Mohon tunggu...
Odi Yogya
Odi Yogya Mohon Tunggu... Freelancer - Pengepul arsip

Seorang pengepul arsip, belajar dari masa lalu dan masa kini, semua orang itu guru, alam raya sekolahku..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Membela Anak Bumi Marapu", Membaca Novel Karya Bagus Yaugo Wicaksono

26 Desember 2020   12:30 Diperbarui: 26 Desember 2020   12:55 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel ini mencerminkan realitas yang terjadi di salah satu kelompok masyarakat adat yang memiliki keyakinan/agama lokal di Sumba, yakni Marapu. Kendati sudah ada beberapa novel yang berpijak pada persoalan adat istiadat, kecenderungannya adalah melakukan perlawanan karena dinilai sudah tidak sesuai dengan zaman yang terus bergerak. Dengan kata lain, adat-istiadat tersebut dipertentangkan dengan dunia modern. Novel ini berkebalikan, melihat dari kepentingan kelompok masyarakat adat sendiri yang selama ini banyak terabaikan, terstigma dan terdiskriminasi. Program pembangunan atau upaya pemberdayaan baik dari pemerintah ataupun dari kelompok masyarakat sipil, utamanya kalangan organisasi non pemerintah dinilai gagal dan tidak tepat sasaran, lantaran tidak berbasis pada kondisi sosial-budaya masyarakat adat sendiri. Semua cenderung memasukkan (atau bahkan memaksakan) pemikiran dan nilai-nilai dari luar.

Kaum muda yang ditampilkan dalam novel ini,  dengan latar belakang pendidikan yang memadai, berupa mengenali, memahami dan mendalami sendi-sendi kehidupan masyarakat adat, utamanya yang menjadi fokus adalah nilai-nilai, ajaran, ataupun pandangan terhadap anak. Pengamatan, informasi dari dialog-dialog dengan anak dan masyarakat serta bahan bacaan,  atas kehidupan sehari-hari tentang konstruksi bangunan rumah, penampilan anak lelaki, pembagian kerja antara anak laki-laki dan perempuan serta peranan mereka di dalam upacara-upacara adat, tatanan kehidupan dan hukum adat yang berlaku, dilihat secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Sebagai pembaca, kita tidak diperlihatkan situasi yang hitam-putih, melainkan dinamika kehidupan yang kompleks.

Kaum muda, yang sebagian besar bukan berasal dari Sumba, dengan referensi kehidupan modern, berusaha keras untuk tidak terjebak dalam stereotype terhadap kelompok masyarakat adat yang cenderung buruk. Farid, lulusan paska sarjana ilmu politik, berpijak pada pemikiran dan pandangan tentang Hak Asasi Manusia secara umum dan Hak Anak secara khusus. Ketentuan tentang kelompok masyarakat adat, atau anak dari masyarakat adat yang merupakan salah satu yang diidentifikasi sebagai  kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus, menjadi perhatian dan titik pijak di dalam upaya mengembangkan perubahan sosial yang bermakna bagi anak dan masyarakat sendiri.    

Seperti kita ketahui, kelompok masyarakat adat, selama ini senantiasa menjadi korban pembangunan, terstigma, terdiskriminasi, dan termarjinalisasi. Farid, tokoh utama dalam novel ini, menggugat proses pembangunan, utamanya akses dan konten Pendidikan serta layanan sosial lainnya yang tidak menyentuh secara subtansi bagi kehidupan masyarakat Sumba. Ia meletakkan berbagai sendi kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kebijaksanaan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan. 

Budaya, adat-istiadat harus ditempatkan sebagai elan masyarakat yang berkembang seiring perubahan zaman, tidak dijadikan semata sebagai artefak yang sekedar dilestarikan dan menjadi beku. Pembangunan bagi mereka, bukan menjadikan mereka sebagai orang asing di tanah mereka sendiri. Jadi, dalam novel ini, dengan menggunakan kerangka universal, mendorong perubahan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai atau budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Dan ini sebuah perjuangan berat lantaran model pembangunan -- yang walaupun sejak reformasi telah mengalami perubahan dibanding rejim sebelumnya -  tetap saja terpusat dan menyama ratakan program di seluruh wilayah.

Organisasi non pemerintah (Ornop), selama ini dikenal memiliki kekuatan bekerja di tingkat akar rumput. Para aktivisnya berjiwa idealis, semangat dan memiliki obsesi perubahan dengan kerja keras yang tak jarang tidak mengenal waktu/jam kerja, belajar dan bekerja bersama masyarakat mewujudkan perubahan bersama. Kedekatan dengan akar rumput, mengenali dan memahami, tidak berperan sebagai hero yang tahu segala-galanya dan bisa melakukan apa-apa, cenderung memfasilitasi, sehingga rencana-rencana pembangunan berpijak pada realitas sesungguhnya. Itu gambaran Gerakan Ornop pada masa silam. Masihkah tetap dengan kekuatan tersebut?  Atau telah mengalami perubahan, tergerus atau terseret dalam pusaran berbeda yang sesungguhnya menghilangkan kekuatan/posisi Ornop sendiri?

Pada novel tersebut, saat gerakan orang muda ini yang berhasil meyakinkan berbagai kelompok masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak anak masyarakat adat yang berpijak pada nilai dan ajaran mereka sendiri, mendapatkan reaksi kemarahan aparat pemerintah yang kemudian melakukan tekanan kepada pimpinan Ornop, - di luar intrik internal yang juga terjadi -  keputusan lembaga adalah menghindari konfrontatif dengan pemerintah, yang berarti mengalahkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat adat yang mulai terorganisir. 

Sebagai kisah perjuangan kaum muda untuk mewujudkan idealismenya, karakter-karakter yang dimunculkan atas tokoh-tokohnya, tidak hitam putih. Para tokoh ditampilkan sempurna sebagai manusia atas ketidaksempurnaannya. Tokoh Farid, misalnya, ditampilkan, walau tidak vulgar, sebagai sosok yang kerap mengkonsumsi minuman keras sebagai pelarian dari persoalan pribadi, namun tidak terjebak di dalam "dunia lain"nya, karena saat bekerja ia fokus pada hal apa yang harus dilakukan, termasuk mewujudkan obsesi perjuangannya. 

Atau Fatia yang ditampilkan sebagai perempuan muda energik, cerdas, pekerja keras, dan sosok yang berani, toh tetap manusiawi saat ia merasa kesal memotret pemandangan yang gagal tertangkap dengan baik sehingga ia mengeluhkan tidak ada bahan untuk mengupdate akun media sosialnya. Kisah cinta yang terbangun antara Farid dan Fatia, kita hanya dapat menangkap dari dialog-dialog yang membahas tentang teguran dari kantor pusat. Tidak ada bagian yang menampilkan, misalnya kencan, rayuan, ataupun pernyataan cinta. Pun akhir kisah mereka juga menggantung...

Memang, sebuah karya fiksi tidak berangkat dari ruang kosong. Posisi pengarang turut menentukan isi dan arah sebuah novel yang berupa perenungan atau refleksi, perlawanan terhadap sesuatu, gagasan tentang perubahan kehidupan dan sebagainya. Demikian halnya dengan bagus Yaugo Wicaksono, pengarang novel ini, di mana kehidupannya juga berada dalam Gerakan Organisasi Non Pemerintah, setidaknya sejak tahun 2006.

Pengalaman saya puluhan tahun bergerak pada isu anak, membaca novel ini memberikan pencerahan, sekaligus membangkitkan harapan tentang strategi dan Langkah-langkah yang dapat dilakukan terutama dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak tanpa mengabaikan realitas sesungguhnya dan tetap berpijak pada akar budaya dan kekuatan masyarakat setempat. Juga keyakinan terhadap kaum muda yang memiliki potensi tinggi sebagai aktivis Organisasi Non Pemerintah yang tetap memiliki idealism dan semangat kerja keras bagi perubahan kaum miskin/marjinal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun