Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kelahiran Teater Alam Yogyakarta yang Menantang

3 Januari 2019   15:42 Diperbarui: 3 Januari 2019   16:09 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan 47 Tahun Teater Alam Yogyakarta (1): Kelahiran Teater Alam Yang Menantang  

Tanggal 4 Januari 1972 dinyatakan sebagai hari kelahiran Teater Alam.  Kini usianya telah memasuki angka 47 tahun. Sebagai sebuah kelompok kesenian, apalagi teater, ini merupakan prestasi tersendiri. Tidak banyak kelompok kesenian yang mampu bertahan lama. Sebut saja di antaranya, Sandiwara Miss Tjitjih (1926) Studiklub Teater Bandung (1959), Sanggarbambu (1959), dan Teater Koma (1978), yang hingga saat ini masih terdengar geliat aktivitasnya.

Memang, dalam tiga dekade terakhir, Teater Alam tidaklah seproduktif pada dua dekade awal (1970-1980-an), namun pada setiap dekade mereka tetap hadir menyuguhkan repertoire yang menarik perhatian publik dan dinilai sebagai pertunjukan bermutu.  

Di tahun 1990-an setelah tertidur lama selama delapan tahun, Teater Alam membuat pentas pemanasan "Bip Bop", pada 13 September 1998 dan tahun berikutnya mementaskan sekaligus Trilogi Oedipus Complex selama 9,5 jam dan dapat dinilai sebagai rekor pertunjukan terpanjang pada masa itu, yakni: "Oedipus Sang Raja", "Oidipus di Kolonus" dan "Antigone" karya Sophocles, yang disutradarai langsung oleh Azwar AN, 15 & 17 Juli 1999 di Gedung Purna Budaya Yogyakarta. 

Di tahun 2010, setelah lama tertidur lagi, hadir dengan "Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek" karya Danarto (11/6) dan "Petang di Taman" (12/6) karya Iwan Simatupang dengan sutradara Puntung CM Pudjadi dan Tertib Suratmo. Pementasan yang dilangsungkan di Concert Hall Kridosono ini sebagai peringatan Ulang Tahun Teater Alam yang ke-38.  

Selanjutnya di tahun 2017, "Perkawinan"-nya Nicolai Gogol dimainkan di Gedung Societet Yogyakarta dengan sutradara Meritz Hindra, guna memperingati 45 tahun Tater Alam. Pementasan yang paling akhir, 8 November 2018, tampil dalam "Montserrat" karya Emmanuel Robles dengan para pemain lintas generasi yang disutradarai oleh Puntung CM Pudjadi, bertempat di Concert Hall Kridosono. Pementasan ini merupakan produksi ke 57.

Kelahiran Teater Alam di awal tahun 1972, barangkali menjadi momentum yang tepat sekaligus sangat menantang. Hal ini sangat disadari oleh para pendirinya. 

Pada masa itu disebut-sebut tengah terjadi kemunduran Teater Modern. Geliat teater mulai tumbuh dengan kehadiran Taman Ismail Marzuki yang diresmikan pada tanggal 10 November 1968, dan dalam rangkaian acara pembukaannya menghadirkan pementasan dari Teater Populer Hotel Indonesia, Teater Kecil dan Badan Pembina Teater Nasional indonesia (BPTNI), selanjutnya menjadi wilayah yang prestisius dengan penguasa-penguasa baru yang memiliki kekuasan besar untuk menentukan kelompok siapa yang dapat tampil. 

Konon kriteria yang diterafkan sangat ketat, dan hanya tiga kelompok yang dapat menikmati fasilitas pementasan rutin setiap tiga bulan sekali, yaitu: Teater Populer, Teater Kecil dan Bengkel Teater Yogyakarta, sehingga setidaknya dalam satu bulan ada satu pementasan teater. Ketiga pimpinan kelompok tersebut juga yang kemudian dikenal sebagai (dijuluki oleh Majalah Tempo) "Tiga Pendekar" atau tiga pahlawan Teater Modern. 

Pada Pekan Seni Kontemporer 1971, pementasan sandiwara kosong, dan pertunjukan di TIM juga tersendat-sendat. Ini dikarenakan para dedengkot teater tengah bersibuk ria dalam dunia per-film-an untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup kelompok teaternya. Kecenderungan ini yang mendorong Majalah Tempo, edisi 12 Agustus 1972 membuat Liputan Utama tentang Teater! Sedangkan di Yogyakarta, pada masa itu, Bengkel Teater merupakan raja, yang membuat kelompok-kelompok teater lainnya surut atau mengambil wilayah lain untuk menunjukkan kreativitasnya. Seperti Teater Muslim, satu kelompok yang berjaya di tahun 1960-an, yang kemudian lebih cenderung berekspresi melalui media TVRI dibandingkan panggung.

"Sekedar turut berusaha untuk membantu meletakkan dunia teater Indonesia pada tempatnya yang layak. Saya sangat prihatin melihat perkembangan dunia teater kita yang baru saja mulai tumbuh ini, karena telah terancam oleh kepindahan orang-orang teater kita ke dunia perfilman. Kalau keadaan ini berlarut-larut, maka pasti dunia teater kita akan kembali gelap," demikian dijelaskan oleh Azwar AN tentang kehadiran Teater Alam saat diwawancarai Mimbar Umum (30/1 72).  

Azwar AN sesungguhnya adalah salah satu pemain andalan dari Bengkel Teater. Ia pula yang tak jemu setiap hari menteror Rendra setelah kepulangannya dari Amerika untuk segera membentuk kelompok teater. Upaya yang tidak sia-sia, hasilnya adalah terbentuknya Bengkel Teater. Ia pula yang kerap disebut sebagai "tangan kanan" WS Rendra. Lantas mengapa ia mengundurkan diri dan membentuk Teater Alam? Ada banyak versi yang berkembang seperti ketidaksetujuannya Rendra menikah lagi, soal keuangan, soal kelakuan WS Rendra yang tidak bisa ditolerir olehnya (dan kawan-kawannya).

Gege Hang Andhika sebagai Oedipus dalam fragmen yang dimainkan dalam acara
Gege Hang Andhika sebagai Oedipus dalam fragmen yang dimainkan dalam acara
Saat ditanya tentang hal ini, Azwar AN memilih untuk menghindar. Rencana mundurnya dari Bengkel Teater, sebagaimana pernah diungkap media, pernah disampaikan langsung olehnya kepada WS Rendra. "Ia memang guru saya. Kalau orang pada kagum dan memuja-muja, saya malahan sebaliknya. Saya membenci dia bukan main. Entah apa sebabnya, mungkin tentang kelakuan-kelakuannya yang aneh. Rencana memang ada (mundur?-osh), tunggu saja mainnya," Konon rencananya itu telah disampaikan ke WS Rendra yang merespon dengan tertawa terkekeh-kekeh. (Kompas, 12/10 1971).

Azwar tidak menolak anggapan bahwa pertentangannya dengan WS Rendra disebabkan hal-hal yang prinsip. "Asal jangan dihubungkan dengan penguasa atau ABRI," kata Azwar. (Kompas, 1 Mei 1972)

"Kami mau berkumpul lagi kalau Rendra mau mengembalikan uang...." Azwar sambil menyebut nama enam orang eks Bengkel Teater  yang sependapat dengannya; Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baldjun, Moortri Poernomo, dan Etty Asa. "Asal namanya bukan Bengkel lagi," tambah Azwar. (Gelora Mahasiswa, Desember 1975).  

Keputusan telah dijatuhkan. Azwar AN, Meritz Hindra, Yoyok Aryo, Moortri Poernomo yang merupakan pendiri dari Teater Alam, mulai merekrut dan melakukan latihan rutin setiap hari di markas mereka yang fenomenal, Sawojajar 25.

Penampilan pertama dari Teater Alam adalah berpartisipasi dalam acara pembacaan puisi-puisi protes yang diselenggarakan oleh Fakultas Sosial Politik Universitas Gadjah Mada yang masih bertempat di Pagelaran Kraton Yogyakarta.  9 Pebruari 1972. Selain mereka, berpartisipasi pula Persada Studi Klub Pimpinan Umbu Landu Paranggi, Bengkel Teater pimpinan WS Rendra, para seniman dan aktivis mahasiswa Yogyakarta seperti Sapardi Djoko Damono, Anhar Gonggong, dan Sutradara Ginting. Acara yang dihadiri sekitar 600 orang ini, merupakan reaksi atas ditahannya Arief Budiman, HJC Princen, (lihat, Kami, 14/2 1972). 

Penahanan pada 17 Januari 1972, oleh Wakil Pangkopkamtib, Letjend TNI Soemitro merupakan puncak penanganan atas aksi-aksi menentang pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII) yang tersebar di berbagai kota seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang.  Pembacaan puisi protes juga dilangsungkan di berbagai kampus. "Dari sawojajar ke pagelaran, kami menggunakan pakaian putih-putih seperti pendeta. Di pinggiran jalan banyak orang menonton kami," kisah salah seorang anggota Teater Alam mengenang masa lalu.

Kegiatan pertama yang diselenggarakan oleh Teater Alam, justru adalah pertunjukan "Underground music" di Kridosono pada awal mei 1972 yang menampilkan enam (6) grup band dan mendapat sponsor dari suatu penerbitan. Pada acara tersebut diproklamasikan tentang "Gelanggang Terbuka untuk Remaja". Kegiatan ini sempat mendapat sorotan dari masyarakat Yogya yang mengganggap ada yang menyalahgunakan untuk hal-hal yang tidak senonoh.

"Di Atas Langit Ada Langit" merupakan kegiatan selanjutnya dan dapat dikatakan sebagai repertoire pertama dari Teater Alam. Naskah ini merupakan naskah pertama dan terakhir yang dibuat oleh Azwar AN. "Ternyata tidak gampang membuat naskah," demikian dikatakan Azwar AN pada satu kesempatan. Pementasan yang disutradarai oleh Azwar AN dan melibatkan 14 pemain ini berkisah tentang protes mayat-mayat dari liang kubur.   

B. Sularto, yang mencermati perkembangan teater di Yogya selama akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an , menyatakan kendati tersendat tapi ada kecenderungan frekuensinya menanjak. Ia mengakui bahwa Rendra dengan Bengkel Teater sangat berperan merangsang pertumbuhan teater Yogyakarta dengan pementasan-pementasannya yang kontroversial.  

Tentang kehadiran Teater Alam, ia mencatat: "Kini, muncul pula Kelompok Azwar (Ex-Siswa Rendra yang telah memutuskan berdirinya dengan mendirikan Teater Alam) yang meski masih sangat muda dalam umur telah beberapa kali tampil dengan pementasan-pementasan fragmentaris. Dan dari pementasannya "Di atas langit ada langit" Pada tanggal 4 Juni yang lalu, kita melihat, meski mereka belum menemukan identitas dan gayanya yang khas, namun terasa, mereka mengarah pada pola-pola modern yang kontroversial. Mengingat kemudaannya dalam umur tentu saja adalah prematur apabila dibuat evaluasi dalam kualitasnya dan kurang proporsional bila kita lalu membuat komparasi dengan kemampuan Bengkel Teater yang sudah matang. (Berita Yudha, 17/6 1972)

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun