[caption id="attachment_198052" align="aligncenter" width="516" caption="Sastra Bulan Purnama ke 11"] [/caption] [caption id="attachment_198055" align="alignleft" width="240" caption="Meritz Hindra"]
”Teater dan puisi dua hal yang berbeda. Teaterawan dan penyair dua hal yang tak sama. Tidak semua teaterawan adalah penyair, demikian pula sebaliknya. Tetapi kita bisa menemukan seorang penyair sekaligus aktor dan sutradara teater, misalnya Rendra, atau yang lebih muda Landung Simatupang,” demikian dinyatakan oleh Ons Untoro pada pengantar buku kumpulan puisi: Sastra Bulan Purnama edisi ke 11: Orang-orang Teater Membaca Puisi.
Lebih lanjut dikatakan oleh Ons Untoro, yang selama ini mengkoordinir dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan SBP yang bertempat di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta, ”Seorang aktor, sebagai pemain teater bisa memikat ketika membaca puisi, tetapi seorang penyair belum tentu mempunyai kemampuan membaca puisi, tetapi seorang penyair belum tentu mempunyai kemampuan membaca puisi. Meski kita bisa menemukan, penyair yang mempesona ketika membaca puisi, lagi-lagi kita bisa menunjuk Rendra. Yang lain, kita bisa pula menyebut Darmanto Djatman, Sutardji CB, atau Emha Ainun Nadjib dan sejumlah yang lain,”
Acara dibuka dengan pembacaan puisi oleh Meritz Hindra, yang dilanjutkan oleh penampilan Puntung CM Pudjadi bersama rekan-rekannya.
Setelah itu lampu padam. Dari arah pintu terlihat sosok dengan nyala lilin di tangan, melangkah pelan menuju ke arah panggung. Suasana senyap. ”inilah lembah gulita yang sangat dalam/kosong, hening dalam gigil yang menyudut palungnya/Anginpun lebih lirih dari sekedar desir...”. Itulah penampilan Ana Ratri yang pernah sekolah di ASDRAFI yang aktif di Pojok Budaya dan Sanggar Bambu, yang membawakan puisinya: ”Gelap”, ”Bait Akhir” dan ”Rahasia”.
[caption id="attachment_198058" align="aligncenter" width="300" caption="Agus Istianto atau Kamerad Kanjeng"]
[caption id="attachment_198059" align="alignleft" width="240" caption="Sri Yuliati"]
Suasana sedikit berbeda ketika Menik Sithik setelah membacakan ”Perjalanan Ini, Win” mengajak para penonton untuk menyanyi bersama lagu ”Darah Juang”-nya Jhonsoni Tobing yang tidak asing bagi para aktivis gerakan mahasiswa. Walau ketika di ajak tidak ada yang merespon, toh, saat ia menyanyikan, sebagian penonton langsung mengikuti. Lagu yang dinyanyikan untuk menghantarkan pada ”Jalan Sunyi” yang dibawakannya: ”...Tak ada kawan sejati/Yang dulu sejalan pemikiran/Tentang mimpi dan harapan... gedung-gedung megah disana/telah menelan kawan seperjalanannya/Menghanyutkan harapan perubahan...”
”Ramadhan”, puisi yang dibawakan oleh Sri Yuliati terasa pas dengan situasi yang tengah terjadi mengingat Sastra Bulan Purnama kali ini memang berlangsung saat Ramadhan. ”Bulan penuh berkah sekaligus penuh sensasi/Bulan penuh ampunan sekaligus penuh manipulasi/Bulan penuh hidayah sekaligus penuh ambisi/Bulan penuh rahmat sekaligus penuh provokasi//Jangan buruk sangka pada sang Illahi/Dia lah Sang Pemilik Jagat ini/yang tak pernah ingkar janji”. Pun puisi berikutnya ”Mencoba Ikhlas” dan ”Anakku”.
Yudiaryani, staf pengajar Jurusan Teater ISI Yogyakarta dan STSI Bandung, membawakan dua dari tiga puisinya, yakni: ”Dzikir Malam” dan ”Negeri Seribu Mitos”.
Bukan aku yang ada tetapi jiwaku yang mengada Sakit tubuh tergeletak menyatu tanah dan menjadi debu Tetapi jiwa tetap berkelana Luka jiwa sedekap bumi Mitos hanya idenya Laku adalah pelaksanaannya Dan tragedi butuh penyembuhan Balia! Ubahlah aku menjadi lebih baik (Negeri Seribu Mitos).
[caption id="attachment_198060" align="alignright" width="240" caption="Whanny Darmawan"]
Whany Darmawan, yang belum lama meluncurkan Novel ”Nun” dan buku ”Andai Aku Seorang Pesilat”, secara bercanda (atau serius) menyatakan akan membaca satu puisi pembuka yang lebih penting dari tiga puisi yang direncanakan. Puisi yang ”mempromosikan” rumah makan dengan kata-kata nakal yang cerdas mampu mengundang gelak tawa dari para hadirin.
”Puisi pertama akan dibacakan oleh Sabrina,” katanya memanggil seorang rekannya yang membacakan ”Puisi dan Diri”. Dilanjutkan dengan puisi yang dibacakan sendiri, ”Segitiga Sama Kaki” dan ”Malin Tak Mau Jadi Batu”.
Pritt Timothy, membawakan satu puisi panjangnya: ”Rara Jonggrang” dengan penampilan yang memikat. Disusul oleh Daru Maheldaswara dalam ”Indonesia, Major yang Minor”. Liek Suyanto, yang saat ini lebih banyak aktif di film dan sinetron, menjadi penampil terakhir yang menutup acara Sastra Bulan Purnama kali ini.
[caption id="attachment_198061" align="aligncenter" width="300" caption="Pritt Timothy"]
Menikmati secara keseluruhan penampilan para aktor membacakan puisi-puisinya memang berbeda. Ketrampilan berakting dan tuntutan mengolah vokal dengan baik, laksana kita menonton suatu pertunjukan monolog.
Sayang, pada saat purnama terang, pemandangan langit yang cerah ini tidak bisa dinikmati seperti acara-acara sebelumnya yang biasa berlangsung di pendopo atau di ruang terbuka bagian belakang Rumah Budaya Tembi, karena kali ini, acara dilangsungkan dalam ruang tertutup. Kenikmatan yang kurang sempurna jadinya.
Yogyakarta, 4 Agustus 2012 (Odi Shalahuddin)
Foto lainnya:
[caption id="attachment_198062" align="aligncenter" width="300" caption="Ana Ratri Wahyuni"]