Pergerakan atau movement mengandung beragam pemaknaan baik itu tentang perubahan, hijrah, dinamika, dan pergeseran yang mengacu arah ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, kegagalan menuju keberhasilan, keburukan menuju kebaikan melalui beragam usaha keras dan proses yang matang.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berdiri sejak 17 April 1960 bertepatan dengan era Orde Lama, tentu mengalami berbagai tranformasi arah pergerakan dalam perjalanannya hingga saat ini. Kebutuhan akan ide dan gagasan pemikiran, perkembangan zaman, warna-warni perpolitikan bangsa adalah beragam faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Secara mutakhir pada abad ke – 21 ini PMII memiliki peranan penting sebagai organisasi pengkaderan, bukan semata-mata menjadi oposisi atau mengkritisi pemerintah seperti pada era rezim orde lama dan orde baru, konteks mutkahir PMII saat ini adalah tentang bagaimana mengejawantahkan proses transformasi dalam wujud nyata.
PMII juga turut serta mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dan mengalami beragam transformasi seperti apa yang tertulis di atas, bukan berarti memudarkan atau bahkan meninggalkan akar rumput pergerakan yang identik dengan konteks ideologi dan idealisme, di PMII sendiri manhajul fikr atau ideologi yang dipegang adalah ajaran Ahlussunah wal Jamaah.
[Ahlusunah waljamaah (aswaja) Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, dalam bidang Aqidah mengikuti pendapat Imam Abu Hasan al.Asyari dan Imam al. Maturidi, dalam fiqih menganut salah satu dari 4 madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali), dalam bertasawuf / akhlaq mengikuti Imam Ghozali dan Imam Junaid al. Baghdadi].
Selebihnya mendapat penyesuaian-penyesuaian pola pikir sesuai dengan pola kajian yang dikembangkan, di mana PMII bukanlah organisasi ekslusif melainkan oragnisasi inklusif sehingga meskipun pola pemikiran yang dijadikan nilai dasar pergerakan yakni “Aswaja” tetapi organisasi ini senantiasa berusaha membuka diri untuk mutu ilmu yang lebih baik. Sebagai catatan saja di beberapa wilayah kepengurusan cabang PMII masih berkembang kajian pemikiran barat seperti Karl Marx, Immanuel Kant, Derida, dan Descartes, hal ini secara sadar atau tidak tentu akan mempengaruhi pola pergerakan yang ada. Dari sisi positif tentu kajian umum pemikiran ini menambah wawasan dan pola pergerakan, tapi di sisi lain kajian ini sedikit banyak mendegradasi pola ajaran aswaja yang dipegang, hal ini tentu menjadi konsekuensi dari sikap inklusif tadi yang sepatutnya juga memiliki filterisasi untuk mencegah sesuatu yang tidak dinginkan misal saja degradasi paham aswaja tadi yang sejatinya adalah alat filter itu sendiri.
PMII sebagai wadah pergerakan Islam Indonesia sejatinya memiliki pola-pola ideologi pergerakan pada umumnya yang identik dengan advokasi dan pembelaan kaum marjinal, rakyat kecil, proletar, petani dan lainnya, hal ini memang sudah mendarah daging di setiap pergerakan mahasiswa selaku pemilik legitimasi agent of change, PMII sebagai salah satu pergerakan yang hidup di antara lainnya pun memiliki pola yang sama yakni “gerakan moral dan gerakan sosial” sehingga condong akan nilai-nilai sosialisme yang kontra akan kapitalisme maupun feodalisme. Dalam pergerakan, ideologi ataupun sikap idealisme adalah kesakaralan yang luar biasa, namun demikian idealisme yang utopis akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kader yang ada di tengah tuntutan realistis kehidupan kedepan, tuntutan realisitis yang dimaksud tentu bukan merujuk ataupun bertendensi terhadap sikap pragmatis melainkan bagaimana seorang kader PMII mampu menunjukkan jati dirinya yang idealis tersebut dalam segi aplikatif di tengah-tengah runtuhnya moral bangsa saat ini. Bukankah mereka yang duduk di kursi kekuasaan saat ini banyak yang pernah menjadi aktifis seperti kita, menjatuhkan rezim, dan berorasi di depan parlemen pada masa lampau tetapi banyak diantara mereka yang lupa akan idealisme yang sepatutnya tetap terjaga di tengah godaan pragmatisme kekuasaan saat mereka menjadi wakil rakyat. Oleh karena hal yang terbesar dalam hidup bukanlah memiliki idealisme yang utopis tetapi bagaimana bisa membawa nilai-nalai idealisme yang kita pegang bukan sekedar wacana belaka melainkan aplikatif dan melihat konteks realistis kehidupan. Hal ini juga berkenaan dengan persaingan global tadi yang menuntut adanya pola pengkaderan yang lebih berkualitas di tubuh PMII agar tidak pasrah dengan keadaan ketika “badai” perubahan datang. Seperti apa yang diungkpakan oleh Jose Rizal “Bukanlah pengecut orang yang tiarap menghindarkan peluru mendesing, namun bodohlah orang yang menantang peluru hanya untuk jatuh dan tidak kuasa bangkit kembali”, setidaknya memberi pencerahan pada kita bahwa menjadi mahasiswa pergerakan bukan semata-mata mencari momen heroisme seperti turun ke jalan dan gerakan lainnya tetapi bagiamana kita sadar bahwa kondisi sekitar yang ada menuntut mahasiswa pergerakan memiliki porsi yang lebih luas dalam memahami peta pergerakan di tengah-tengah perubahan zaman yang tidak bisa ditampik lagi “tidak menunggu badai”.
Dan pula PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda penerus bangsa harus merasa terpanggil untuk membela kepentingna rakyat. Karena melihat lembaga legeslatif tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog dengan pemerintah. Maka sepatutnya menjadi pijakan atau landasan dasar bagi para Anggota dan kader PK.PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN. Saat ini para Anggota dan kader PMII Universitas Ibn Khaldun harus memprioritaskan perbaikan kaderisasi, baik secara konstitusi maupun sistematikanya. Sistem kaderisasi PMII di Universitas Ibn Khaldun kurang berjalan maksimal sehingga tidak menghasilkan dampak yang sistemik bagi organisasi maupun kader secara individu atau sosial. Saat ini para pengurus PK PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN terelupa akan langkah follow up para anggota yang telah lama hilang dari belantikan pergerakan.
PMII bukanlah organisasi yang antinya menjadi pabrik penghasil bibit-bibit baru parpol atau ormas NU. Akan tetapi, PMII adalah salah satu organisasi kepemudaan yang independen secara pikiran dan gerakan yang mengaplikasikan nilai-nilai kolaboratif antara aswaja dan pancasila.
Maka sistem pendidikan Kaderisasi PMII di Universitas Ibn Khaldun ini harus mampu tampil sebagai baromater kaderisasi di tingkat regional Bogor, atau nasional PMII. Kaderisasi merupakan pionir bagi eksistensi PMII di dalam lembaran sejarah bangsa ini. Eksistensi tersebut tidak hanya kuantitas kader saja, tetapi kualitas kader juga harus menjadi perhatian penuh bagi kepengurusan komisariat PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN selanjutnya.
Adapun yang harus menjadi PR besar bagi komisariat PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN di periode mendatang terkait kaderisasi ialah:
1. Formulasi strategi perekrutan secara ilmiah, variatif, dan sistemik.
2. Formulasi kurikulum kaderisasi yang dispesifikasikan terbentuknya silabus kaderisasi sesuai konstitusi maupun kondisi psikologi-sosial secara empirik calon anggota.
3. Pengelolaan dan pengaturan kaderisasi di bawah naungan komisariat PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN harus satu pintu di bawah tanggung jawab ketua 1 bidang internal PMII yang tidak bertentangan dengan konstitusi PMII.
4. Normalisasi pendidikan formal PMII di tingkat rayon secara berkala dan tersistem.
5. Meningkatkan sistem advokasi kaderisasi di tingkat rayon melalui pendidikan non-formal PMII.
6. Formulasi gerakan intelektual yang khas dan spesifik berdasarkan pada latar-belakang institusi kampus, sehingga melahirkan suatu gerakan yang berkarakter yang nantinya menjadi jatidiri PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN.
7. Menerapkan pendidikan formal PMII berbasis ideologisasi dan disiplin ilmu calon anggota/kader secara regulatif, sistemik, terukur, dan terstandar.
8. Menetapkan standar minimal kompetensi (SMK) di tiap materi pendidikan pmii untuk pertimbangan penilaian kelulusan kader.
9. Menertibkan kembali data base anggota dan kader PMII di Universitas Ibn Khaldun untuk mengetahui perkembangan frekuensi jumlah kader dari tahun ke tahun.
10. Merebut kembali sistem Politik kampus yang saat ini PMII di Universitas Ibn Khaldun hanya mampu menjadi penguasa di satu BEM Fakultas saja.
Semoga ini menjadi aksi nyata bagi pengurus komisariat PMII UNIVERSITAS IBN KHALDUN sehingga mendapatkan kembali jiwa jiwa kritis transformatif. Karena Semangat kritis yang terbangun adalah “ruh” dari gerakan PMII yang membutuhkan suatu pemahaman yang utuh dan kecerdasan dalam membaca dan menangkap fenomena yang terjadi.
Karenanya varian gerakan menjadi penting yang diimbangi dengan kajian-kajian yang mendalam baik pada tingkatan paradigmatic, teoritis manapun aplikasi praksisnya. Dengan demikian, PMII Universitas Ibn Khaldun tidak akan mengalami keterjebakan dalam romantisme sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H