Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret Sosial Kaum Pinggiran di Mata RDJ

26 Oktober 2012   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_213273" align="aligncenter" width="560" caption="Maria, Yu Jum dan Tumini dalam "][/caption]

Merah-putih yang terlihat lusuh, sudah terikat di tali tiang bendera. Tidak berkibar di atas, pun bukan setengah tiang. Masih di bawah. Ah, siapa mengikat tanpa mengereknya? Atau itu sebagai pertanda?

Terlihat anak-anak berlarian, berputar, lalu mendekat dan mengelilingi tiang bendera. Ekspresi wajah mereka terlihat berubah. Menjadi lebih serius. Dua orang anak memegang tali, satu anak membentangkan bendera. Perlahan mereka menaikkan bendera hingga ke puncak. Memberi penghormatan. Setelahnya mereka berlarian kembali, lalu menghilang ke wing panggung.

1351259851673018769
1351259851673018769
Itulah adegan pembuka dari lakon ”???” yang merupakan produksi ke 11 dari Teater Ra Dhe Jeneng (RDJ), yang dipentaskan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjosumantri (PKKH) UGM yang dulu bernama Purnabudaya, Yogyakarta, pada tanggal 25 Oktober 2012. Pementasan ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Dies Natalis UGM ke 63, Pekan Seni Budaya bertajuk ”UGM untuk Jogja”

Berikutnya, seorang berpakaian batik bermonolog tentang situasi dan bendera merah-putih yang lusuh. Tampak seperti pengantar kepada para penonton tentang keberadaan kaum marginal, yang sebenarnya juga tidak terlalu diperlukan, mengingat adegan-adegan selanjutnya sangat gamblang menggambarkan kehidupan kaum marginal.

Tidak ada tokoh sentral dalam kisah ini. Pun tiada kisah utama di dalamnya. Nama-nama tokoh seperti Pak Yanto, Lastri, Yu Jum, Tumini, Marni, Bambang, Inem, Jilah, Maria, dan sebagainya, hadir dalam persoalan masing-masing, yang terangkai antara satu dengan lainnya dengan ruang pertemuan antar tokoh, bukan pada persoalan utama. Oleh karenanya, kita seakan menyaksikan potret-potret kaum yang terpinggirkan.

Di warung angkringan Yu Jum, kita menyaksikan ia menyewakan anak perempuan kepada rekannya untuk mencari uang di jalanan, ada seorang ibu (Tumini) dengan bayinya yang tengah mencari suami yang tidak pulang-pulang ”terjerumus” ke prostitusi, ada pula Maria, seorang anak jalanan sekaligus sebagai PSK. Yu Jum seakan menjadi penyaksi dari nasib buruk kehidupan orang-orang yang hadir di warungnya, sekaligus juga sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

[caption id="attachment_213275" align="alignright" width="300" caption="Sosok Satpol PP"]

13512599671861880343
13512599671861880343
[/caption] Tidak lupa, kehidupan di jalanan yang sering berhadapan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), turut mewarnai potret yang ditampilkan.

Ancaman terhadap HIV/AIDS, dimunculkan melalui pembacaan pemberitaan di media massa, yang membuat para perempuan was-was dan akhirnya melahirkan dugaan-dugaan tentang kemungkinan ada salah seorang warga yang bisa beresiko menularkan penyakit tersebut ke masyarakat mereka. Sasaran ditujukan kepada seorang waria, yang pada salah satu dialognya menyatakan: ”Aku ini laki-laki, cuma penampilan seperti ini untuk mencari uang. Tapi aku, tetap laki-laki,”. Sosok inilah yang kemudian didatangi dan hampir menjadi korban amuk massa.

Hal menarik adanya dialog-dialog spontan yang bisa membuat kita terhenyak atau bahkan bisa tertawa, merupakan dialog-dialog yang umum berlaku sehari-hari di kalangan anak jalanan dan orang-orang kampung miskin kota.

Sebagai penonton, saya menyimak dan sangat menikmati pementasan ini. Di Kepala seringkali berkelebatan berbagai kenangan terhadap kehidupan yang pernah cukup lama saya berada di dalamnya.

[caption id="attachment_213277" align="aligncenter" width="300" caption="Aksi massa terhadap sosok yang diduga terkena HIV/AIDS"]

1351260169703174666
1351260169703174666
[/caption]

Dunia jalanan dan dunia kaum pinggiran kota, bukan hal yang asing bagi para pemainnya. Mereka pernah atau bahkan sebagian diantaranya masih menjalani kehidupan itu hingga saat ini.

Teater RDJ sendiri memang lahir dan diinisiasi oleh sekelompok anak jalanan perempuan Yogyakarta sejak bulan Mei 2005. Sang Sutradara, Munawaroh ”Dhenok” yang juga turut bermain sebagai Tumini, adalah mantan anak jalanan perempuan yang sekarang menjadi aktivis pekerja sosial di LSM yang bekerja untuk anak jalanan perempuan dan kaum pinggiran. ”Capek dan lelah tak terasa, bersama menciptakan karya. Semoga karya kami bisa menghibur, menambah semarak dunia seni peran dan tak dipandang sebelah mata, meski kami berasal dari Komunitas Marjinal” katanya.

[caption id="attachment_213278" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian wajah para pemain usai pementasan"]

13512602761402438170
13512602761402438170
[/caption]

Lakon yang dimainkan, adalah naskah yang dibuat bersama. Tema-tema yang diangkat, berangkat dari realitas nyata keseharian hidup mereka. Hal ini membuat para pemain tidak memiliki beban untuk ”menjadi seseorang” karena mereka bisa hadir ”menjadi diri sendiri”. Ada kebebasan para pemainnya untuk berekspresi dan mengembangkan dialog-dialognya.

Tentang hal ini, saya teringat tentang ”Teater Pembebasan” yang menjadi media pendidikan bagi masyarakat marginal untuk mengenali dan membangun kesadaran kritis tentang realitas diri dan lingkungannya, serta mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang disuarakan dan didesakkan kepada para pengambil kebijakan bagi perubahan yang lebih baik.

Teater yang menjadi media pendidikan rakyat, yang banyak dikembangkan oleh para aktivis di tahun 1980-an, diantaranya oleh Fred Wibowo di Puskat; Warsito dkk di Yayasan Pengembangan Budaya; Simon Hate, Joko Kamto, Agus Istianto dkk di Kelompok Teater Rakyat Indonesia; dan Wiji Thukul dengan Sanggar Suka Banjir dan Jaker-nya.

Selamat kepada para sahabat di Teater Ra Dhe Jeneng, semoga tak pernah lelah berproses untuk terus belajar dan menyuarakan kepentingan kaum marginal. Pementasan ”???” yang juga didedikasikan kepada Aniecs-Yu Ginah (Almarhumah), bukanlah akhir, namun tetap menjadi proses penting di dalam membangun semangat kolektif.

Yogyakarta, 26 Oktober 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun