Dimanapun orang sudah menemukan berhala-berhala baru untuk disembah, tuhan-tuhan baru dalam kehidupan nyata. Rumah ibadah pindah ke tempat- tempatyang menyenangkan seperti mall ataupun tempat hiburan lainnya. Berhala kehormatan dan eksistensi yang bernama mode atau tren. Korban doktrin khotbah-khotbah indah tentang manfaat suatu produk yang dengan sabdanya mengajak masyarakat untuk beribadah ke mall, pasar, dan menjadi umat yang konsumtif.
Bujuk rayu kapitalisme'ini dapat mengantarkan masyarakat masuk ke dalam pintu gerbang eksistensi lewat aksi yang bernama membeli. Ya,membeli, membeli apa aja yang ditawarkan tanpa harus berpikir benda yang dibeli itu bermanfaat atau tidak.
Pola pikir masyarakat yang sebenarnya rasional tapi tak berdaya melawan gempuran sabda dan khotbah suci maupun berjuta eksemplar kitab suci baru yang bernama majalah, brosur, dengan isi yang vulgar, porno dan indah yang dirancang sedemikian efektif untuk mempengaruhi, bukan cuma pandangan hidup tapi juga pilihan hidup seseorang, sehingga sanggup memukau dan mampu membius logika dan nalar kita.
Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanapun, kita pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri. Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri.
Hilang sudah logika, terbakar oleh dusta, mereka hina dan nista,terjerat oleh dunia. Mati Logika, putuslah asa, sembah dunia, kotor media, racuni jiwa, halalkan dosa. Persetan semua ajarannya, jadikan nyata, hancurkan dosa, hiduplah dengan rakusnya dunia, habiskan semua sampah logika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H