Perkembangan politik di Indoesia semakin lama menunjukkan degradasi kedewasaan berpolitiknya. Mengapa saya mengatakan degradasi..... rasa keangkuhan kelompok yang terlembagakan dalam bentuk partai politik dan syahwat akan kekuasaan menggerogoti sendi-sendi kepatutan demokrasi. Kepatutan demokrasi adalah menghargai dan mengakui adanya perbedaan karena kodratnya manusia adalah berbeda. Fenomena yang muncul sekarang bisa kita lihat adanya sentimen-sentimen kebencian kepada kelompok atau partai lain yang berbeda. Akhirnya rasa kebencian disusun secara sistematik menjadi ideologi kebencian yang dibumbui issue agama sebagai penstimulir emosi massa. Hal ini sejatinya hanya untuk melegitimasi kelompoknya mendapatkan kekuasaan. Atas nama umat hanya untuk meraih kekuasaan sesaat.
Sebagaimana kita ketahui dengan adanya wacana koalisi parpol berlabel Islam ---- saya mengatakan berlabel Islam, karena nama Islam di sini sebagai pemberi ciri khas organisasi parpol tersebut ---- yang berargumen bahwa parpol-parpol berlabel Islam dari hasil quick count pemilu 2014 mendapatkan suara (kalau dijumlahkan) mencapai 30 %, sehingga menurut undang-undang bisa mengajukan capres sendiri. Tetapi harus diingat bahwa mayoritas pemeluk Islam sekitar 70 % tidak menyalurkan hak politiknya melalui parpol-parpol berlabel Islam tersebut---ini juga realitas. Apakah angka 70 % umat islam tidak diapresiasi hak politiknya karena gara-gara tidak sefaham dengan garis partai berlabel Islam Tersebut.
Dan menurut pendapat saya pribadi, silakan para elit parpol melakukan negosiasi koalisi antar parpol tanpa melibatkan sentimen keberagamaan hanya untuk meraih kekuasaan sekelompok elit tertentu. Karena agama yang diredusir dalam ikatan lembaga politik tidak ubahnya melakukan penistaan terhada agama itu sendiri. Dan saya sangat menyayangkan seandainya pemeluk Islam akan terfragmentasi dalam Islam PKB, Islam PPP, Islam PAN, Islam PKS, dan pemeluk Islam di luar parpol tersebut dengan jumlah yang dominan (70 % ) bisa masuk kategori Islam sekularis. Agama bukanlah partai politik dan partai politik bukanlah agama.
Dari berbagai statemen beberapa elit parpol ----secara pribadi saya menangkap makna tersirat---- bahwa mereka yang merasa paling benar, mereka yang merasa paling mampu menyelesaikan masalah negara ini, mereka yang merasa paling suci untuk mengemban amanah, dan tingkat pengakuan serta penghargaan hanya diberikan kepada orang-orang yang berasal dari kelompoknya. Jika di luar kelompoknya maka stigma anak yang lahir bukan dari rahim umat sehingga sudah selayaknya dimusuhi, dilawan dan dijegal.
Bagi saya, menganut agama adalah mengimani dan melaksanakan semua ajaran di setiap aktifitas kehidupan, tanpa melalui embel-embel politik tertentu. Syahadat Tauhid sebagai wujud pengakuan keilahian dan Syahadat Rasull sebagai pengakuan kepada Muhammad SAW sebagai penuntun kita untuk mengenal Allah SWT dengan segala konsekuensi perintah serta larangannya. Tingkat kualitas keimanan seseorang bukanlah diukur berdasarkan anggota kelompok partai atau ormas keberagamaannya. Ormas atau partai politik hanyalah sebagai media interaksi antar individu yang dilembagakan untuk mencapai tujuan organisasi atau partainya.
Ide Poros Islam –oleh Amien Rais diganti dengan istilah Poros Indonesia Raya--- digembor-gemborkan oleh elit-elit parpol yang selama 10 tahun terakhir merasakan nikmatnya sebagai kelompok penguasa. Menikmati berbagai fasilitas jabatan kekuasaan selama 10 tahun (dua periode pemerintahan SBY) akan memberikan kemapanan posisi strategisnya. Yang jadi pertanyaan, apakah setelah menikmati kue kekuasaan selama dua periode tersebut parpol berlabel Islam takut terkena post power syndrome? Takut tidak memperoleh apa-apa. Takut tidak mempunyai jabatan.
Kalau memang harus berjuang untuk membenahi negara, mereka para parpol sudah mendapatkan hak berpolitiknya melalui DPR dengan segala fungsi dan fasilitasnya.
Sangatlah lucu statemen Amien Rais, yang mengatakan bahwa gagasan Poros Indonesia Raya sebagai wujud untuk mewadahi komponen anak bangsa yang majemuk untuk membangun bangsa. Apakah tanpa poros tersebut anak bangsa yang majemuk tidak terwadahi? Kalau menilik dari namanya patut dicurigai ada kepentingan dari Amien Rais untuk menggiring kelompok parpol berlabel Islam mendukung salah satu capres tertentu (dugaan kuat saya ke Capres Partai Gerakan Indonesia Raya). Dari parpol berlabel Islam, hanya PKB yang masih berpikir jernih karena ada kecurigaan penggiringan kepada salah satu capres tertentu.
Tujuan akhir dari koalisi yang dipelopori parpol berlabel Islam tersebut bisa dipastikan tidak jauh.dari berbagi kue kekuasaan eksekutif. Imbas yang serius adalah adanya dampak psikologis sentimen keberagamaan, bahwa secara tersirat maupun tersurat memberikan stigma capres yang tidak didukung koalisi parpol Islam ini sebagai capres yang tidak islami dll. Berbondong-bondong para elit parpol yang berlabel Islam akan melakukan “sowanan” ke para Ulama berpengaruh dengan memberikan segala argumen pembenar syahwat kekuasaannya. Kepada para ulama, elit parpol yang ambisius kekuasaan akan memberikan penjelasan dan argumen misalnya dibalut dengan istilah demi membangun negara yang islami, demi perjuangan penegakan akidah, demi kemajuan umat, demi kemaslahatan umat, dsb. Lebih menakutkan lagi seandainya keluar fatwa haram memilih capres lain.
Jika kecurigaan-kecurigaan saya itu benar adanya, berarti ada kekuatan para penzina kekuasaan yang berjubah alim dan agamis, berhasrat birahi politik yang sangat besar untuk mendapatkan kekuasaan dengan segala cara, menunggangi serta memobilisasi kekuatan kelompok agama. Semoga para Penzina politik tersebut bukan hidup di negara kita.
Jogja, Minggu 20 April 2014Salam…Pro Koalisi Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H