Mohon tunggu...
Utari Wijayanti
Utari Wijayanti Mohon Tunggu... Dosen - UPI

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemecahan Masalah, Permata Termahal yang Hilang dari Pembelajaran Matematika

2 Oktober 2013   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:05 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada beberapa pemahaman yang sering salah kaprah yang muncul dalam pembelajaran matematika saat ini.Persepsi yang biasa muncul di masyarakat, anak yang pintar matematika adalah anak-anak yang bisa mengerjakan puluhan soal dalam waktu singkat dan cepat, anak-anak yang hafal rumus, anak-anak yang tahu cara mengerjakan berbagai soal dengan cepat. Siswa-siswi di-drill untuk memahami konsep dan menyelesaikan soal dengan memakai prosedur-prosedur atau rumus tertentu dengan cepat. Padahal bukan itu esensi sebenarnya dari kemampuan matematika..

Dalam tulisan sebelumnya, saya pernah membahas bahwa bagaimana bangsa Eropa bisa bangkit dari abad Kegelapan menuju abad Renaisans turut dipengaruhi oleh salah satu bacaan yang sangat mendominasi para kalangan terpelajar pada masa itu, yakni buku geometri dengan judul The Elements yang ditulis Euclid pada abad 3 sebelum masehi (http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/20/peran-pola-pikir-deduktif-bagi-kebangkitan-bangsa-eropa-512441.html).Tetapi masalahnya, matematika bagaimana yang bisa mendorong perubahan suatu masyarakat hingga sedahsyat itu? Apakah matematika yang jamak dikenal dan dipahami oleh masyarakat kita sekarang? Yaitu sekedar sedikit memahami konsep, berhitung, menghafal rumus, mencari penyelesaian dengan menggunakan rumus yang telah kita ketahui?

Salah satu ruh - bisa kita sebut sebagai permata yang paling mahal - yang hilang dari proses pembelajaran matematika yang ada di Indonesia adalah proses pemecahan masalah.Padahal proses pemecahan masalah inilah yang menjadi poros penggerak dari proses pembelajaran matematika yang benar. Dengan menggerakkan poros pemecahan masalah, dengan sendirinya roda-roda yang ada di sekitarnya seperti pemahaman konsep dan prosedur akan turut bergerak.Tetapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya, roda-roda yang ada di pinggir yang digerakkan dan justru poros terabaikan.

Coba kita perhatikan proses pembelajaran matematika yang biasa terjadi di kelas selama ini, guru menerangkan konsep, rumus, contoh soal.Kemudian siswa diminta mengerjakan soal-soal yang mirip dengan contoh soal.Jika ada yang diubah, maka hanya dibolak-balik saja. Jika diketahui jarak dan waktu, tentukan kecepatannya. Jika diketahui kecepatan dan jaraknya, tentukan waktunya. Sedikit demi sedikit konsep ditambahkan sembari diberi contoh soal, dan siswa diminta menyelesaikan soal sembari meniru penyelesaian contoh soal.

Dari keseluruhan proses pembelajaran yang terjadi di kelas, siswa hanya berada pada tataran memahami sedikit konsep dan memahami prosedur. Sudah .. itu saja ... Siswa diminta untuk meniru prosedur yang ada.Siswa tidak diajak untuk menemukan prosedur sendiri dengan pendekatan pemecahan masalah.Siswa tidak diajak untuk memecahkan masalah dan mengaitkan berbagai konsep, dan bahkan seringkali membutuhkan langkah yang sangat panjang untuk memperoleh hasil akhir.

Tentu saja pernyataan saya di atas bukan dengan tujuan menggeneralisir semua guru, tetapi yang menjadi masalah buku-buku teks yang beredar pada faktanya memang baru berhenti pada tahap konsep dan prosedur, belum merambah dalam ke penyelesaian soal. Kurikulum baru pun yang secara ide menekankan perlunya pemecahan masalah, sayangnya masih banyak masalah pada fase implementasi buku teks..

Seperti apakah proses pemecahan masalah yang benar? Yang jelas, karena tujuannya ingin membangun kemampuan pemecahan masalah para siswa, maka siswa jangan diminta untuk mencontoh cara memecahkan masalah.Karena akhirnya siswa bisanya mencontoh menyelesaikan soal atau masalah, bukannya memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Sama seperti kita meminta siswa belajar berenang, meskipun siswa melihat demonstrasi seorang guru berenang puluhan kali berkeliling kolam renang, selama siswa sendiri tidak mencoba berenang, siswa tidak akan bisa.

Selain itu,salah kaprah juga jika kita berpikir agar siswa bisa memecahkan masalah, ya sudah siswa cukup diberi soal, mereka mencari penyelesaian sendiri tanpa didampingi guru.Mungkin analoginya sama seperti menyuruh seorang siswa yang belum bisa berenang, kemudian langsung disuruh berenang kedalaman 2 meter tanpa dibantu.Memecahan masalah termasuk suatu keahlian.Sama seperti keahlian berenang, perlu tahapan yang logis untuk mengajarkan keahlian berenang.Jika ingin mengajarkan seorang siswa berenang gaya bebas, maka tahapan awalnya mengajar siswa mengayuh kaki sambil menggunakan pelampung.Langkah selanjutnya, tetap menggunakan pelampung dan mengayuh kedua kaki, tapi sambil latihan nafas. Kemudian lanjut dengan latihan hanya tangan kanan, lanjut dengan hanya dengan tangan kiri, dan seterusnya.Demikian pula dengan menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah, perlu langkah-langkah yang benar untuk menumbuhkan kemampuan tersebut. Selangkah demi selangkah, dari tipe soal sederhana hingga lanjut, dan bahkan bagi para siswa berbakat diuji dengan soal-soal standar olimpiade.Sama seperti berenang yang perlu guru mendampingi tahapan-tahapan belajar renang, mengkoreksi bila terjadi kesalahan, maka dalam pemecahan masalah pun guru diperlukan untuk memotivasi siswa dan menggiring menuju solusi yang benar. Tidak dengan petunjuk – yang sifatnya terlalu eksplisit tetapi dengan pertanyaan yang memancing siswa.

Tidak hanya berhenti hingga selesai menemukan solusi yang benar, tetapi siswa diajak untuk berkontemplasi apakah solusi yang ditemukan benar? Paling efisien? Apakah ada cara lain yang lebih efisien? Apakah soal bisa kita modifikasi menjadi soal yang lain?

Yang jelas kemampuan pemecahan masalah bukanlah kemampuan yang bisa diperoleh dalam waktu yang singkat tetapi sebagai proses berkesinambungan yang seharusnya muncul selangkah demi selangkah sejak usia dini hingga dewasa, dan akan terus berkembang.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun