Chapter 2.....
“Semakin menyukaimu”
A.Kesalahanku Menyukaimu
Rasa dihatimu mungkin semakin menyukainya
Tapi realita memaksamu untuk menghentikannya
“Senyumanmu selalu sinari setiap kesedihan dihatiku. Tatapanmu selalu hiasai setiap sudut agan aganku. Mungkinkah ku jadi pilihan hatimu. Tiada henti ku selalu beragan. Andai dirimu memilih hatiku kan kuserahkan cita tulus dihatiku meski kau takkan pernah tahu ketulusan hatiku ini biar kusimpan dalam mimpi. Keindahan hatimu selalu membuatku terkagum. Keindahan hadirmu sungguh kudambakan saat ini.”
Aku gak bisa mengungkapkan gambaran dirimu buat hatiku. Hanya untaian lagu ini saja yang bisa kuungkapkan dalam hatiku.
Dalam hati aku berkata,“Kau tahu, bang,.. aku semakin tak bisa membedakan perhatianmu. Rasanya aku semakin menyukaimu.”
“ hei, gez,..! ngapain sich ngelamun terus ?”, tanya momo padaku dan itu membuatku terkejut.
“apaan si,.. aku gak ngelamun kok,.”, kataku meyakinkan momo
Tapi sepertinya anak ini tak percaya dengan kata kataku. Dia terus saja mengodaku agar aku mengatakan apa yang ada dihatiku saat ini. Oh,.. ini sungguh sulit. Dan akhirnya aku tergoda untuk menceritakan semua kisah yang ku alami dengan si abang ramah ini.
“gez,... ayolah jangan gitu. Kamu harus yakin itu adalah perhatian sebuah persahabatan. Kamu tau kan, abang itu masih suka sama mantannya dan ingat abang itu selalu curhat tentang mantannya sama kamu kan ? itu berarti abang itu percaya bahwa kamu akan ngasih solusi yang baik sebagai sahabat, adik yang baik buatnya. Jadi intinya, itu semua hanya perhatian sebagai bentuk persahabatan. Ingat itu, gez,..”, kata momo panjang lebar padaku.
Kata-kata itu mungkin jadi tamparan keras buatku. Semua yang dikatanya ada benarnya. Mungkin aku yang terlalu keGRan menganggap perhatiannya padaku adalah perhatian seorang lelaki terhadap perempuan. Namun kenyataannya,... semua itu salah. Sekarang, aku hanya bisa berharap akan suatu keajaiban yang indah dari cinta.
Realita memang kejam apalagi jika menyangkut dengan hati. Kadang disaat kau merasa itu cinta. Realita memaksamu untuk tidak menganggap semua itu cinta. Ya,.. seperti yang kurasakan saat ini. Aku semakin menyukainya tapi momo menyadarkanku bahwa realita menyatakan itu hanya sebuah perhatian persahabatan. Sementara hatiku,.? masih terus bersikeras pada rasa yang terpendam ini.
Aku bertanya pada hatiku pada lamunan panjangku dikamar tidur sambil memeluk boneka babiku yang berwarna pink, “lusi” , “kapannya realita menuruti keinginan hatiku ?”, tapi seberapa banyak pun aku bertanya pada hatiku, tetap saja tak akan pernah suatu jawaban yang pasti. Seandainya pun ada jawabannya mungkin jawaban itu akan susah ditemukan seperti berjalan dalam labirin. Kadang kau akan tersesat didalamnya. Sungguh sangat pas dengan yang kurasakan sekarang.
****
Bumi terus saja berputar mengelilingi porosnya tapi aku hanya berhenti disatu titik tak dapat bergerak.
“hey,..”
Terdengar suara yang tak asing ditelingaku. Bang rey, si abang yang baik hati plus ramah. Mengapa dia datang di saat yang tak tepat.
“kamu kenapa, gez,.?, kok kayaknya lemas gitu,.? Kamu sakit ya ? atau lagi suntuk mikirin tugas ? ayo dong cerita,..”
Yang kulakukan hanya diam. Aku tak bisa menjawab pertanyaan darinya. Semua dugaannya tak ada yang benar. Andai saja aku bisa berkata jujur.
“kok malah diam ?”
“aduh, bg ,.. aku gak pa-pa , bg,. Lagian apa pentingnya sama abang kalau aku lagi sakit atau banyak tugas ? gak ada pentingnya kan.! Jadi udah deh, bg,.. sekarang abang pergi aja lah,..”
“kamu kenapa sih, gez,.? Gak kayak biasanya ?”, kata si abang ramah ini dengan tenang.
Inilah mengapa aku menjadi sayang dan semakin sayang pada si abang ini. Dia terus saja sabar menghadapi tingkahku yang masih seperti anak-anak. Senang bisa memillikimu bang, meski dalam konteks abang-adik atau sahabat.
“gez,..”
“selalu sayangi aku dengan caramu. Jangan membenciku karena perasaan itu ya,..”, katanya pelan.
Apa ini ? aku benar-benar terkejut atas apa yang dikatakan abang ini. “selalu sayangi aku dengan caramu. Jangan membenciku karena perasaan itu”. Apa maksud semua ini ? apa si abang ini sudah tau apa yang sebenarnya yang aku rasakan ? semua itu mengelilingi otakku.
“bang,. Aku ingin teriak sekuat-kuatnya..”, kataku lirih
Dan si abang ini hanya bisa mengusap-usap kepalaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H