Agama islam memang mewajibkan umatnya untuk menjadi kaya, hal itu bisa dilacak dalah suatu hadits yang artinya " Kemiskinan akan mendekatkan seseorang ke dalam kekafiran.'' Bukti lainnya adalah dalam sebuah kitab yang berjudul al-ihtisab fi rizq al-mustahab dijelaskan tentang siapakah yang akan masuk syurga terlebih dahulu, apakah orang miskin yang bersabar ataukah orang kaya yang bersyukur.Â
Karena sebenarnya kekayaan menurut Rasulullah adalah kekayaan jiwa karena jika seseorang kaya jiwanya, maka akan berlapang dada meskipun sepeser uangpun tak didapatkannya. Jika ia mempunyai harta meskipun sedikit, tetap akan dibagikannya sebagian kepada orang yang membutuhkan, karena dia merasa bersyukur dan cukup dengan rezeki tersebut.Â
Lain halnya dengan orang yang miskin jiwanya, ia akan merasa kurang dan kurang terus meskipun mendapatkan banyak genggaman uang ditangannya. Karena dia merasa kekurangan itulah, maka dia enggan untuk bersedekah, berzakat, dan menolong orang lain dengan harta yang dimilikinya itu.
Dan bahkan kenyataan yang ada, banyak ulama' yang setuju bahwa orang kaya yang bersyukur (dengan berbagai standardisasi bentuk syukur yang sulit untuk dipraktekannya), akan masuk syurga telebih dahulu.Â
Bahkan dalam suatu hadits disebutkan yang artinya, " Seseorang akan terputus amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.''Â
Dari hadits ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bagaimana seseorang dapat beramal jariyah ketika dia tidak mampu mempunyai harta benda, bagaimana pula orang dapat menuntut ilmu apabila tidak memiliki harta benda, dan bagaimana pula seseorang bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang sholeh dan sukses jika ia tidak memiliki sarana untuk mewujudkannya.
Akan tetapi terlepas dari perintah tersebut, agama islam juga sangat melarang dengan perilaku seseorang yang menimbun kekayaan. Karena salah satu dari nilai-nilai yang diajarkan dalam ekonomi islam adalah larangan untuk menimbun harta kekayaan. Karena untuk mencegah adanya praktik penimbunan kekayaan atau komoditas dengan maksud agar tidak terjadi kelangkaan dan menghidari kenaikannya untuk kepentingan pribadi pemiliknya.Â
Menjadi kaya memang dianjurkan, akan tetapi kekayaan yang diperoleh harusnya didapatkan dengan cara yang baik dan didistribusikan dengan cara yang baik pula. Dalam surat at-taubah[9] ayat ke 34 disebutkan :
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan (mereka)menghalang-halangi (manusia)dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah pada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."
Distribusi menurut hadits nabi terdapat dua perbedaan yaitu distribusi yang bersifat profit taking (untuk mendapatkan keuntungan) dan yang kedua non-profit taking (tidak untuk mendapatkan keuntungan).Â
Apabila distribusi yang pertama dimaksudkan agar dapat tersalurkannya barang-barang hasil produksi agar bisa dikonsumsi oleh masyarakat, dan yang mendistribusikannya mendapatkan keuntungan dari apa yang didistribusikannya. Sedangkan distribusi yang kedua adalah orang yang mendistribusikannya tidak mendapatkan keuntungan langsung, akan tetapi mendapatkan keuntungannya di akhirat kelak.