Hari ini, di Kompasiana saya membaca setidaknya dua tulisan mengenai kekerasan dan penghukuman fisik di sekolah. Pertama dari postingan Pak Dosen kita, Muhammad Armand (di SINI), dan kedua dari Pratiwi Retnaningdyah (di SINI)
Kedua tulisan tersebut berpijak dari kasus dugaan penghukuman fisik yang dilakukan oleh seorang guru SD di kawasan Jakarta Utara. Hal yang menarik bagi saya, dari kedua tulisan tersebut, mengutip pula pernyataan Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa penghukuman fisik dari seorang guru sah-sah saja.
Bersumber dari pemberitaan Kompas.com (lihat di SINI), berikut pernyataan yang dikemukakan:
"Hukuman, misalnya fisik, itu kan pelajaran juga, selama tidak dalam bentuk berlebihan," ungkapnya di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Jumat (7/9/2012). Lebih lanjut dikatakan "bagaimanapun juga guru perlu dilindungi. Jangan sedikit-sedikit mengadu ke komnas, saya pikir itulost energy. Seharusnya kan bisabalance."
Ada tiga tawaran yang menarik dikemukakan oleh Bung Armand guna mengatasi tumbuhnya penghukuman fisik yang berlebihan. Sedangkan Pratiwi, juga tak kalah menarik dengan memberikan ilustrasi system pendidikan yang berlaku di Australia, yang telah mengembangkan code of conduct yang harus ditandatangani terlebih dahulu oleh para (calon) guru.
Mengenai persoalan kekerasan dan penghukuman fisik, saya sendiri, telah memposting empat tulisan berseri di Kompasiana ini (lihat misalnya di SINI). Secara prinsip, pada kasus semacam ini, saya sependapat dengan Pratiwi bahwa penghukuman fisik sama sekali tidak diperbolehkan di sekolah.
Nah, pada konteks ini, pernyataan dari Mendikbud yang notabene adalah orang nomor satu di wilayah pendidikan, bisa menjadi hal yang membahayakan lantaran diberikan ”toleransi”. Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan, penghukuman fisik semacam apakah yang tidak berlebihan?
Mengacu kepada Laporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak di Indonesia periode Juni 1993-2000, Komite Hak Anak PBB, telah menyatakan keprihatinannya terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap anak termasuk di sekolah (lihat paragraph 41 dari Concluding Observation Komite). Lebih lanjut pada paragrap 42 direkomendasikan, antara lain, memastikan bahwa semua pelaku kekerasan terhadap anak-anak harus diadili sebagaimana mestinya, dan rekomendasi yang terkandung pada paragraph 43, khusus mengenai penghukuman fisik di sekolah, diperlukan; amandamen legislasi, pendidikan publik tentang dampak buruk kekerasan, dan promosi bentuk-bentuk disiplin yang positif, tanpa kekerasan, sebagai alternative dari penghukuman fisik.
Pada masa lalu, hal ini bisa dianggap sebagai hal yang wajar, dan orangtua bahkan bisa memberikan dukungan kepada tindakan para guru terhadap anak-anak mereka. Namun seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi, telah menyebabkan kasus penghukuman fisik menjadi salah satu tindakan pidana. Hal inilah yang menyebabkan bermunculan laporan jika terjadi kasus di sekolah, karena telah memasuki ranah publik. Kita bisa membandingkan dengan, misalnya persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perlindungan anak dari kekerasan sudah diatur di dalam peraturan perundangan, sebagaimana terkandung pada pasal 80 Undang-undang Perlindungan Anak. Pada pasal tersebut, bila pelaku kekerasan adalah orangtuanya sendiri, justru ancaman hukumannya lebih berat karena akan ditambah sepertiga. Kasus orangtua diproses secara hukum lantaran melakukan kekerasan terhadap anak(nya sendiri), juga sudah banyak terjadi. Demikian pula bila pelakunya adalah, para guru.
Dunia memang sudah berubah. Hal yang dianggap biasa menjadi tidak biasa, demikian pula sebaliknya. Kekerasan terhadap anak oleh orangtua dan guru atau siapapun, saat ini sudah ditempatkan bukan sebagai hal yang biasa yang harus terjadi lagi.
Memang, peranan guru sangat penting. Ia adalah pahlawan tanpa jasa yang telah menghasilkan anak-anak didik yang terus tumbuh menjadi generasi penerus yang matang. Maka, tantangan sekarang untuk mengatasi hal ini adalah mengembangkan kreativitas para guru untuk mencari bentuk-bentuk penghukuman yang lebih positif, tanpa menggunakan kekerasan.
Langkah-langkah itu perlu didukung oleh sekolah dan institusi yang mengayomi dan berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas SDM para guru, dan menentukan arah pendidikan, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karenanya, sekali lagi, bila sang Menteri menyatakan penghukuman fisik bisa dilakukan selama tidak dalam bentuk berlebihan, bukankah pernyataan itu menjadi bahaya yang mengancam anak-anak didik di Indonesia?
Yogyakarta, 9 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H