Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Anak Tahu Hak-haknya, Malah Menjadi Kurang Ajar

4 Mei 2013   11:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:07 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Anak, memang tidak dipandang lagi sebagai sosok lemah yang tersia-sia, yang patut dikasihani dan harus selalu diberi. Anak, telah ditempatkan posisinya sebagai manusia, sebagai subyek perubahan bagi diri dan lingkungannya, dan terpenting adalah sebagai subyek yang memiliki hak-hak yang melekat dalam dirinya.

Perubahan radikal tersebut terjadi setelah Majelis Umum PBB melalui resolusi Nomor 44/25 tertanggal 20 November 1989 telah mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA). KHA merupakan instrument internasional HAM yang paling banyak diratifikasi oleh Negara di dunia. Setidaknya 192 Negara telah meratifikasinya, termasuk Indonesia (melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990).

Berbagai komponen, yakni institusi-institusi Negara dan organisasi masyarakat sipil, memiliki peranan penting untuk mempromosikan hak-hak anak ke masyarakat luas, mendorong terbangunnya Perlindungan anak, terjaga dan tidak terlanggarnya hak-hak anak, serta memberikan dukungan agar anak dapat berpartisipasi di dalam upaya menciptakan perubahan terutama yang terkait dengan kehidupan anak-anak.

Maka, saya sungguh berbangga hati dan terharu tatkala selama bertahun-tahun sering mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan kelompok-kelompok anak dan kelompok-kelompok masyarakat dari daerah perkotaan hingga pelosok pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia. Sungguh, mereka telah mendengar, mengetahui, berupaya memahami dan melakukan uji-coba mempraktekkan ketentuan yang terkandung dalam KHA dalam kehidupan sehari-hari, untuk kepentingan terbaik bagi anak.

Namun, pada dua-tiga tahun terakhir, kerap terdengar protes atau setidaknya keluhan terhadap perkembangan anak-anak yang dilontarkan oleh para orangtua. “Sekarang anak-anak memang lebih berani. Mereka berani tampil, berani berbicara, tapi juga berani terhadap orangtua,” lontar seseorang.

“Saat anak tahu hak-haknya, anak malah menjadi kurang ajar,” lontar lainnya dalam lain kesempatan.

“Biar kita saja orang dewasa yang tahu hak anak dan mencoba mempraktekkan, tapi jangan diketahui anak-anak,” terlontar dari seorang guru pada acara yang berbeda.

Kurang dari seminggu yang lalu, saat berkesempatan berproses bersama perwakilan orangtua, karang taruna dan kelompok anak, berbagai permasalahan anak dimunculkan. Salah satu peserta menceritakan tentang kasus seorang anak yang saat ini berumur 13 tahun sering melakukan pencurian, dan selalu diselesaikan di tingkat desa. Namun kasus terakhir anak tertangkap basah melakukan perkosaan terhadap anak Perempuan, dan kasusnya langsung dilaporkan ke kepolisian.”Ya, tadinya kita mau selesaikan di desa, tapi keluarga korban langsung lapor,”

Kasus yang diungkapkan dan lintasan-lintasan ingatan yang hadir, membuat saya berpikir tentang kemungkinan kesalahan yang terjadi. Situasi yang saya bayangkan banyak terjadi adalah karena orangtua telah mengetahui tentang hak anak, maka orangtua tidak berani melakukan tindakan apapun kepada anaknya karena khawatir akan dinilai melanggar hak-hak anak, dan anak sendiri merasa mendapatkan kebebasan yang barangkali tidak ada kontrol..

“Apakah seseorang yang melakukan kesalahan tidak boleh dihukum?” saya melontarkan pertanyaan kepada peserta.

“Ya, dihukum,” semua menjawab hampir serentak.

“Apa hukumannya,”

“Tergantung dari kesalahannya,”

“Bila yang melakukan anak-anak?”

Peserta terdiam lama.

”Ya, sama saja. Hanya persoalannya, bagaimana hukuman yang diberikan tidak berdampak buruk bagi anak. Seperti tidak menghukum dengan cara kekerasan, apalagi perlakuan yang tidak manusiawi. Jadi, anak juga harus belajar untuk bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan, bukan dibiarkan. Dengan membiarkan anak melakukan kesalahan demi kesalahan, maka sesungguhnya kita telah menjerumuskan anak-anak memasuki kehidupan yang bahkan bisa berdampak sangat buruk bagi mereka,”

”Tidak melanggar hak anak?” tanya seorang peserta.

”Ukurannya, bisa mengacu kepada prinsip hak anak. Masih ingat kan? Apakah tindakan tersebut hanya pilih-pilih ditentukan untuk anak tertentu saja? Apakah yang kita lakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak? Apakah tindakan itu mengancam hidup dan kelangsungan hidup anak? Apakah anak dimintai pandangannya? Bila jawabannya semua tidak, maka tindakan yang kita lakukan salah. Demikian sebaliknya.”

”Apakah hal itu tidak membatasi hak-hak anak?”

”Semua orang memiliki hak azasi termasuk anak-anak. Kebebasan seseorang akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. Bila saya suka musik, maka saya berhak mendengarkan musik. Tapi bila saya memutar musik dengan suara keras, maka orang lain yang memiliki hak untuk mendapatkan ketenangan, bisa terusik dan terganggu hak-nya, maka ia berhak untuk menegur kita,”.

”Jadi, anak-anak juga harus belajar tentang penghargaan terhadap orang lain,” celetuk seseorang.

”Itu harus! Nah, yang mungkin terlewatkan dalam pengalaman kita adalah tentang pendidikan anak. Pendidikan di sini bukan dalam artian formal sekolah, melainkan pendidikan dalam arti luas. Nah, kita bisa melihat tujuan pendidikan yang terkandung  dalam pasal 29 (1), yakni:

Negara-negara Pihak setuju bahwa pendidikan anak harus ditujukan kepada:

(a) Pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisik anak untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya;

(b) Pengembangan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

(c) Pengembangan penghargaan terhadap orangtua anak, identitas budayanya sendiri, juga bahasa dan nilai-nilai, terhadap nilai-nilai nasional dari negara dimana anak tinggal, negara dari mana ia mungkin berasal, dan terhadap peradaban yang berbeda daripada peradabannya sendiri;

(d) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas merdeka, dalam semangat pengertian, perdamaian, toleransi, kesetaraan jenis kelamin, dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok etnis, nasional dan agama dan orang-orang pribumi;

(e) Pengembangan penghargaan terhadap lingkungan alam.

”Jadi, kita tidak perlu khawatir bila anak-anak tahu tentang hak-haknya, sejauh kita mengembangkan pendidikan bagi anak?”

”Seharusnya begitu,”

Yogyakarta, 4 Mei 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun