empat tahun yang suka membuat pantun, apalagi sambil melamun.

Tainan, Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Andai Papa Tahu

30 Juni 2021   21:21 Diperbarui: 30 Juni 2021   21:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Andai Papa tahu berapa lama aku menangis di hari pertama bulan Juni setiap tahun.
Kue merah jambu bersusun, terusan anggun, pesta dengan lagu ceria mengalun, ternyata tak mampu mengusir sedih di ubun-ubun.
“Papa pasti datang,” janjimu tiap kali.
“Papa nggak bisa datang,” lagi dan lagi.
Bukan boneka Barbie berambut pirang atau setumpuk buku cerita tentang malam-malam terang, bukan.
Sudah cukup Papa datang saja. Aku hanya ingin bermanja-manja.
Kata orang, anak semata wayang pasti disayang.
Ah, Papa hanya bayang-bayang.

Andai Papa tahu betapa marahnya Mama ketika aku berkata aku rindu Papa.
“Anggap saja Papa sudah mati!” bentaknya, “Berapa kali harus Mama bilang biar kamu ngerti?”
Aku termenung. Langit ikut bingung, bintang-bintang merenung. Hingga terdengar kabar burung yang membuatku terhuyung.
“Papamu itu selingkuh. Dia sudah nikah lagi sama wanita umur dua puluh.”
Mendung. Aku terkurung dalam amarah yang mengaung.
Limbung. Aku terpasung dalam pahit yang mendengung.

Sungguh, andai Papa tahu betapa aku ingin mengampuni, tapi Mama bilang aku harus jadi seperti Sengkuni. Jangan mau diinjak-injak tirani.
Aku hanya ingin melanjutkan hidup, tapi Mama tak mau lukanya menguncup; biarlah membara tak meredup.
Entah bagaimana cara dendam menggerogoti hati, aku tak sempat mengamati.
Tiba-tiba ia sudah mengakar, menjalar, menjadi candu tanpa penawar.
Batas terang dan gelap menjadi kabur. Salah dan benar mulai bersimpang siur. Tak ada ampun hingga hancur di alam kubur.

Hingga di suatu sore yang sepi– aku, Papa, dan dua cangkir kopi, larut dalam bincang tentang mimpi.
Sudah lama, ya, Pa? Setelah empat, mungkin lima tahun kita tak jumpa.
“Papa sehat?” tanyaku, “Banyaklah istirahat.”
Papa mengangguk, lalu kopi diteguk. Akal sehatku merajuk. Hati dan naluri berkasak-kusuk. Seburuk apa bubuk itu akan berkecamuk?

“Luna! Luna! Papa kenapa?”

Papa lemas. Tak bisa bernafas.
Apakah ini yang Mama sebut impas?

Andai Papa tahu bahwa akulah yang…
Ah, sudahlah.
Tidak semua hal perlu dibicarakan, bukan?
Tenang di sana, Pa. Entah di atas langit atau di bawah bumi, aku tak terlalu peduli.

Andai Papa tahu seberapa besar murka perempuan yang terluka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun