[caption caption="Ilustrasi Jilbab (Sumber: Indojilbab.com)"][/caption]Semaraknya wanita-wanita Indonesia mengenakan jilbab atau hijab makin terasa tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya tidak ada masalah, berpakaian dengan bentuk apa saja asal membawa kenyamanan bagi penggunanya. Berjilbab menunjukkan jati diri sebagai muslimah baik yang menaati perintah agama. Namun saya tergelitik status sebuah Facebook: wanita baik pasti pasti berjilbab, tapi wanita berjilbab belum tentu baik. Nah, sepertinya ada udang di balik rempeyek, penggunaan gaya dikotomi tersebut tendensius dengan maksud tertentu.
Sebelumnya saya perlu meluruskan, bahwa saya laki-laki dan tidak memakai atau berjualan jilbab. Sebagai penganut Islam Nusantara yang condong liberal (tapi bukan JIL apalagi JIN), berpakaian yang sopan sesuai adat ketimuran hukumnya wajib. Saya sepaham bahwa pakaian adalah produk budaya dan lokalitas setempat, bentuknya menyesuaikan kebiasaan dan kebutuhan masyarakatnya. Apakah itu baju kurung, kebaya, kerudung, selendang, cadar, songket, dst. Apalagi Indonesia mempunyai keragaman suku dan adat istiadat yang berjumlah ratusan.
Nah, kita bedah kalimat pertama: wanita baik pasti berjilbab. Bila dibalik, wanita tidak berjilbab pasti bukan wanita baik-baik atau wanita berakhlak rusak. Mereka yang berpendapat tersebut biasanya alasannya satu: perintah agama. Perintah yang seringkali harus dipatuhi tanpa nalar berdasarkan tafsir para ustad. Apalagi para ustad yang mencari uang dengan berdakwah, jualan semakin laris rejeki semakin kencang. Bila perintah ini dilanggar maka para pendosa dapat masuk neraka melalui pintu-pintu yang mereka sukai.
Tentulah pendapat tersebut salah kaprah dan menyesatkan. Sejak kapan baik dan buruknya akhlak ditentukan oleh selembar jilbab? Pakaian itu menjadi sebab ataukah akibat? Memakai baju karena orang rapi atau memakai baju agar tampil rapi? Kalau memang sudah rapi kenapa lantas memakai baju? Jadi lebih tepat bila diubah: wanita baik belum tentu berjilbab.
Lalu kalimat kedua: wanita berjilbab belum tentu baik. Nah, ini sebenarnya paradoks dengan tujuan memakai jilbab. Justru pemakai jilbab dituntut untuk berakhlak baik, sesuai makna jilbab sebagai penutup atau penghalang dari keburukan. Bila pemakai jilbab belum tentu berlaku baik, lalu buat apa fungsi jilbab tersebut? Jadi lebih tepat bila diubah: wanita berjilbab sudah pasti baik.
Lalu realitasnya bagaimana? Fakta di lapangan, meskipun pemakai jilbab semakin marak tapi moralitas rakyat Indonesia tetap runyam. Peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2015 adalah 88 dari 168 negara. Masih tergolong negara korup. Kita lihat sendiri di TV, wanita-wanita berjilbab dadah-dadah diperiksa KPK. Di kantor saya, para perempuan berhijab tanpa ragu tanpa malu menyabet 'rejeki' yang bukan haknya. Tidak ada urusan jilbab dan akhlak, keduanya mempunyai jalan hidup masing-masing.
Di sini saya tidak ingin memperdebatkan Quran dan hadist tentang jilbab. Silakan Googling saja dan ambil tafsir yang kalian sukai. Bukan pula saya pendukung Quraish Shibab, seorang pakar tafsir Quran yang menyatakan jilbab tidak wajib. Kepentingan saya adalah meletakkan obyektivitas dan akal sehat pada tempatnya. Memastikan substansi di atas kosmetik atas nama agama. Memastikan bibit-bibit radikalisme tidak berkembang di negara yang ber-Bhineka Tunggal Ika ini.
Sejujurnya, saya senang melihat perempuan berjilbab. Mereka seperti tampak soleh tapi misterius. Seperti tampak baik, tampak jujur, tampak ramah, tampak rajin, dan berbagai tampak lainnya. Apalagi semakin banyak jilbab yang tampil modis, tidak lagi menutup tapi mengundang pandangan. Jadi kita sepakati saja, "wanita baik belum tentu berjilbab, wanita berjilbab sudah pasti baik". Bilapun belum baik, itu hanya oknum saja. Selamat berjilbab bagi yang memakainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H