Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

(Sekadar Catatan II) Dinamika Teater di Bogor Tahun 1950-1980-an

25 Januari 2019   07:50 Diperbarui: 25 Januari 2019   07:59 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara keseluruhan grup yang ada, PPSI atau Teater Bogor-lah yang paling aktif melakukan pementasan pada periode 1950-an. Setidaknya lebih dari 30 produksi pementasan yang mereka lakukan. Pada jumlah produksi, Teater Bogor ini dinilai paling produktif untuk ukuran grup teater di Indonesia pada masa itu.

Wirawan Respati (Aneka,edisi 36 Tahun ke VII, 20 Pebruari 1958) menyoroti dinamika teater di daerah yang pernah dikunjungi dan menyaksikan pementasan-pementasan di kota tersebut. Daerah tersebut adalah Singaradja, Solo, Yogya, Surabaya, Bogor dan Jakarta sendiri. 

Ia menyampaikan kegiatan di luar kota Jakarta, dengan catatan yang dikemukakan bahwa tanpa pengertian Jakarta sudah serba sempurna, pusat serba baik. Bahkan hendak dirupakan sebagai penyingkapan, bahwa di daerah-daerah banyak dilancarkan kegiatan-kegiatan yang lebih menggembirakan, lepas dari beberapa kegiatan-kegiatan yang masih dilancarkan secara kurang bersungguhan di sana-sini.

Tentang teater di kota  Bogor, ia menuliskan pandangannya: "Sudah sejak 1952 Bogor mempunyai sebuah himpunan amatir yang diberi nama Teater Penggemar Bogor. Kata orang nama itu ditasbihkan oleh Drs. Asrul Sani, penyair/pengarang dan dramawan Indonesia dan serentak juga seorang dokter hewan itu. Himpunan amatir ini -- disamping himpunan-himpunan lainnya -- banyak memanggungkan sandiwara daerah, Indonesia dan saduran. 

Sejak Oktober 1957 yang kebetulan saya saksikan adalah "Maghrib" karangan Hasan Basri, "Keluarga Raden Sastro" karangan Achdiat, dan "Hantu Sang Tumenggung" yang kebetulan saya sutradarai sendiri dan yang ke atas panggung ditemani dengan "Sebuah Dunia" sebuah komedi karangan Endang Achmadi seorang dramawan kota Bogor."

"Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa seperti di kota-kota lain, Bogor telah terbiasa dengan pemanggungan-pemanggungan tanpa persiapan yang longgar. Ini biasa pula disandarkan atas sifat amatir mereka. 

Saya kira -- tanpa dikhususkan pada Bogor -- kebiasaan terlalu "yakin" bahwa pemanggungan-pemanggungan dareah itu hanya amatir-amatiran sekedar bisa diikuti jalan ceritanya dengan banyak kekurangan di dalam pengisian interpretasi, perawatan dalam latihan-latihan dan penempatan teknisnya, maka kegiatan-kegiatan drama panggung kita akan tetap tidak pernah menjadi baik. Kalau ada diambil ukuran di sini, maka saya cenderung pada Jogja dan Solo, karena Jakarta dengan Akademi Teaternya memang terlalu akademis. 

Coba saja hal ini saudara cocokkan dengan eksperimen-eksperimen arena-teater, Akademi Teater itu. Saya tidak menolak eksperimen-eksperimen macam itu, bahkan saya kira itu baik sekali. Tetapi drama panggung-ordiner itu saja belum berkembang dengan baik, di daerah-daerah. Hingga timbul kekhawatiran saya, kalau-kalau akan ada dicoba menyelenggarakan suatu pemanggungan arena di Pontianak misalnya, di mana pemanggungan biasa masih agak sulit dan terlalu dirasa banyak komplikasiitu."

Tulisan Wirawan Respati itu mendapatkan tanggapan dari pegiat teater di Bogor, yakni Semiadji  (Aneka Nomor 2 Tahun IX, 10 Maret 1958). Dikatakannya: Kawan, pembicaraan kita yang menyentuh soal sandiwara ini, ada yang hendak aku catat, yaitu mengenai: "Kegiatan drama panggung di daerah". Tentu saudara masih ingat tulisan saudara yang mengenai usaha untuk mencari mana yang patut dijadikan ukuran dalam kegiatan drama panggung di daerah-daerah. 

Diantara daerah yang menjadi basis untuk dijadikan ukuran dari kegiatan seni dramanya -- yang sebenarnya kesimpulan dan jawabannya saudara kemukakan sendiri -- tampil enam daerah. Satu diantaranya saudara sisihkan sendiri, yaitu Jakarta, dengan alasan-alasan yang kabur dan kemudian saudara tempatkan pada kesimpulan saudara -- sebagai hasil analisa yang terlalu dangkal -- dua daerah mana saudara cenderung untuk dijadikan ukuran dari kegiatan seni panggung di daerah. Mungkin kesimpulan saudara ini benar, tapi masih sangat diragukan kebenarannya. Hal ini akan jelas bagi orang-orang yang tidak atau kurang begitu mengetahui tentang kegiatan seni drama di daerah yang dijadikan basis dalam mencari ukuran tersebut. Kesemuanya ini disebabkan oleh penjelasan-penjelasan saudara yang terlalu berat sebelah. Timbullah ketidakseimbangan ini adalah akibat langsung dari kekurangsempurnaan penyelidikan saudara sendiri dari daerah-daerah yang dijadikan kandidat dalam usaha mencari ukuran itu..

Lebih lanjut dikatakannya tentang pandangan terhadap kota Bogor: "Apa yang dapat ditarik kesimpulan dari keadaan ini -- yang lahirnya dari keadaan yang sifatnya kebetulan -- ialah saudara sebagai orang Solo dan yang pernah tinggal lama di Jogja jadi lebih banyak mengetahui tentang pertumbuhan seni drama di sana. Sebaliknya aku juga sekurang-kurangnya mengetahui perkembangan seni drama di Bogor lebih dari apa yang pernah saudara tulis sebagai bahan dalam mencari ukuran kegiatan drama panggung daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun