”Gambar Sebagai Senjata Rakyat Berjiwa Merdeka” sebuah tajuk pameran, workshop dan diskusi bersama Yayak Kencrit Yatmaka dkk, telah dan tengah berlangsung pada tanggal 18-29 Mei 2013 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.
Yayak Iskra, Yayak Kencrit, Yayak Yatmaka, Ismaya, demikian panggilan akrab yang dikenal dari sosok yang sama bernama Bambang Adyatmaka. Pria kelahiran Yogyakarta tahun 1956, alumni Fakultas Senirupa dan Disain Institut Teknologi Bandung, telah dikenal sebagai aktivis gerakan sosial sejak tahun 1978.
”Gambar sebagai senjata: selama ini rakyat merdeka lupa bahwa di sekitarnya banyak gambar yang menguasai mereka setiap saat. Sekarang saatnya, dengan gambar kita balik, saat tutup gambar. Propaganda kontra propaganda. Kalau yang lain menyihir untuk menguasai, kami menyadarkan,” demikian pernyataan tegas Yayak dalam video yang diunggah di Youtube terkait dengan pamerannya kali ini (lihat di SINI).
Tidak sekedar pernyataan, Yayak telah menunjukkan konsistensinya melalui gambar-gambar yang berbicara secara lugas terhadap situasi sosial dan politik di Indonesia. Gambar yang sangat tajam dan menusuk para penguasa. Lantara itulah Prof. DR. Benedict Anderson menyebut Yayak sebagai penerus Sibarani, kartunis terkemuka dekade 1960-an. Hal ini disebabkan keberanian Yayak menuding langsung kepada para pejabat publik yang dianggap bersalah, tanpa khawatir resikonya.
”Orang boleh takut melihat gambar, tapi semuanya kita tahu adalah kepura-puraan. Bisa warna merah seperti darah. Tapi aku tidak bisa menipu atau mengabaikan bahwa yang sakit dan disakiti betul-betul sakit, yang mati dibunuh benar-benar mati, dan itu harus diwartakan ke semua orang, bahwa realitasnya adalah timpang,” jelas Yayak.
[caption id="attachment_254783" align="alignleft" width="300" caption="gambar Yayak Kencrit/yayak Iskra"]
Lantaran gambar yang dibuatnya dan dicetak sebagai kalender dengan tema ”Tanah untuk Rakyat”, kalau tidak salah pada tahun 1989, Yayak dikejar-kejar oleh penguasa Orde Baru yang marah. Gambar dalam poster tersebut berisi tentang berbagai kasus tanah yang terjadi disertai dengan salah satu puisi Wiji Thukul. Yayak berhasil melarikan diri dan tinggal di Jerman selama 12 tahun. Ia baru bisa kembali saat kekuasaan Orde Baru tumbang berganti era Reformasi.
”Yayak ini pada masa Orde Baru, seorang seniman yang betul-betul berpihak pada demokrasi, berpihak pada Indonesia yang jauh lebih adil. Karya-karyanya barangkali buat sebagian orang terutama penguasa, sangat kritis, sehingga pada masa Orde Baru, Soeharto memerintahkan kepada aparat keamanan dan intelejen untuk mencari dan menangkap Yayak,” komentar Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan saat pembukaan pameran Yayak di tahun 2004 di TIM.
Ribuan gambar telah terlahir dari tangannya. Pada masa Orde Baru, karya-karyanya tersebar di berbagai media alternatif dan kumpulan gambar-gambarnya disebar secara tersembunyi. Banyak gambarnya yang dijadikan sebagai gambar kaos perlawanan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil pro demokrasi.
Pada era reformasi, gambar-gambarnya masih tetap tajam menusuk penguasa. Peranan sosial media semakin memudahkan penyebaran karya-karyanya. Yayak tak ragu menyebar karyanya melalui akun FB-nya.
Selain gambar, Yayak juga menggubah ratusan lagu yang disebutnya sebagai lagu rakyat merdeka. Lagu ini disebarkan melalui pendidikan para aktivis dan ruang-ruang pertemuan rakyat. Beberapa lagunya, menjadi lagu wajib para aktivis parlemen jalanan.
Jiwa merdeka, adalah kata kunci yang senantiasa ditebarkan oleh Yayak di manapun dan kepada siapapun. Pendidikan adalah jalan utama untuk mencapainya. Pengaruh latar belakang pendidikan di Taman Siswa, benar-benar melekat dan menjadi bagian dari hidupnya.
”Semua orang itu guru. Semua tempat adalah sekolah,” ajaran Ki Hajar Dewantara yang selalu dikampanyekan dan dimaknai secara mendalam.
Salah satu lagu yang diciptakannya, merasuk dan menjadi semacam lagu wajib bagi para aktivis gerakan sosial dan aktivis gerakan anak, menjadi pelontar gagasan diskusi dalam pelatihan ataupun diskusi bersama masyarakat, digemakan dalam ruang-ruang publik:
Sama-sama
Belajar sama-sama Bertanya sama-sama Kerja sama-sama
Semua orang itu guru Alam raya sekolahku Sejahteralah bangsaku
Tentang semangat dan perjuangan Yayak melalui pendidikan disinggung pula oleh Gus Dur saat membuka pameran Yayak di tahun 2004. Dikatakan; ”Salah satunya bentuknya adalah Pendidikan Moril Yayak, pendidikan tanpa terikat dengan ijazah, tanpa terikat dengan konvensi-konvensi yang sudah mapan, tetapi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran kita, pendidikan untuk mengingatkan kita pada nasib orang-orang banyak yang kurang beruntung dan terutama pendidikan untuk maju ke depan. Walaupun saya tidak melihat, tapi saya bisa merasakan apa yang dilakukan Yayak ini,”
[caption id="attachment_254789" align="aligncenter" width="300" caption="Saat berkunjung ke padepokannya bersama para aktivis anak"]
Yayak, kini tinggal di sebuah desa di daerah Sayegan, Sleman, DIY. Ia mendirikan padepokan yang diberi nama Padepokan Ning Neng Nong Nang. Nama tersebut diambil dari ajaran Ki Hajar Dewantara. Menurut Yayak, setelah kita wening, kita akan mendapatkan kemenangan dan kewenangan, dan seterusnya. Bangunan padepokan berhasil terwujud berkat saweran atau tepatnya iuran dari sekitar 160 orang dari berbagai kalangan seperti para Doktor, dokter, profesor, seniman, dan aktivis.
Padepokan ini diharapkan bisa menjadi ruang bagi pendidikan yang berekonomi dan pendidikan bersosial yang benar. Hal yang diperjuangkan adalah mencapai kedaulatan rakyat. ”jiwa merdeka, itu yang harus dipertahankan di setiap saat kita tidak tergantung dan selalu siap berlawan,” katanya.
Nah, bila dirimu berada di Jakarta dan sekitarnya, tentulah tak merugi untuk hadir dan menyaksikan gambar-gambar Yayak di Taman Ismail Marzuki itu.
Yogyakarta, 19 Mei 2013
Catatan: saya juga sering menggunakan gambar-gambar Yayak sebagai ilustrasi tulisan. Tentang Sosok Yayak saya pernah memposting tiga tulisan bersambung di Kompasiana ini, tapi sekarang sudah saya pindah ke blog (lihat di SINI). Gambar-gambar Yayak bisa dilihat di akun FB-nya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H