"Jika engkau menyukai pelangi, belajarlah untuk mencintai hujan"Â (Paulo Coelho)
Merayakan Kemerdekaan=Merayakan Keragaman
Setiap kali merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia, yang terlintas dibenak saya ialah bagaimana dan proses penetapan Pancasila dalam Sidang Konstituante. Tentunya ada perdebatan panas antara para pendiri bapa bangsa (founding fathers) pada waktu itu, yakni apakah mendirikan dasar negara atas dasar agama Islam (umat terbesar di Indonesia pada waktu itu hingga sampai saat ini) atau atas dasar Pancasila?
Perdebatan mengenai bentuk dan dasar negara Indonesia sudah berlangsung sejak diselengarakan sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang memandatkan "usaha pembentukan Negara Indonesia". Dalam sidang-sidang BPUPK ini gagasan tentang Islam sebagai dasar negara mulai muncul dan diperdebatkan. Setidaknya kalau mau dikerucutkan secara sederhana, perdebatan mengenai dasar negara bermuara pada dua argumen besar, yakni negara agama atau negara sekuler, yang di dalam masing-masing dua argumen besar tersebut terdapat argumen-argumen yang memiliki kekhususannya sendiri-sendiri.
Akhirnya, setelah melaui proses yang cukup panjang maka lahirlah sebuah idelogi yang kita sebut Pancasila. Saya membayangkan proses Sidang Konstituante itu berlangsung sangat sengit; ada adu gagasan, adu pendapat, bahkan mungkin sampai terjadi luapan emosi di antara mereka (bukan adu elektabilitas seperti yang dilakukan para politisi saat ini untuk memikat hati rakyat). Pancasila merupakan sebuah karya besar dari kehebatan gagasan para bapa bangsa (founding fathers) Indonesia di dalam meracik sebuah jalan tengah antara ideologi Islam dan ideologi sekuler liberal atau barat.
Kita patut bersyukur sejarah bangsa ini dibangun oleh orang-orang yang memiliki kedalaman pikiran yang luar biasa. Mereka tahu dan sadar bahwa bangsa Indonesia terdiri atas pelbagai macam suku bangsa, bahasa, dan agama. Oleh karena keragaman itu, para pendiri bapa bangsa kita membuat sebuah prinsip yang dapat merekatkan kemajemukan masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pikiran Soekarno, prinsip Ketuhanan merupakan suatu bentuk kebebasan tiap orang menjalankan kegiatan agama dan ibadahnya, serta hubungan toleransi antar umat beragama. Prinsip Ketuhanan tidak sekadar bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan sesuai dengan Tuhan yang ia percayai. Dari argument tersebut tampak bahwa Soekarno sungguh memahami apa itu perbedaan. Ia tetap menjunjung dan memuliakan Allah tanpa merendahkan martabat manusia. Hal ini termaktub dalam Pancasila yang melindungi kebebasan warga negaranya dalam menentukan agamanya.
Dalam sejarah , tulisan-tulisan dari para pemikir, dan juga di media massa agama acap kali dipandang/dituding sebagai sumber konflik. Salah satu konflik terbesar dalam sejarah dunia ialah perang atas nama agama (baca: Perang Salib). Konsepsi tentang Allah kerap kali memuculkan perdebatan antara agama yang satu dengan yang lain. Dan tentunya setiap orang beriman selalu menganggap imanyalah yang paling benar karena jika tidak, maka akan timbul pertanyaan, "Jika itu tidak benar mengapa kamu mengimaninya?" Jadi logis saja jika setiap umat beriman menganggap imanya adalah yang paling benar. Iman (keyakinan religius) bukanlah suatu tempat yang tepat untuk diperdebatkan karena iman adalah sesuatu yang sudah final. Berbeda halnya dengan teori atau argument yang masih terbuka untuk dikuliti, dianalisis, didebat, dan diuji kebenarannya. Oleh sebab itu, hal yang kita butuhkan ialah sikap toleransi. Toleransi adalah bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan ,kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Jadi, toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. Bila ini telah dihidupi dalam umat beragama nisacaya kedamaian yang kita dambakan akan menjadi kenyataan. Benarlah yang dikatakan pepatah pelangi terlihat begitu mempesona karena ia terdiri atas pelbagai warna yang saling berdampingan satu sama lain. Saya rasa Indonesia juga demikian.
Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia
Lahirnya Pancasila dari rahim pemikiran para bapa pendiri bangsa hendak menunjukkan kepada kita bahwa untuk mengikat persatuan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk maka kita harus terlebih dahulu berbicara atas nama kemanusiaan (memulainya harus dari sisi kemanusiaan) tanpa memungkiri Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua agama berdedikasi untuk memuja, memuliakan Yang Maha Agung yang disembah sebagai Yang Tertinggi. Akan tetapi, ada sesuatu hal yang baru yang ditampakkan oleh Yesus Kristus. Kehadiran Yesus dalam sejarah keagamaan secara serius memulai suatu arus baru: berpaling kepada manusia, berikhtiar mengangkat nasibnya, menyembuhkannya dari berbagai derita, sakit, kesewenangan dan eksploitasi dari kaum penguasa, agar mereka mengalami kebahagiaan (baca: Kerajaan Allah).
Suri teladan Yesus yang menampakkan diri sebagai Putra Allah yang memilih lahir dalam pangkuan orang-orang dina, lemah, miskin di Betlehem, mengungsi ke Mesir akibat kecemasan kekuasaan dari sang penguasa, dan hidup sederhana di desa kecil yang bernama Nasareth. Semua itu mengilhami suatu spiritualitas baru yang tidak hanya berunsur permujaan Yang Mahabesar, namun juga mengarah kepada manusia yang sangat dina bahkan dihinakan oleh masyarakat umumnya. Dalam karya-pelayanan-Nya di Galilea, Samaria, Yudea, ternyata Yesus lebih menaruh perhatian kepada golongan bawah, yang menderita, yang tergusur dan terbuang.
Yesus menjungkirbalikkan norma-norma yang biasanya merajai setiap agama, yang selalu ingin dekat dan disenangi para penguasa dan kaya. Yesus mendekat pada manusia, khususnya manusia yang tidak punya kedudukan maupun arti, untuk mengangkat mereka dari status hina ke dalam tingkat kemanusiaan yang terhormat dan bermartabat. Pemujaan Tuhan Yang Maha Besar diungkapkan lewat pengangakatan manusia hina ke taraf kemanusiaan yang layak. Seperti yang dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia.