Mohon tunggu...
Ogie Urvil
Ogie Urvil Mohon Tunggu... Wiraswasta - CreativePreneur, Lecturer

Orang biasa yang banyak keponya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tipu Sulap

28 Februari 2024   09:30 Diperbarui: 28 Februari 2024   09:31 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang pesulap bernama Alex Stone. Show pertamanya dilakukan di acara perayaan ulang tahun ke-enamnya sendiri. Dan hasilnya 'berantakan'. Namun karena terus belajar, ia pun berhasil jadi pesulap saat dewasa.

Tidak hanya jadi pesulap, kuliahnya juga oke banget. Berhasil lulus Harvard, dan gelar master Fisikanya didapat dari Colombia University. Tulisan-tulisannnya juga sempat dimuat di media sekelas: New York Times, Harper's, dan Wall Street Journal.

Stone menulis sebuah buku, dan terbit di tahun 2012: "Fooling Houdini: Magicians, Mentalists, Math Geeks, and the Hidden Powers of the Mind." Berkat background kuliahnya, di buku ini dia bisa mengulas sulap dari perspektif psikologi, neuroscience, fisika, sejarah, dan bahkan 'crime'.

Seumur hidup, profesi utama dia adalah pesulap. Kita tau lah seorang pesulap, pekerjaan-nya menciptakan ilusi, atau kasarnya ya 'membohongi' penonton. Menariknya, berdasarkan pengalaman dia tampil selama ini, ternyata penonton anak-anak lebih sulit dibohongi ketimbang penonton orang dewasa.

Saat sebuah sulap tidak berjalan lancar, tentu saja si pesulap jadi "malu". Dalam rentang 10 tahun, Stone mengaku pernah dibuat malu mungkin hanya dua kali oleh orang dewasa yang bukan pesulap. Namun ia bisa dibuat malu berkali-kali oleh anak-anak kisaran usia 8 tahun. Koq bisa ya ? Menurut Stone, orang dewasa memang punya kemampuan memusatkan perhatian yang lebih bagus dari anak-anak. Namun hal tersebut membuat mereka malah rentan terhadap penyesatan.

Seorang pesulap selalu mengarahkan dan menunjukkan para penontonnya pada apa yang sudah "direncanakan" oleh pesulap. Ini membuat orang dewasa (yang terlatih sepanjang hidupnya untuk mengikuti petunjuk semacam itu), menjadi rentan untuk diarahkan.

Anak-anak tidak percaya dogma. Mereka relatif bebas dari asumsi, sedangkan orang dewasa banyak berasumsi. Padahal sulap sendiri adalah tentang mempermainkan asumsi. Benar juga ya. Misalnya, ada ustad atau public figure menawarkan dagangan, tentu asumsi kita mudah terarahkan bahwa itu dagangannya pasti 'baik-baik saja'.

Plus, para bocah penuh dengan rasa ingin tahu yang murni. Kalau menonton sulap pun, rasa ingin tahunya murni untuk tahu cara kerja si pesulap, dan bukan niat untuk membongkar trik atau "menjatuhkan" si pesulap yang banyak dilakukan orang dewasa. Cara berpikir anak-anak pun tidak berlebihan. Tidak 'lari kemana-mana', atau membuat teori-teori sendiri yang tidak jelas, atau bahkan aneh-aneh seperti orang dewasa.

Stone menyatakan: "Kecerdasan, tidak berhubungan erat dengan sifat mudah tertipu.". Kenyataannya, memang banyak orang dewasa dengan beberapa gelar di belakang namanya, masih bisa percaya hoax, ketipu dagangan ataupun investasi bodong, dan bisa digiring ke pilihan yang jelas-jelas bukan yang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun