Agaknya sulit untuk melupakan "tontonan" itu, suatu pengharapan yang tersurat dengan itikad ingin menjadi bagian didalamnya. Bermula dari satu acara talkshow di salah satu kampus yang ditayangkan stasiun tv ternama di Indonesia. Pembawa acaranya sungguhlah jelita, konon melalui tatapan matanya memikat tamu yang ia wawancarai. Tema acaranya pun kelewat mentereng menggugah bahkan menginspirasi "pemimpin pendobrak"!. Walhasil mampu menggaek mahasiswa tanggung, yang ingin jadi sosial change lagak senior kampusnya.
Satu persatu para pemimpin yang dimaksud memasuki tempat acara, dilengkapi narasi hiperbola dan disambut riuh penonton seantero gedung, tentunya membuat bulu merinding bagi yang terlalu semangat. Sebutlah, si Menejer, si Pedagang, si Hakim dan terakhir si Tukang Hukum mantan aktivis alumnus kampus setempat.
Dari belakang urutan, kita mulai dari si Tukang Hukum. Belum cukup satu periode nama dan reputasinya begitu melejit di jagad media, sampai pada jejeran tokoh-tokoh nasional. Bak pendekar kampung, si Tukang Hukum masuk mengamuk di kota dan membongkar apapun yang tidak beres. Petinggi partai, menteri, mantan menteri plus pejabat negara bahkan yang belum sempat jadi pejabat dicokok satu persatu menjadi jaminan orang ini benar-benar 'kajili-jili' (bahasa bugis/makassar: 'membabi buta). Pendobrak bukan? Ya itulah yang tersemat bagi penonton dalam acara itu, setidaknya mayoritas sangat mendukung tindakannya sekaligus menjadi ketakutan bagi sebagian orang. Perkara muncul akhirnya ketika si Tukang Hukum malah dihukum pula, dokumen usang 5 tahun lalu yang tidak jelas asalnya. Si Tukang Hukum disergap bak seluruh pasukan negara yang notabene meneteng senjata. Siapapun jika diperlakukan seperti itu tidak akan berdaya. Apalah daya, ia berujung lemas tak bisa meng'hukum' orang jahat lagi. Memupus harapan banyak khalayak banyak orang tentang keadilan.
Si Hakim? Ia tokoh lama, setidaknya ia paling jelas lajurnya. Kata-katanya yang pedas tak jarang langsung menusuk. Bila ada tersangka yang nakal serahkan kepada si Hakim ini, karena ia hakim paling tau soal hukumlah. Urusan membela yang benar tidak sedikit melekat pada orang yang satu ini. Mungkin yang kurang menarik perhatian orang adalah logatnya yang khas. Dikemudian hari setelah lengser dari jabatan hakim, satu harapan lagi pupus sudah. Kini ia hanya bisa berkomentar di media yang sebenarnya sangat berbeda pengaruhnya bila dibandingkan ia sebagai si Hakim. Satu lagi, memupuskan harapan tentang pemimpin yang juga akhirnya tidak berdaya.
Membayangkan macan ompong, itulah yang terjadi pada si Menejer. Bos diatas bos sangat tepat disematkan padanya. Bagaimana tidak, bila banyak tradisi usang dalam perusahaan dirombak. Sepak terjangnya membenahi beberapa perusahaan negara harus terhenti ketika ia tidak lagi didudukkan sebagaimana jasa-jasanya. Ia tidak pernah terlihat lagi di tv yang biasanya menjadi tontonan di negara ini. Pemimpin dengan ciri pendobrak seperti si Meneger sekali lagi di abaikan begitu saja.
Si Pedagang? Nah ini dia. Entah bagaimana harus menilainya sebagai pemimpin pendobrak. Dalam tetek bengek ekonomi si Pedagang adalah ahlinya, otak lebih cepat jalan ketimbang ucapan di mulut membuatnya kadang sulit dimengerti. Soal membangun negara si Pedangang punya cita-cita bangun ini, bangun itu dan segala rupa, katanya supaya rakyat sejahtera. Santer pula si Pedagang adalah jagonya mendamaikan yang lagi konflik. Kekhasannya ngotot untuk menjadi pemimpin. Sangat beruntung bila menjadi pemimpin pendobrak, nahh kalau tidak?? Belakangan di negara ini banyak konflik si Pedagang malah justru lebih banyak diam membisu. Berusaha menebak sikap si Pedagang. Pertama, bisa jadi perhitungan untung rugi jika ingin benar-benar menjadi pemimpin pendobrak; kedua, budaya si Pedagang yang masih melekat yakni "utang budi"?
Mendiskusikan budaya, seorang professor yang ahli tentang budaya Bugis dan Makassar mengatakan "siri" (malu/harga diri) merupakan nilai budaya yang selama ini yang masih dipegang teguh orang bugis dan makassar. Bila orang tersebut "ri pakasiri" (di permalukan/harga dirinya diserabut) maka tak segan mereka akan meninggalkan negerinya dan pergi "sompe" (berlayar diartikan merantau). Sepintas sulit dihubungkan budaya ini dengan para pemimpin pendobrak itu. Tapi benang merah yang bisa kita tarik adalah bila karakteristik pemimpin pendobrak itu dipreteli dan diabaikan. Bukan tidak mungkin mereka akan benar-benar "meninggalkan" negara ini. Sekali lagi harapan selalu saja pupus. Dan seperti banyak tontonan, begitu selesai hanya meninggalkan kesan dan kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H