Mohon tunggu...
Ogie Urvil
Ogie Urvil Mohon Tunggu... Wiraswasta - CreativePreneur, Lecturer

Orang biasa yang banyak keponya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imam Syafi'i & Makoto Sichida

15 Agustus 2017   15:52 Diperbarui: 16 Agustus 2017   09:26 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Karena pernah diamanatkan jadi dosen pembimbing mahasiswa yang tugas akhirnya bikin komik tentang Imam Syafi', saya jadi baca-baca kembali deh kisah-kisah beliau.. Benar-benar manusia yang hebat.. Beliau benar-benar pencari ilmu sejati. Plus nggak pernah memaksakan "paham"nya atau pendapatnya harus diterima oleh orang lain. Mau sependapat oke, nggak ya oke juga.. Sungguh jauh dari sifat merasa paling benar..

Yang tambah bikin saya takjub adalah beraninya beliau berbeda pemikiran dengan gurunya.. Nggak taqlid buta sama sekali.. Malahan beliau berani membuat mahzab sendiri. Seakan menyampaikan pesan: "kemerdekaan berpikir" bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dikekang erat-erat oleh pola pikir lama. Karena beliau beranggapan semua manusia (termasuk guru-gurnya) adalah manusia biasa. Dan yang namanya manusia, pasti bisa salah..

Plus lagi, setiap zaman punya konteksnya sendiri. Tema "pemikiran" saat itu mungkin belum bisa seramai sekarang.. Dulu IPTEK masih sangat terbatas. Medsos belum ada. Saya membayangkan, kira-kira "pemikiran" seperti apa yang akan dilontarkan Imam Syafi'i kalau beliau hidup di era media baru dan teknologi informasi secanggih sekarang.. Saya mendambakan kehadiran orang-orang yang berani membongkar pemikiran-pemikiran lama, yang berani memadukan "kekinian" dengan esensi ajaran-ajaran baik terdahulu. Karena Islam punya sejarah intelektual yang kuat, tidak hanya ritual, apalagi hanya atribut yang eksponensial..

Imam Syafi'i sangat pantas dijadikan teladan bagi mereka yang ingin menjadi pembelajar sejati.. Dalam sebuah buku saya pernah baca: kalau dalam bahasa Jepang, kata belajar itu "manabu", dan asal katanya adalah "manebu" = "maneru".. Maneru ini artinya "meniru" dalam bahasa Indonesia.. Umumnya langkah pertama dari suatu pembelajaran dimulai dari meniru.. Itulah kenapa perlu adanya guru untuk belajar tentang sesuatu.. Entah itu guru yang hadir secara fisik langsung, atau non-fisik: pemikiran / tulisan / buku..

Saya lihat ada persamaan antara yang dijalankan oleh Imam Syafi'i, dengan yang diungkapkan oleh Makoto Sichida (2014) dalam bukunya "Whole Brain Power".Menurutnya, saat mempelajari sesuatu, ada tiga tahapannya yakni: menjaga, merusak, dan melepaskan diri.. Pertama kali murid meniru dan "menjaga" cara-cara yang didapat dari guru. Setelah itu murid "merusak", sedikit demi sedikit menambahkan perbaikan atas hal-hal yang sudah dipelajari.. Dan pada akhirnya, si murid "melepaskan diri" dari guru, dan membangun caranya sendiri. Tahap akhir ini saya pikir ya saat-saat dimana Imam Syafi'i "lepas" dari gurunya dan membuat mazhab sendiri..

Metode Sichida ini membuat si murid harus mampu berfikir dan punya cara-cara sendiri yang berbeda dengan gurunya.. Karena dengan begitulah kemajuan bisa tercipta.. Pada zaman Heian (794 -- 1185) di Jepang, ada satu orang hebat yang dijuluki sejajar dengan "langit" & "lautan" berkata:

"Yang disebut sebagai harta suatu negara bukanlah emas dan perak.. Akan tetapi seberapa banyak orang yang berpikir, apapun pekerjaannya, apapun yang dimilikinya, itulah harta yang terbaik, serta dengan sepenuh hati bekerja dengan kemampuannya. Hal inilah yang akan menentukan perbedaan makmur atau tidaknya suatu negara.. Orang-orang yang berpikir adalah harta suatu negara.."..

Waw.. Nggak heran ya ada banyak sekali ayat di Al-Qur'an yang menyuruh kita untuk berfikir (tafakkarun).. Lantas, gimanakah pada prakteknya ??.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun