A TRIBUTE TO WIDJAJA, DALAM MALAM SASTRA MALIOBORO Odi Shalahuddin
Widjaja, dalam profil ringkas yang disusun oleh Latief Noor Rochman, untuk kepentingan acara Malam Sastra Malioboro edisi ke XIV, dikenal sebagai seniman multi bidang (ketoprak, wayang orang, lukis, teater, film, lawak, ludruk, tari, dll). Ia yang dilahirkan pada tanggal 28 Pebruari 1927, dari pasangan Raden Wedono Guno Pradonggo dengan Rr Sutinah, menjadi salah satu anak yang mewarisi darah seni ayahnya. Dua saudaranya yang lain, juga dikenal dalam jagad kesenian di Indonesia. Kakaknya, Hardjomuljo, dikenal sebagai pelawak terkenal dengan nama Atmonadi, dan adiknya Kirdjomuljo dikenal sebagia penyair, pelukis, sekaligus penulis naskah drama.
Widjaya sudah bergabung dengan Sandiwara Rakyat Indonesia (SRI) pimpinan Usmar Ismail pada tahun 1947 saat usianya 20 tahun, dan semakin mematangkan bakatnya yang telah berteater ketika berumur 15 tahun.
Bapak dari sembilan anak dari perkawinannya dengan Siti Zaenah yang pada masa hidupnya bekerja di Bidang Kesenian Kanwil P & K DIY, membina banyak kelompok kesenian, seperti kelompok Ketoprak, Wayang Orang, keroncong, tari, ludruk, teater dan film. Ia juga pernah menjadi Ketua Persatuan Artis Humor (Pamor) Yogya, Pimpinan Lawak “Kawan Rakyat”, Pimpinan Komedi “Kalang Kabut” dan pimpinan Sanggar Lawak Yogyakarta. Ia juga menjadi Ketua Persatuan Artis Film (Parfi) Yogya selama 31 tahun (1956-1987), dan sempat bermain dalam sekitar 80-an film.
Widjaja yang meninggal pada tanggal 8 Desember 2000, memiliki kredo yang menginspirasi para sahabat dan murid-muridnya: Hidup adalah perjuangan. Tak Mau berjuang adalah kematian.
Kiprahnya dalam berbagai jenis kesenian, mendorong Paguyuban Sastrawan Mataram (PSM) mengangkat tema “A Tribute to Widjaja” dalam acara rutin yang mereka selenggarakan sebulan sekali, yaitu Malam Sastra Malioboro edisi ke XIV.
Lik Suyanto, seorang seniman tradisional yang kini sering terlibat dalam produksi film dan mengaku belajar kesenian dari Azwar AN dan WS Rendra, mengungkapkan pengalamannya ketika Malioboro masih sering menjadi ruang pertemuan bagi para seniman. “Banyak seniman yang muncul. Tapi saya, ya, Cuma tukang jual rokok,” katanya yang dilanjutkan dengan membacakan puisi Iman Budhi Santosa yakni Orang-orang Malioboro 1969. Mengenai Widjaja, ia menyatakan sosok itulah yang pertama kali mengajaknya main film. “Saya diajak main, waktu itu di Sasana Hinggil tempatnya (shooting),”
[caption id="attachment_162197" align="alignright" width="300" caption="Dewo PLO"]
Berikutnya, Dewo PLO memanggil rekan-rekannya yang dikenal sebagai pelawak, dan tawa-pun sering bergema di antara para hadirin mendengarkan lawakan-lawakan mereka.
Kemeriahan terasa menjadi dengan hadirnya Jupe di tengah acara ini. Ia-pun didaulat untuk naik ke panggung dan diminta membaca puisi. Dari buku yang diserahkan salah seorang anggota panitia, ia memilih puisi “Sajak Pembuat Topeng” karya Krishna Miharja. Selanjutnya didaulat pula untuk memberikan doorprize kepada penonton.
Penampilan menarik lainnya adalah pembacaan puisi Anisa Afsal dari Sukabumi, Arieoyoko dari Bojonegoro , dan Isti anggota DPRD DIY, serta beberapa penyair lainnya.
Yogyakarta, 12 Pebruari 2012
Tentang Malam Sastra Malioboro dapat dilihat di : Menikmati Malam Sastra Malioboro
_________________________________
[caption id="attachment_162198" align="aligncenter" width="300" caption="Lik Suyanto"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H