Mohon tunggu...
Maruf Mutaqien
Maruf Mutaqien Mohon Tunggu... -

Science Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Money

Memberdayakan Potensi Lokal Minerba

2 Januari 2014   01:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:15 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pertambangan merupakan sektor yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak hanya karena nilainya yang absolut, tapi juga karena sering dihasilkan dari daerah yang menawarkan sedikit kesempatan untuk pertumbuhan. Sektor pertambangan mineral misalnya, saat ini telah menyumbang 20% dari total ekspor Indonesia. Untuk komoditas timah, Indonesia merupakan produsen terbesar nomor dua, dan peringkat ke-4 penghasil tembaga dunia. Indonesia juga berhasil menjadi penghasil emas, phosphate, dan bauksite dalam jumlah yang besar. Selain itu, Indonesia juga merupakan pemasok utama kebutuhan batubara dunia.

Data seperti itulah yang niscaya akan kita dapatkan dari wajah pertambangan mineral dan batubara (minerba), yang sekilas pintas tampak membuai kita dengan setumpuk harapan dan kemajuan. Yah, hampir 40 tahun lamanya, sejak UU No. 11 tahun 1967 ditetapkan, industri pertambangan Indonesia memang berada dalam rezim kontrak dan perjanjian usaha pertambangan yang mengacu pada model ekonomi yang bersandar pada logika mekanistik ala Newtonian.

Dalam ilmu ekonomi modern yang mekanistik, pertumbuhan ekonomi dikalkulasikan dalam angka-angka statistik yang kaku. Sehingga dampak ekonomi non-kegiatan pertambangan seperti dampak sosial dan lingkungan tak dapat dikalkulasikan. Logika sederhanya adalah keruk dan habiskan, lalu kalkulasikan dalam neraca pertumbuhan ekonomi. Meskipun dalam perkembangan mutakhir, para ahli ekonomi telah banyak mencurahkan berbagai upaya untuk mengaitkan setiap kegiatan ekonomi pertambangan dengan aspek lokal di sekitar pertambangan seperti isu sosial, lingkungan dan penggunaan komponen lokal ke dalam kata “externalities”, tapi secara nominal ternyata cukup sulit untuk menentukan nilai yang harus dibebankan pada kata tersebut.

Di Indonesia, isu eksternalitas dalam usaha pertambangan utamanya sektor mineral dan batubara (minerba) mendapatkan perhatian yang luar biasa. Belakangan, perhatian tersebut bahkan berhasil meruntuhkan rezim kontrak dan perjanjian usaha pertambangan yang diyakini terlalu acuh terhadap kata externalities dan melahirkan rezim baru yakni rezim perizinan usaha pertambangan dengan ditetapkannya UU Minerba No. 4 tahun 2009.

Lahirnya UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba sedikit banyak memang terpengaruh dengan kecenderungan di negara-negara dunia ketiga (Negara berkembang) utamanya di kawasan Amerika Latin untuk menuntut pertanggungjawaban para kuasa pertambangan atas sejumlah persoalan yang menimpa negara mereka. Bila di Amerika Latin tuntutan tersebut menjelma menjadi desakan nasionalisasi pertambangan seperti di Bolivia dan Venezuela, sementara di Indonesia sedikit berbeda, ia menjelma menjadi aturan perundang-undangan yang menuntut adanya kewajiban memenuhi local content dalam setiap usaha pertambangan. Secara faktual, paket undang-undang ini sebetulnya ingin memperkenalkan nasionalisasi ala Indonesia yang lebih mengutamakan win-win solution.

Sebagaimana diketahui, pasal 107 UU Minerba tahun 2009 menyebutkan, bahwa aktivitas pertambangan harus mengikutsertakan pengusaha lokal, maksudnya adalah penggunaan local content dalam aktivitas pertambangan mesti dimaksimalkan. Tentu saja kata local content disini berarti luas, seperti disebutkan dalam pasal-pasal selanjutnya, seperti pasal 106 yang mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri. Lalu pasal 108 yang mengharuskan setiap pemilik ijin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat atau community development. Pasal selanjutnya adalah pasal 127 yang mewajibkan para pemegang ijin usaha pertambangan untuk memenfaatkan jasa pertambangan dalam negeri.

Pasal 107 UU Minerba 2009 dengan demikian ditujukan pada kegiatan non inti (di luar kegiatan pertambangan). Dalam hal pembelian peralatan atau mesin, apabila di pasar lokal sudah tersedia, maka tidak perlu mendatangkan dari luar apalagi mengimportnya. Contoh konkrit adalah perusahaan jasa katering, tenaga kerja termasuk suplai bahan bakunya, apabila di daerah tersebut ada perusahaan lokal atau tenaga kerja lokal yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan perusahaan, atau bahan bakunya sudah tersedia di pasar lokal, itu yang harus diprioritaskan oleh pemegang IUP. Demikian pula halnya dengan program-program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut.

Dari ketiga pasal tersebut, memang terdapat kesamaan tujuan, yaitu upaya-upaya pelibatan pengusaha dan tenaga kerja lokal yang pada akhirnya juga merupakan bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat setempat.

Selanjutnya berkaitan dengan “pengaturan mengenai perusahaan lokal dapat diikutsertakan dalam operasi pertambangan di daerahnya,” hal tersebut dilaksanakan berdasarkan prinsip business to business, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat pula melalui mekanisme pelaksanaan kewajiban “divestasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 112 UU Minerba 2009, ketentuan tersebut lebih lanjut akan diatur dalam PP sebagai pelaksana UU Minerba 2009 yang saat ini sudah tahap finalisasi. [ ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun