Mohon tunggu...
Ogie Urvil
Ogie Urvil Mohon Tunggu... Wiraswasta - CreativePreneur, Lecturer

Orang biasa yang banyak keponya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Pintar

27 Maret 2024   09:35 Diperbarui: 27 Maret 2024   09:42 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang, penggunaan mesin pencari di internet (seperti google), sudah jadi hal yang sangat lumrah. Digunakannya pun juga bisa untuk beragam hal: untuk mencari pengetahuan baru, buat mencari jawaban tugas anak kelas 4 SD, bahkan mendapatkan link untuk debat di grup Whatsapp (WA).

Ada kan ya, yang kalau debat/diskusi di grup WA gitu, sukanya kirim link hasil googling, dan bukannya memberikan hasil pikirannya sendiri. Akhirnya jadi 'berbalas link'. Lantas dengan bermodal hanya memberikan link begitu, terkadang seseorang sudah merasa dirinya pintar.

Berbeda dengan baca buku atau debat langsung tatap muka, mengandalkan link memang terasa lebih 'effortless'. Berbekal kemudahan pencarian informasi ini, seseorang berkesan menjadi lebih mudah untuk 'tahu segalanya'. Yang umumnya sifat 'tahu banyak' ini hanya melekat pada mereka yang kutu buku atau beneran pintar.

Di barat sana, ada sebuah studi yang menyimpulkan: fitur pencari di internet bisa membuat seseorang berpikir dirinya lebih pintar daripada yang sebenarnya. Matthew Fisher dari Yale University telah mensurvey ratusan orang untuk kemudian bisa sampai pada kesimpulan tersebut. Hasil studinya ini dipublish pada Journal of Experimental Psychology.

Fisher membuat dua kelompok, yang satu boleh menggunakan mesin pencari internet, dan satu kelompok lainnya tidak boleh. Pertanyaannya pun cukup beragam; mulai dari cara kerja ritsleting, kenapa keju swiss ada lubangnya, sampai bagaimana tornado terbentuk ?

Hasilnya: kelompok yang boleh menggunakan search engine atau membuka-buka internet cenderung menilai pengetahuan mereka lebih tinggi daripada yang tidak boleh menggunakan internet. Kemudian dicoba lagi, dengan memakai kelompok orang yang berbeda. Tapi sebelum tes dimulai, mereka diminta menilai pengetahuan mereka sendiri terlebih dahulu. Sampai tahap ini bisa dibilang penilaian diri mereka sama.

Namun setelah dibagi ke dalam dua kelompok, diadakan tes yang sama (satu kelompok boleh buka internet dan lainnya tidak), hasilnya jadi berbeda. Mereka diminta mengulang untuk menilai diri sendiri, lagi-lagi kelompok yang boleh menggunakan search engine dan membuka-buka internet menilai pengetahuan mereka lebih tinggi dari yang tidak menggunakan internet.

Fitur pencarian di internet membuat seseorang jadi lebih sulit menilai secara akurat 'jumlah' pengetahuannya sendiri. Fisher menyatakan: "Semakin kita mengandalkan internet, semakin sulit kita menarik garis batas antara dimana pengetahuan kita berakhir, dan dimana web dimulai."

Yang juga jadi masalah: seseorang jadi tidak menyadari kualitas penjelasan ataupun argumen yang mereka hasilkan. Ya gimana ?. Wong manut aja sama apa yang ada di link. Nah ini nih yang bisa jadi sebab kenapa banyak orang lebih senang 'adu link' di grup WA. Link ibarat jadi 'tameng' atas lemahnya kualitas argumen atau malah ketidak-punyaan buah pikir sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun