Sudah menjadi lumrah, bila dalam berbagai kesempatan taklim; baik itu ceramah, pengajaran, perkuliahan atau bahkan hanya sebuah obrolan di teras mushala selalu berisi nasihat atau perintah beribadah. Tak lupa sang ustadz biasanya menyampaikan janji balasan pahala bagi siapa saja yang taat.
Hanya saja, tak jarang kita atau bahkan sang penjuru dakwah sendiri memiliki ganjalan di dalam hatinya. Baik ketika mendengarkan atau menyampaikan nasihat-nasihatnya. Secara tidak sadar, akhirnya ibadah yang dilakukan selalui ia kaitkan dengan pahala yang akan diraih dari Allah Swt.
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib pernah terpanah tangannya oleh orang kafir, Ali pun tak kuasa menahan sakit, meraung-raung bak harimau betina yang kehilangan anaknya. Melihat kondisi Ali yang tak karuan, Umar pun mencari cara untuk menghentikan penderitaan yang tengah dialami sang pemuda kinasih tersebut. Bila anak panahnya ia cabut, maka tak terbayang bagaimana hebatnya raungan Ali. Akhirnya, timbul ide dalam benak Umar, katanya, kita cabut saja anak panah itu tatkala Ali sedang shalat, yakinlah bila Ali tak akan meraung sedikit pun.”
Umar tak bermaksud untuk membuat lelucon sama sekali, usulan yang sedikit aneh tersebut muncul semata-mata karena Umar sering melihat Ali beribadah shalat dengan sangat khusyuknya, saking khusyuknya, tusukan anak panah atau tebasan pedang pun sama sekali tak akan ia rasa. Dalam hal ini, sungguh Ali telah meraih anugerah Allah dalam beribadah.
Sadar atau tidak, sesungguhnya kesempatan dan kemampuan kita beribadah hanya karena izin dan kemurahan dari Allah Swt. untuk itu, tak ada satupun alasan yang bisa dijadikan dasar untuk berbangga hati atas segala aktivitas ibadah yang telah dijalankan. Coba bayangkan, bila bukan karena anugerah Allah, apakah mungkin kita bisa bangun di pagi hari untuk melaksanakan shalat subuh? Apakah ini semata-mata karena kehendak manusia sendiri? Atau sadarkah kita, kenapa saat kembali terbangun dari tidur di pagi hari kita dianjurkan untuk bersyukur, Ya Allah hamba bersyukur, bahwa hamba-Mu masih hidup, masih bernafas dan masih diizinkan menerima nikmat dan hikmah-Mu sepanjang hari ini. Seandainya bukan karena anugerah dan rahmat dari Allah, niscaya kita “terlelap”, lalu baru bangun kembali di padang mashar nanti.
Ketika kita hendak memulai aktivitas (ibadah), pertama-tama tanamkanlah pada diri kita bahwa aktivitas yang akan kita lakukan tersebut, hanya mungkin terjadi atas izin dan kemurahan Allah Swt. Keyakinan akan adanya izin dan kemurahan Allah dalam setiap aktivitas inilah yang biasa kita sebut dengan iman. Nabi Muhammad secara spesifik menjelaskan iman sebagai percaya dengan yakin kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan-Nya, kepada hari akhir, dan yakin pada ketetapan Allah (takdir), baik takdir baik maupun buruk. Sementara al-Qur’an mengungkapkan, mereka yang beriman adalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasulnya, lalu mereka tidak bimbang dan berjuang dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Beribadah dengan demikian adalah iman, beribadah adalah anugerah, dan beribadah bukanlah proses transaksi. Dengan pemahaman seperti ini, kegagalan sekalipun sama sekali tidak akan mengganggu jiwanya. Karena dalam pandangan mereka tidak ada kebaikan sebesar atom pun yang dilalaikan Allah sebagai penghargaan atas niat baiknya. Segala upaya yang dilakukan di dunia diyakini tidak sia-sia, karena ada pahala yang lebih kekal di sisi Allah Swt.
Orang-orang yang beriman tak akan pernah silau dengan gemerlap dunia, karena bagi mereka satu-satunya kenikmatan tertinggi adalah menambatkan hati kepada Allah. Silaunya dunia bagi mereka seumpama air laut, yang apabila diminum tidak dapat menghilangkan dahaga, tetapi hanya akan menambah haus. Bila menurutkannya maka tak akan pernah puas, sedang dunia tak ubahnya laksana fatamorgana.
Allah Swt. menyindir fatamorgana yang kerap menyilaukan manusia ini dalam surah Ali-Imran ayat 14. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."
Oleh karena itulah agama tak hanya mendakwahkan “keadilan” Tuhan, tetapi juga mendakwahkan “anugerah”-Nya. Dalam rumusan keadilan Tuhan, segala hal akan diberi balasan setimpal, kebaikan atau pun keburukan. Keadilan Tuhan dengan demikian menancapkan kecemasan dalam batin manusia. Akan tetapi, dalam rumus anugerah Tuhan, kebaikan dapat dibalas dengan ganjaran yang berlipat, sementara keburukan dapat dimaafkan, subhanallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H