Mohon tunggu...
Odie Hudiyanto
Odie Hudiyanto Mohon Tunggu... -

penulis buku, pengajar dan memberikan konsultasi/advokasi perburuhan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Serikat Lemah, Siapa Salah?

17 Maret 2011   15:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih banyak serikat yang berpendapat bahwa tugas serikat adalah beraksi dan bukan berpikir. Sebuah pandangan yang perlu dikoreksi.

Beragam pendapat muncul dari peserta coordination meeting antara Global Union Federation (GUF) dan Trade Union Support Organisation (TUSSO) dengan SP/SB di Indonesia di Hotel Santika Premier Jakarta, 28 April 2010.

Menarik, secara terbuka SP/SB memberikan pandangannya terkait kehadiran GUF dan TUSSO secara bebas di Indonesia pasca tumbangnya rezim Soeharto pada tahun 1998 dan munculnya tiga paket undang-undang ketenagakerjaan yaitu UU No 21/2000 tentang SP/SB, UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan dan UU No 2/2004 tentang PPHI.

Euforia kebebasan berserikat hanya dapat dinikmati sesaat. Awalnya muncul harapan yang sangat besar ketika SPSI tidak lagi menjadi wadah tunggal worker class di Indonesia. SP/SB tumbuh bak jamur dimusim hujan, berafiliasi International pula. Depnakertrans melaporkan, hingga tahun 2009 tercatat ada 3 Konfederasi (KSPSI, KSPI, dan KSPI), 90 Federasi dan ribuan SP tingkat perusahaan.

Namun harapan itu semakin lenyap. Perpecahan merata di semua tingkatan. Perseteruan di KSPSI belum kunjung selesai, sementara SPN tidak lagi aktif di KSPI. Seiring perjalanan waktu, kehadiran GUF di Indonesia tidak selamanya memberikan manfaat positif. Pada pertemuan koordinasi di Hotel Santika tersebut, beberapa serikat menuding GUF punya andil atas keterpurukan gerakan buruh. GUF dinilai melakukan intervensi terlalu dalam dan tidak memiliki kode etik dalam melakukan pembagian peran dengan afiliasinya. Terjadilah matahari kembar. Kemandirian akhirnya terampas. GUF secara bebas menentukan ‘hidup dan matinya’ sebuah serikat. Keputusan untuk melakukan tindakan tidak melalui keputusan kolektif. Strategi gerakan buruh dari Negara yang berekonomi kuat diadopsi mentah-mentah. Demonstrasi, unjuk rasa dan mogok kerja dijadikan solusi. Akibatnya, tidak terbilang ribuan buruh harus kehilangan pekerjaan. Jika demikian siapa yang bertanggung jawab?

Tidak dipungkiri jika hal itu disebabkan masih rendahnya kemampuan serikat untuk membiayai sendiri roda organisasinya. Iuran anggota masih sangat minim. Ini yang membuat serikat tidak berdaya menghadapi tekanan dari banyak pihak. Indrasari Tjandraningsih, Peneliti perburuhan dari Akatiga mengungkapkan bahwa masih ditemukan iuran serikat sebesar Rp 500,- setiap bulannya dan tidak rutin dibayarkan. Bahkan di Jawa Barat, ada serikat yang membebaskan iuran sebagai cara untuk menarik anggota. Jumlah anggota yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah iuran.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) adalah contoh ideal serikat yang membangun kekuatan dengan menggabungkan teori ‘Barat’ dengan kondisi perburuhan di Indonesia. Dalam hal keuangan, selain iuran, FSPMI juga tidak mengharamkan menerima support dari TUSSO untuk lebih mempercepat pelayanan pada anggotannya. Tidak heran jika kesadaran anggota membayar iuran semakin baik dan pada akhirnya jumlah uang iuran yang terkumpul di level nasional (DPP) mencapai lebih dari dua miliar rupiah dalam setahun. Angka tertinggi iuran yang diterima oleh serikat di Indonesia. Secara perlahan jumlah anggota semakin meningkat.

FSPMI juga mempergunakan kombinasi aksi kolektif dan mekanisme hukum. Tidak aneh dengan siasat yang cerdik, FSPMI menjadi serikat pertama yang mampu memenjarakan pengusaha. Fathoni Prawata, General Manager PT King Jim Indonesia, divonis 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur karena dinyatakan terbukti secara meyakinkan, menghalang-halangi kegiatan serikat buruh. Caranya, antara lain, dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), intimidasi, menurunkan jabatan atau mutasi, serta tidak membayarkan atau mengurangi upah buruh.

Selain problem internal di serikat, kondisi perburuhan di Indonesia diperburuk oleh diterapkannya pola efisiensi usaha yang mengandalkan fleksibilitas. Melalui UU 13/2003 pemerintah Indonesia mengesahkan praktekfleksibilitas melalui penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain dan melalui pengerahan tenaga kerja melalui perusahaan penyalur atau pemborongan pekerjaan yang popular disebut outsourcing. Dampaknya luar biasa, dalam rentang waktu lima tahun jumlah anggota serikat terus berkurang karenaberkurangnya pekerja tetap serta berkurangnya kesempatan dan minat menjadi anggota serikat. Tidak aneh jika jumlah anggota SP/SB di Indonesia menurun tajam yaitu dari 9 juta orang di tahun 2002 menjadi hanya 3.405.635 orang di tahun 2007 berdasarkan hasil verifikasi Depnakertrans.

Di tengah menurunnya jumlah anggota serikat, perlombaan menambah anggota disiasati dengan merubah lingkup pengorganisasian. Serikat pekerja kini tidak lagi sektoral tetapi membuka diri menjadi multi sektor. Tindakan ini tanpa disadari memicu hilangnya solidaritas antar serikat.

Cap sebagai ‘tukang demo’ masih terus melekat sampai sekarang. Masih banyak serikat yang hanya mengandalkan kekuatan massa untuk memperjuangkan kepentingannya. Reaktif dalam menyikapi persoalan dan selalu berfikir jika UU No 21 Tahun 2000 dapat membentengi serikat dari ancaman pemecatan.

Sangat benar pendapat Indrasari Tjandraningsih, Peneliti Akatiga, masih banyak serikat yang berpendapat bahwa tugas serikat adalah beraksi dan bukan berpikir.

Tidak ada pilihan untuk menghindari keterpurukan selain meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesadaran membayar iuran dan menghilangkan kesan ekslusif antar serikat.

Melakukan pendidikan secara kolektif adalah salah satu jalan agar gerakan buruh di Indonesia tidak terpuruk menjadi lebih dalam lagi.

odm@lwg.or.id

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun