Mohon tunggu...
Unang Lukmanulhakim
Unang Lukmanulhakim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just a Human

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngaleut Bandung Lautan Api; Kota Kita Tanggung Jawab Kita Bersama

2 April 2012   16:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:07 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di hari Minggu pertama bulan April 2012, saya menyempatkan diri untuk ngaleut bersama Komunitas Aleut! Hari itu kita menelusuri stilasi-stilasi yang menjadi penanda dan pengingat peristiwa Bandung Lautan Api, kita mengambil tema Bandung Lautan Api karena memang berdekatan dengan momentum peringatan peristiwa Bandung Lautan Api yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Dari perjalanan ngaleut kali saya mendapat beberapa pelajaran yang mungkin bisa sangat berharga setidaknya bagi saya sendiri, yaitu :

Pada penelusuran stilasi-stilasi Bandung Lautan Api, kami menjumpai stilasi-stilasi BLA sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, dari 10 titik stilasi sekitar 80 % nya dalam kondisi yang tidak terawat.
(Foto kondisi-kondisi Stilasi BLA. source : Foto-foto pegiat Komunitas Aleut!) Menurut pandangan pribadi saya, kondisi seperti ini dikarenakan beberapa faktor yang saling berkaitan, dan faktor-faktor tersebut berhubungan dengan sikap mental sebagian masyarakat kita, mungkin termasuk saya sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Ketidaktahuan warga sekitar atau bahkan sebagian besar warga Bandung, hal tersebut karena memang sampai saat masih sangat sedikit informasi tentang stilasi BLA yang dipublikasikan ke masyarakat umum. 2. Ketidaktahuan sebenarnya bisa saja teratasi seandainya ada kepedulian dan kepekaan (awareness), karena faktanya sebagian besar stilasi tersebut memang berada di lokasi yang lazim dilewati oleh orang kebanyakan. Namun entah karena rasa peduli masyarakat kita yang semakin berkurang atau terlalu sibuknya kita, sehingga seringkali tidak menghiraukan hal-hal yang ada di sekitar kita. 3. Kekurangpedulian dan kekurangpekaan tersebut bisa jadi timbul dari kurangnya rasa keingintahuan (Curiosity) kita yang masih kurang terbangun. Ya, memang sistem pendidikan kita sudah sedari dulu kurang bisa menanamkan mental curious kepada para peserta didiknya. Padahal jika saja curiousity ini telah terbangun maka persoalan tentang perawatan stilasi ini akan terpecahkan, karena seperti kata pepatah "tak kenal maka tak sayang", jika kita sudah mengenal sesuatu maka kita bakal (minimal) peduli dengan sesuatu tersebut.
Dalam perjalanan ngaleut kali ini, para pemandu menyampaikan berbagai informasi dari sumber-sumber yang berbeda dan dengan banyak versi yang berbeda pula. Hal tersebut membuat saya berfikir bahwa sejarah adalah sesuatu yang sangat subjektif, sejarah kadang-kadang ditulis untuk kebutuhan tertentu para penulis atau penuturnya. Maka dari itu saya secara tidak langsung selalu diwanti-wanti agar memandang sejarah tidak dari satu sisi saja, karena akan berakibat kurang baik yaitu timbulnya sikap yang terlalu fanatis ataupun terlalu apatis terhadap sebuah peristiwa, objek ataupun tokoh sejarah. Jika fanatisme dan apatisme telah merasuki pikiran kita maka objektivitas dan sikap kritis kita terhadap sesuatu akan terus menurun, dan hal tersebut akan menjadi tidak bagus ketika kita melakukan suatu proses pembelajaran. Selain itu pada ngaleut kali ini saya diingatkan kembali untuk selalu meng-crosscheck setiap materi yang disampaikan, hal yang mana sudah jarang atau malas dilakukan oleh kebanyakan dari kita setiap kali merespon suatu berita ataupun informasi.
Setiap perjuangan dan pergerakan selalu saja ada kontroversi dan pro kontra yang mengiringinya, hal tersebutlah yang menjadi poin selanjutnya yang bisa saya ambil dari perjalanan ngaleut kali ini. Begitu pula dengan peristiwa Bandung Lautan Api, walaupun cerita-cerita yang berkembang di masyarakat kebanyakan tentang kepahlawanan, pengorbanan dan perjuangan warga Bandung pada masa itu, namun ada beberapa pihak yang memang kurang setuju dengan langkah yang diambil pada masa itu, mereka berpendapat tindakan membumihanguskan Bandung adalah suatu tindakan yang merugikan Bandung dua kali, pertama Bandung harus diserahkan kepada NICA dan yang kedua warga Bandung harus memusnahkan harta benda yang dimilikinya begitu saja padahal andaikata NICA menguasai bandung secara utuhpun, mereka belum tentu mempergunakan semua rumah dan harta warga Bandung demi kepentingan mereka, jadi tindakan membumihanguskan Bandung dianggap tindakan yang mubadzir. Jika diperhatikan, tanggapan peristiwa BLA tersebut memiliki kemiripan dengan tanggapan tentang perjuangan dan pergerakan menolak rencana kenaikan BBM baru-baru ini, banyak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang tidak simpatik terutama karena banyak aksi yang dilakukan dengan cara yang merusak. Menyikapi hal ini saya beranggapan bahwa setiap orang punya hak dalam berpendapat dan punya cara masing-masing dalam memperjuangkan pendapatnya, semua itu sah-sah saja sepanjang memang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri, bukan karena ikut-ikutan belaka, tahu tujuan yang diperjuangkannya dan tidak merugikan orang lain.

Demikianlah sedikit pengalaman dan kesan yang bisa saya share setelah mengikuti perjalanan ngaleut Bandung Lautan Api. Semua pendapat diatas adalah sebatas pendapat dan intrepretasi pribadi. Dulu Bandung dikobarkan demi harga diri, hari ini mari kita jaga demi masa depan kita. Kota kita bukan cuma tanggung jawab pemerintah saja, kota kita tanggung jawab kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun