Mohon tunggu...
Ogie Urvil
Ogie Urvil Mohon Tunggu... Wiraswasta - CreativePreneur, Lecturer

Orang biasa yang banyak keponya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skeptis Sedikit

28 September 2017   18:10 Diperbarui: 28 September 2017   18:25 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata otak kita cenderung lebih mudah untuk langsung percaya "kata-kata" orang lain ketimbang mempertanyakannya terlebih dahulu.. Gimana nggak, karena setelah lahir, ada masa (bertahun-tahun malah) dimana seseorang mau nggak mau mesti percaya katanya orang tanpa bisa cek and ricek.. Ya iya lah.. Mosok setelah lahir langsung bisa baca buku sains ?? 

Newberg & Waldman dalam bukunya "Born to Believe" (2013), menyebutkan, dari satu sisi, otak orang dewasa itu seperti anak-anak: gampang percaya "katanya" orang lain, terutama bila hal tersebut menarik bagi fantasi dan hasrat terpendamnya.. Ditambah lagi secara neurologis, ada kecenderungan juga dari otak untuk hanya menerima keyakinan yang sepaham, dan menolak keyakinan yang dipegang orang lain, bahkan bisa mengklaim kalau yang berbeda keyakinan adalah sesat.. 

Di Indonesia yang minat bacanya rendah, yang model begini terasa sekali.. Banyak yang bersandar pada "katanya" atau opini si A, atau si B, ketimbang memilih cek fakta  dengan baca-baca sendiri, atau mencoba menelaah terlebih dahulu bukti-bukti yang jelas.. Maka, berita dari website abal-abal, atau cuitan twitter dari seseorang pun tidak jarang dipercaya begitu saja dan di share banyak orang..

Yang jadi masalah adalah sulitnya diri ini untuk melepas sifat percaya begitu saja terhadap apa yang "masuk" ke kita.. Terlebih di era keterbukaan informasi saat ini.. Newberg adalah seorang profesor dan spesialis di bidang kedokteran nuklir dan kardiologi nuklir.. Sedangkan Waldman merupakan partner beliau yang telah menulis sejumlah buku mengenai hubungan personal, kreativitas, sekaligus editor pendiri jurnal akademis "Transpersonal Review" yang mencakup bidang psikologi Jungian, kajian keagamaan, dan pengobatan tubuh & pikiran..

Menurut mereka, di era sekarang ini sebaiknya seseorang juga melatih diri untuk bisa bersikap sedikit skeptis.. Skeptis loh yaa, bukan pesimis, jangan disamakan.. Filosofi skeptisisme berawal dari zaman Plato, yang pertama kali menegakkan mazhab "akademis"..Seorang skeptis adalah orang yang memilih untuk mempelajari kembali dengan seksama apakah keyakinannya sudah benar.. Ia akan senantiasa menjaga pikirannya tetap terbuka (bersedia mempertimbangkan argumen dari kedua sisi)..

Skeptisisme, keterbukaan pikiran, dan rasa percaya dalam dosis yang tepat, sepertinya memang perlu di saat siapa saja serta "segalanya" bisa dishare di medsos.. Terlebih jika apa-apa yang di share itu membuat seseorang berasumsi mengenai masalah-masaah moral, politik, dan agama.. Terbuka dan percaya begitu saja tanpa sedikit skeptisisme bisa menimbulkan masalah baru.. Namun skeptis tanpa rasa percaya bisa merusak kemampuan seseorang untuk mempercayai apa-apa yang perlu supaya bisa hidup normal..

Skeptis kalau kelebihan, semua ide-ide, gagasan baru, dan perubahan, nggak akan dianggap oke meski ide baru tersebut baru di tahap awal.. Bahkan bila sudah parah, skeptisisme bisa mengarah pada sinisme, yakni keadaan dimana seseorang selalu meragukan ketulusan dan validitas sudut pandang orang lain.. Dan psikiater, kardiolog pun setuju, kalau hal ini bisa membawa seseorang kepada kemarahan, keketusan, kebencian, penghinaan dan akhirnya bisa berakibat buruk pada kondisi fisik seseorang..

Jadi nggak heran ya, Alloh menganjurkan supaya seseorang untuk memeriksa kembali kebenaran sebuah berita (QS: 49:6).. Karena otak ciptaan Alloh, maka Dia tau persis bias-bias, atau kekurangan dari ciptaanNya sendiri.. Maka di "manual book" manusia pun ditulis solusinya.. Dan ini sebenarnya sudah jadi PILIHAN manusia, mau cek ricek lagi atau tidak.. Padahal akibatnya sudah dijelaskan juga di ayat yang sama: supaya tidak timbul musibah pada suatu kaum..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun