Tak dapat dipungkiri, bila saat ini merupakan masa yang paling sibuk dengan sejumlah persoalan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan energi kita. Bagaimana tidak, ketergantungan kita pada sumber energi minyak di kemudian hari ternyata malah membuat kita berada pada posisi yang mengkhawatirkan, dan sesekali terjatuh dalam lubang ketidakpastian.
Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG, sontak emosi masyarakat pun meledak. Selain karena kebijakan tersebut dirasa terlalu mendadak, dus juga melihat fakta bahwa tabung gas LPG yang diterima masyarakat tiba-tiba banyak yang meledak.
Belum lagi dengan kebijakan pemberlakuan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dengan sejumlah peraturan turunannya. Masyarakat sekali lagi harus mengalami masa-masa peralihan, dan dituntut untuk kembali melakukan adaptasi. Kebijakan ini terasa memberatkan masyarakat, terutama dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia ternyata tak berani membayar lebih mahal untuk mendapatkan akses energinya. Padahal, saat ini energi telah menjadi kebutuhan pokok selain sandang, pangan dan papan.Tanpa pasokan energi, semuanya lumpuh tak berdaya; Pembangkit listrik tak akan mampu menghasilkan listrik. Produksi tekstil tak kuasa melayani permintaan pakaian yang layak. Pabrik pupuk tak sapat lagi beroperasi, petani pun akhirnya harus gigit jari.
Kondisi inilah yang mendorong berbagai pihak untuk melakukan upaya pencarian energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi yang kian hari kian meningkat. Salah satu cara yang paling cepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan menggali energi fosil yang lain, yaitu batubara. Batubara merupakan senyawa hydrocarbon dan berbentuk batuan sedimen yang dapat terbakar. Terbentuk dari endapan organik, yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
Cadangan Batubara
Saat ini Indonesia memiliki sumber cadangan batubara yang masih cukup melimpah. Pada tahun 2009, sumber daya batubara yang aspek ekonomisnya belum diperhitungkan di Indonesia mencapai 104,74 milyar ton. Dilihat dari wilayahnya, maka seluruh cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera yang mencapai 50,06% dan Kalimantan sebesar 49,56%, sementara hanya sebagian kecilnya saja terdapat di Jawa,Sulawesi dan Papua.
Berdasarkan lokasi, sumber daya batubara Indonesia tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku dan Papua. Hanya saja, sumber daya batubara yang terdapat di Sulawesi, Jawa, Maluku dan Papua sebetulnya tak kurang dari 1 persen saja, selebihnya terdapat di Sumatera dan Kalimantan.
Sumatera merupakan lokasi sumber daya batubara terbesar di Indonesia, sumber daya batubara di Sumatera tersebut sebagian besar berada di wilayah Sumatera Selatan, sementara sisanya dapat ditemukan di Sumatera Barat, Riau, dan Bengkulu. Maka tak heran, bila sumatera khususnya Sumatera Selatan disebut sebagai lumbung energi.
Cadangan batubara di Sumatera, sebagian besar lokasinya berada di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Cadangan tersebut dikelola oleh perusahaan Pertambangan Milik Negara (BUMN), yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. (PTBA) dengan total cadangan yang dapat ditambang mencapai hampir mencapai 2 milyar ton(Petromindo, 2009). Unit pertambangan batubara di Tanjung Enim tesebut terdiri atas Tambang Air Laya, dan Tambang Banko Barat. Selain itu, PT. PTBA juga mengelola cadangan batubara di Ombilin, Sumatera Barat. Sementara itu cadangan batubara lainnya di Sumatera dikelola oleh perusahaan lain seperti PT.Nusa Riau kencana Coal di Riau, dan PT. Bukit Bara Utama, PT. Bukit Sunur, dan PT. Danau Mashitam di Bengkulu.
Secara kualitas, cadangan batubara Indonesia umumnya mempunyai kandungan abu dan sulfur yang rendah, namun mempunyai volatilitas (volatile) dan kandungan air (moisture) yang relatif tinggi. Di Indonesia, batubara dengan nilai kalor lebih dari 5.300 kcal/kg umumnya diklasifikasikan sebagai batubara bituminous, sedangkan batubara dengan nilai kalor antara 4.100 sampai dengan 5.300 kcal/kg diklasifikasikan sebagai batubara sub-bituminous. Batubara bituminous dan sub-bituminous yang memiliki nilai kalor lebih tinggi dari Indonesia biasanya diproduksi untuk memenuhi pasar ekspor. Sementara batubara sub-bituminous Indonesia dengan nilai kalor yang lebih rendah selain dipergunakan untuk memenuhi pasar domestik, juga digunakan untuk memenuhi pasar ekspor. Selain itu, sebagian besar batubara low rank sub-bituminous dari Indonesia masih diterima di pasar ekspor karena sangat rendahnya kandungan sulfur (Ewart and Vaughn, 2009).
Produksi dan Ekspor Batubara
Berdasarkan pengoperasian tambang batubara yang legal, Indonesia sekarang ini memproduksi batubara thermal (steam coal) lebih dari 40 tambang yang berbeda di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sumatera. Kalimantan merupakan produsen batubara ekspor Indonesia terbesar, karena sekitar dua pertiga dari ekspor batubara thermal Indonesia diproduksi dari sekitar dua lusin tambang di Kalimantan Timur dengan sembilan tambang di Kalimantan Selatan. Sementara itu pemenuhan pasar ekspor batubara dari tambang batubara di Sumatera kurang dari 4% (Ewart and Vaughn, 2009).
Sejak sepuluh tahun teakhir, produksi batubara Indonesia terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 15% per tahun. Terhitung sejak tahun 2000 dimana produksi batubara kala itu sekitar 77 juta ton meningkat menjadi 325 juta ton pada tahun 2010.
Seiring produksi batubara yang terus menggeliat dipacu oleh meningkatnya harga minyak bumi saat ini, banyak industri yang menetapkan batubara sebagai pilihan utama pengganti minyak bumi seperti semen, tekstil, dll. Faktanya saat ini memang harga batubara juga terus naik seiring dengan harga minyak bumi. Saat harga minyak bumi telah menyentuh 86,37 USD per barrel, maka batubara juga mencapai harga 122,43 USD per ton (harga bulan Maret 2011). Harga ini tentu saja masih terus berfluktuasi. Inilah era keuntungan besar bagi para pemain batubara, tapi di sisi lain ini juga merupakan era yang cukup menyedihkan bagi para konsumen.
Selain itu ironisnya, bahwa di tengah peningkatan produksi batubara tersebut, konsumsi dalam negeri ternyata hanya mampu menyerap 25-30% saja dari total produksi nasional. Misalnya saja pada tahun 2009 yang lalu, produksi batubara sebesar 254 juta ton , sedangkan yang diserap oleh domestik sebesar 56 juta ton atau hanya sekitar 22% dari produksi nasional. Meski jumlah tersebut sebetulnya juga merupakan kemajuan, bila dibandingkan dengan jumlah konsumsi 10 tahun lalu yang hanya mencapai 15,4% dari total produksi sebesar 61,3 juta ton.
Padahal, telah ada sejumlah kebijakan pemerintah yang mewajibkan para pelaku pertambangan batubara untuk lebih mengutamakan pemenuhan pasokan batubara domestik ketimbang untuk ekspor. Untuk perusahaan yang telah terikat Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), kewajiban tersebut bahkan dinyatakan dalam perjanjian PKP2B tersebut, bahwa ekspor dapat dilakukan setelah kebutuhan domestik tercukupi.
Pasca disahkannya UU Minerba No. 4 tahun 2009, kewajiban untuk mementingkan kebutuhan batubara domestik semakin tegas, yaitu dengan adanya kewajiban Domestik Market Obligation (DMO). Ketentuan tersebut tersurat dalam pasal 5 ayat (1) Undang Undang Minerba, bahwa “untuk kepentingan nasional, pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.”
Selain itu, ketentuan serupa juga ditegaskan dalam pasal 84 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 23/2010 bahwa “Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.” Pun demikian dengan penegasan yang terdapat dalam Peraturan Menteri No 34/2009 tentang pengutamaan Pemasokan kebutuhan Mineral dan batubara untuk Kepentingan dalam Negeri.
Dengan adanya beberapa perangkat hukum tersebut, maka dapat disimpulkan, bila pemerintah sebetulnya sangat mengutamakan pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri. Lihat saja bagaimana Blue Print pengembangan Energi Nasional (BPEN) dan Perpres No. 5 tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang mengamanatkan agar kontribusi batubara dalam bauran energi nasional (energi mix) terus ditingkatkan, dari 15,34% pada tahun 2006, menjadi 33% atau kurang lebih setara dengan 370 juta ton pada tahun 2025.
Hanya saja, harapan memang tak selalu sesuai dengan kenyataan. Volume ekspor batubara masih saja meninggi, sementara pelaku industri semakin menjerit, karena terancam menghentikan operasinya. Kuasa pertambangan atau pun pemegang kontrak karya beralasan bahwa mereka kadung terikat kontrak dengan smelting company di luar negeri. Selain itu, para konsumen batubara di dalam negeri merasa enggan untuk membeli batubara denan harga yang sama dengan harga ekspor.
Menjadi tuan rumah di negeri sendiri, seharusnya memang tidak diartikan sebagai penguasaan atau hak penuh atas kuasa pertambangan. Tidak pula dengan cara menasionalisi tambang-tambang asing ala Bolivia. Yang membuat negara tersebut diasingkan dalam pergaulan internasional. Kalaupun hendak menasionalisasi pertambangan maka nasionalisasi ala Indonesia adalah nasionalisasi yang beradab dan win-win solution. Dan oleh karena itulah, sejumlah solusi dapat diajukan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan batubara kita, agas lebih ramah dan memihak pada kepentingan domestik.
Setelah UU No. 4 tahun 2009 disahkan, perusahaan tambang batubara mengalami masalah tumpang tindih dalam hal wilayah ijin usaha pertambangan akibat proses pemberian ijin yang tidak terkontrol, dan kerusakan lingkungan akibat beroperasinya KP/IUP skala kecil/rakyat. Di samping itu, renegosiasi kontrak PKP2B yang berlarut-larut (akibat tidak konsistennya pasal 169 ayat a dan ayat b Undang Undang tesebut) dan pelaksanaan DMO (masalah harga jual beli kuota, cara pembayaran, batubara yang spesifikasinya di luar yang dibutuhkan).
Situasi yang kontraproduktif sebagai akibat dikeluarkannya draft Peraturan Menteri ESDM tentang peningkatan nilai tambah batubara (sampai saat ini belum ada teknologi upgrading batubara yang secara komersial terbukti) yang berujung pada pelarangan ekspor untuk batubara dengan kalori di bawah 5.700 kcal/kg (adb) pada tahun 2014 mendatang, padahal sampai hari ini pemerintah belum memutuskan secara pasti isi dan parameter Peraturan tersebut.
Kondisi seperti ini sebetulnya menuntut untuk dilakukannya beberapa hal seperti; pencarian jalan keluar yang win-win solution/trade off yang seimbang, agar renegosiasi kontrak PKP2B ini melahirkan hasil yang optimal. Diperlukan lembaga khusus yang menangani masalah DMO, agar seluruh kewajiban kuota perusahaan dapat terpenuhi. Perlu secepatnya diatur harga batubara peringkat rendah atau tipe lignit, agar segera didapatkan kepastian hukumnya. Mengenai kebijakan peningkatan nilai tambah batubara peringkat rendah perlu dipkirkan kembali, terutama karena tenggang waktu yang terlalu singkat, dan karena teknologi upgrading belum juga tersedia di pasaran. Terakhir, industri pertambangan batubara kita memerlukan good corporate governance dan good minning practice, sembari melakukan berbagai kampanye pencitraan yang positif. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H