SUBUH sudah berlalu. Mega di Timur langit juga beradu. Sinarnya masih malu-malu menyikap sisa gelap tadi malam. Tapi warnanya sudah tampak merefleksi di Mentaya pagi itu. Jingga, teduh, penuh ketenangan. Ngantuk masih membuntutiku. Diperparah dinginnya pagi di pesisir Sungai Mentaya yang mengoyak kulit.Maklum, tadi malam jatah istirahat tersita berkirim pesan dengannya lewat sosial media. Menanya kabar apakah baik-baik saja. Setelah lambaian terakhir di bandara sore kemarin. ”Hoam..” Kelopak mata ini seakan berontak. Kicauan perahu kelotok bermesin tempel, menyadarkan lamunan setengah tidurku. Resah karena pesan tadi malam hanya dibaca, sejenak terlupakan. Aktivitas di pesisir pagi itu cukup ramai. Sinar matahari terbit membentuk siluet kelotok kayu yang silih berganti. Menurunkan penumpang di Dermaga Habaring Hurung. Ada yang berangkat sekolah. Ada juga yang ke pasar untuk menjual hasil olah kesuburan tanah di Kampung Mentaya Seberang. Di antara raungan mesin tempel kelotok, menyusup sebuah perahu kayu kecil. Jukung Mang Ruslan. Ya, sudah lama tidak ketemu amang penjual wadai terapung ini. Terakhir ketemu ketika mengambil foto usahanya untuk kepentingan pemberitaan media cetak terkemuka di kotaku. ”Mang Ruslan,” sapaku, ditimpali anggukan pria setengah renta itu. Sembari mendekat ke lanting tempatku berinjak. Tampa banyak komando, Mang Ruslan tahu maksudku. Tak lama. ”Subhanallah...” batinku berseru.Hitam, harum, pahit, menyegarkan indera. Seketika kantukku hilang. Kopi Mang Ruslan, menurutku memang paling pas. Di antara penjual kopi pesisir lainnya. Kusempatkan bernostalgia dengan Mang Ruslan. Bercerita tentang usahanya yang kini sudah diperhatikan pemerintah, karena dapat bantuan jukung baru. Hingga menanyakan kabar keluarganya.Tak lupa juga kukuliti rahasia mantapnya kopi pesisirnya. Lama berngalor-ngidul dengan Mang Ruslan, gadget berbunyi. Ku aktifkan, tampak beberapa pesan masuk. Di antaranya setumpuk email daftar pekerjaan untuk pekan ini. Dan beberapa broadcast onlineshop yang setiap hari menebar promosi. Namun satu yang paling menyita perhatian. Balasan dari dia yang malam tadi kutunggu terlelap tanpa pamit. Balasnya panjang. Hingga harus mengusap layar beberapa kali. ”Maaf, tadi malam sengaja enggak balas. Setelah sampai aku kecapean. Tapi tenang saja, di sini aku tidak apa. Oh! Iya, aku mungkin enggak kembali lagi ke Sampit. Ku harap kamu bisa melanjutkan hidup tanpaku. Di sini sudah ada yang jagain aku.” Ya, ternyata benar. Dia tak sesetia yang kuharap. Balasan pesannya mempertegas foto profil yang diunggah saat dia tiba di bandara. Bersama mantan yang pernah dia ceritakan. Yang kini mungkin sudah kembali lagi bersamanya. Sengat matahari mulai menghangat. Jukung penjual kopi pun berlalu ke pembeli lainnya. Setelah seteguk perpisahan tadi. Dia tetaplah nikmat, tetap hitam, dan tentunya masih pahit. Ya, karena hanya dia yang setia dengan pahitnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H