Selain migas, sumber utama pendapatan negara yang memiliki posisi cukup penting adalah sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba). Dimana pada tahun 2008 pertambangan mineral dan batubara menyumbang sekitar Rp12,5 triliun, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp15,32 triliun atau naik sekitar 22,56% dari tahun sebelumnya (Dirjen Minerba-ESDM, 2010).
Raihan positif sektor minerba dalam neraca penerimaan negara ini tentu saja karena tren kemajuan industri batubara dalam negeri. Dimana penerimaan dari ekspor batubara pada tahun 2008 mencapai US$. 10,48 miliar dan pada tahun 2009 meningkat menjadi US$. 13,82 miliar atau naik sekitar 31,87%. Dengan cadangan sumber daya batubara yang masih melimpah, yaitu sekitar 104, 7 miliar ton maka jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan konsumsi batubara terus meningkat, seiring permintaan batubara sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik, baik di dalam maupun di luar negeri. Saat ini sekitar 71% dari konsumsi batubara domestik diserap oleh pembangkit listrik (PLN), 17% untuk semen dan 10% untuk industri tekstil dan kertas. Demikian juga dengan jumlah perusahaan pertambangan batubara yang tumbuh pesat.
Hanya saja, sebagai senyawa hydrokarbon (energi fosil) yang tak dapat diperbaharui, artinya suatu saat akan habis, maka usaha kegiatan penambangan dan pemanfaatan energinya harus dikelola secara strategis. Hal ini mengingat bahwa penambangan batubara yang dilakukan selama 40 tahun terakhir sangat ekspor oriented. Dimana Indonesia telah mencatatkan diri sebagai pengekspor batubara terbesar dunia setelah Australia.
Pendapatan yang diterima negara dari sektor batubara memang cukup signifikan, namun sekali lagi negara dalam hal ini hanya berposisi sebagai global supply agent, yang menyuplai dan menopang industri negara-negara lain, sementara negara sendiri sama sekali tak mendapatkan nilai tambah selain dari revenue saja. Padahal negara-negara yang memiliki cadangan batubara lebih besar seperti China, USA, India, Australia, Rusia justru memosisikan diri mereka sebagai national supply agent, dimana pemanfaatan batubara dimaksimalkan untuk menopang industri yang ada dalam negaranya. China misalnya, sebagai produsen terbesar yang menyumbang hampir separuh produksi dunia yakni 46%, namun produksinya itu dimaksimalkan untuk konsumsi dalam negeri, yakni sebesar 46% dari total konsumsi dunia. Pola produksi dan konsumsi ala negara China ini diterapkan agar ada nilai lebih (value added) yang (diterima) lebih sustainable dan merata.
Sepanjang 40 tahun sejak UU No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan ditetapkan, kegiatan pertambangan mineral dan batubara di tanah air memang seakan enggan melakukan shifting paradigm. Khusus untuk batubara, Indonesia seakan terpaku dan tampak lebih nyaman memosisikan diri sebagai negara penyuplai batubara terbesar dunia. Padahal sebagaimana data dari Kementrian ESDM, bahwa cadangan batubara nasional kita tak lebih dari 0,5 % saja dari cadangan dunia. Bayangkan bila paradigma ini terus berlanjut, sementara negara lain justru telah lama sekali memosisikan diri sebagai golongan pengikut paradigma national supply agent.
Sejak tahun 2000, saat aroma perubahan (reformasi) masih menyengat, kesadaran akan pentingnya cara pandang baru dalam pengelolaan pertambangan termasuk minerba sebetulnya telah mulai muncul, meskipun masih terdengar riuh rendah. Para stakeholders di sekitar usaha kegiatan pertambangan mulai sadar bahwa sebetulnya ada kejanggalan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba) Indonesia. Sebagai sumber energi yang tak bisa diperbaharui, minerba semestinya dikelola dengan lebih optimal.
Sepanjang tahun 2000 hingga di penghujung tahun 2007, suara-suara yang riuh rendah itu kemudian terdengar semakin keras. Lalu ikut melahirkan adanya tuntutan perubahan dari banyak pihak terkait kebijakan pengelolaan kekayaan tambang. Sejumlah laporan yang disampaikan oleh beberapa LSM merilis berbagai pelanggaran yang dilakukan selama 40 tahun masa pertambangan Indonesia. Beberapa diantaranya berupa pencemaran, penghancuran lingkungan dan sumber-sumber kehidupan rakyat, juga pelanggaran hak azasi manusia, utamanya penduduk lokal sekitar tambang hingga kawasan hilir, pesisir maupun pulau-pulau kecil.
Akhirnya di penghujung tahun 2008, di tengah desakan masyarakat akan perubahan tata kelola pertambangan, UU No. 4 tahun 2009 disahkan. Undang Undang ini menggantikan UU No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Harapan baru pun muncul, proyeksi tata kelola ulang pertambangan mineral dan batubara segera dicanangkan.
Undang Undang Mineral dan Batubara (minerba) secara garis besar mengatur enam isu strategis, yaitu: luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara/royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan. Dengan enam isu strategis tersebut, banyak orang yang menaruh harapan baru. Dalam bauran energi nasional (energi mix) tahun 2015 batubara bahkan diproyeksikan akan mampu mencapai angka 15 %, sementara pada tahun 2025 batu bara ditargetkan mampu menyumbang 33 % konsumsi energi secara nasional.
Sekilas pintas UU Minerba memang terasa menawarkan model dan tata kelola baru. Misalnya saja terkait wilayah pertambangan umum yang dalam Undang Undang ini dibagi menjadi tiga, yaitu; wilayah pencadangan negara, wilayah usaha pertambangan, dan wilayah pertambangan rakyat. Dalam menentukan wilayah tersebut UU Minerba menyebutkan bahwa kuasa pertambangan yang murni dikeluarkan oleh pemerintahan daerah, lalu diregistrasi ulang di pemerintahan pusat agar menjadi IUP. Teknisnya, aspek perijinan pertambangan dalam UU ini diatur di daerah. Lalu dari daerah, ijin tersebut akan disampaikan kepada pemerintah pusat.
Langkah ini diambil karena sumber daya daerah yang terbatas sehingga mengalami kontrol yang susah. Aparat Pemda terkadang terlalu mudah untuk mengeluarkan ijin tersebut, tidak peduli eksplorasi atau eksploitasi. Juga supaya masalah pencemaran atau hal-hal yang berkaitan dengan pusat lingkungan hidup itu bisa disiasati.
Sayangnya, Undang Undang ini ternyata masih menyimpan sejumlah misteri.Sebagai produk politik, Undang Undang Minerba terasa sangat kontradiktif. Ia memang tak sedahsyat dinamika prosesnya yang membuat 3 fraksi di DPR harus walk out (PAN, PKB dan PKS) dan masa pembahasannya yang cukup lama. Kontradiksi tersebut bisa kita lihat dalam aspek komersialnya. Misalnya saja terkait kontrak minerba yang tidak lagi menganut asal lex specialist.
Sering sekali pemerintah Indonesia dihadapkan dengan posisi yang lemah dalam upaya melakukan renegosiasi kontak karya, sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dimana, selama ini pemegang kontrak karya selalu mendengungkan memiliki status lex spesialist terhadap peraturan perundang-undangan, sehingga pemegang KK dapat berkelit dari peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini di Indonesia.
Meminjam istilah Hikmanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, beliau menegaskan bahwa alasan pemegang kontrak karya untuk menghindari kewajiban mengikuti perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak berdasar. Pasalnya, lex spesialist yang tertuang dalam kontrak karya hanya berlaku bila produk hukumnya sama, seperti undang-undang dengan undang-undang atau peraturan pemerintah dengan peraturan pemerintah.
Kontrak karya yang ditandatangani oleh pemerintah seharusnya batal bila isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Sebab itu, UU Nomor 4 Tahun 2009, tentang Minerba wajib diberlakukan terhadap kontrak karya. Dengan begitu maka para pemegang kuasa pertambangan tidak lagi bisa berkelit dari peratuan perundang-undangan yang saat ini berlaku.Dengan begitu, renegosiasi tidak bertentangan dengan prinsip menghormati kesucian dari kontrak (sanctity contract), dimana renegosisasi mendudukan para pihak dalam kontrak untuk duduk bersama dan menyepakati syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang lebih adil.
Ancaman bahwa pemerintah Indonesia akan dibawa ke International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) jika melakukan renegosiasi kontrak dengan demikian hanyalah kekhawatiran semata, karena Indonesia sesungguhnya tidak dapat diadili dalam mahkamah internasional tersebut, pasalnya Indonesia hanya melakukan renegosiasi bukan nasionalisasi seperti yang dilakukan oleh Bolivia dan Venezuela.
Di satu sisi kita memang harus menghargai adanya sanctity contract, tapi di sisi lain royalti yang kita dapatkan sangat kecil. Padahal pendapatan kita sudah clear, yaitu royalti (PBPB) dan pajak. Renegosiasi memang diperlukan, tapi kita juga harus menjaga kehati-hatian. Yang harus kita lakukan adalah mengetuk pintu mereka agar mau melakukan renegosiasi. Kalau ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, maka tak ada yang akan dirugikan.
Lalu soal pengolahan dan Pemurnian. Dalam implementasinya kita tentu akan lebih memilih sebuah industri pertambangan yang memberi nilai tambah (value added), yang secara otomatis meningkatkan nilai jual keluar bila dibandingkan dengan digelondongkan ke luar negeri. Peningkatan nilai tambah lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas hasil pertambangan, kemudahan transfortasi dan kemudahan pemanfaatannya. Peningkatan nilai tambah batubara misalnya, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu; pertama, gasifikasi batubara (coal gasification), kemudian batubara yang dicairkan (coal liquefaction) serta upgrading peningkatan kalori dari law rank coal menjadi high rank coal. Ketiga cara ini memerlukan teknologi dan nilai investasi yang tidak sedikit. Dan yang paling penting tentu saja adanya insentif dari pemerintah untuk mamacu adanya pertumbuhan.
Kenyataan saat ini bahwa para kuasa pertambangan lebih memilih untuk mengeskpor batubara, Indonesia bahkan disebut sebagai eksportir batubara terbesar kedua di dunia, padahal cadangan batubara kita sangat kecil (0,5 % cadangan dunia). Terkait ekspor batubara yang masif kuasa pertambangan berdalih bahwa mereka kadung terikat kontrak dengan smelting company di luar negeri.
Pasca UU No. 4 tahun 2009, perusahaan tambang batubara mengalami tumpang tindih wilayah ijin usaha pertambangan akibat proses pemberian ijin yang tidak terkontrol, dan kerusakan lingkungan akibat beroperasinya KP/IUP skala kecil/rakyat (dampak otonomi daerah dan UU No. 4/2009). Inilah sebetulnya yang menjadi sikap komisi VII saat ini, kita berjalan amat hati-hati dengan adanya Panja Minerba. Kesimpulan sementara Panja Minerba menyebutkan, bahwa timbulnya beragam permasalahan terkait kerusakan lingkungan, termasuk soal penciutan lahan, lebih disebabkan oleh terdapatnya pasal-pasal kontradiktif dalam UU Minerba. Bila kesimpulan akhir dari Panja Minerba menemukan persoalan yang lebih serius dan menimbulkan resistensi yang cukup tinggi, maka bukan tidak mungkin UU Minerba akan diusulkan untuk diamandemen.
Disamping itu, renegosiasi kontrak PKP2B yang berlarut-larut (akibat tidak konsistennya pasal 169 ayat a dan ayat b UU Minerba) dan pelaksanaan DMO yang tidak jelas (masalah harga jual beli kuota, cara pembayaran, batubara yang spesifikasinya di luar yang dibutuhkan).
Pun demikian dengan adanya situasi kontraproduktif sebagai akibat adanya draft Peraturan Menteri ESDM Tentang Peningkatan Nilai Tambah Batubara yang berujung pada pelarangan ekspor untuk batubara dengan kalori di bawah 5.700 kcal/kg (adb) pada tahun 2014, padahal sampai hari ini pemerintah belum memutuskan secara pasti isi atau parameter dari Permen tersebut. Selain itu, sampai saat ini belum ada teknologi upgrading batubara yang secara komersial terbukti. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H