Evaluasi dan refleksi dari para aktivis (hak-hak) anak di berbagai wilayah Indonesia, yang mengemuka dalam pembicaraan informal, pertemuan internal organisasi, ataupun pertemuan-pertemuan tingkat regional dan nasional tentang situasi partisipasi anak, hampir senada, yakni masih jarang (atau bahkan belum) ditemukan partisipasi anak yang bermakna.
Partisipasi anak yang bermakna adalah bagaimana anak-anak mengemukakan pandangannya secara genuine, dan pandangan mereka benar-benar bisa digunakan sebagai salah satu bahan untuk mengambil keputusan/kebijakan. Dari sini, terlihat ada dua persoalan pokok.
Pandangan anak yang genuine atau benar-benar berangkat dari pemahaman dan kesadaran anak terhadap realitas diri dan lingkungannya merupakan faktor penting yang menjadi syarat utama dari partisipasi anak. Maka, hal yang dilakukan adalah mengekspos anak-anak pada realitasnya terlebih dahulu, bukan memberikan informasi yang pada akhirnya bisa berubah menjadi doktrin. Lebih buruk lagi, bila anak-anak justru digunakan untuk menyalurkan aspirasi dari orang dewasa.
Partisipasi anak bisa berlangsung efektif bilamana orang dewasa atau para pemangku kepentingan memberikan penghargaan dengan mendengarkan pandangan-pandangan yang disampaikan oleh anak, dan menggunakannya sebagai bahan untuk mengambil keputusan. Berpura-pura bersikap terbuka dengan menghadirkan anak-anak dan memberi ruang bagi mereka untuk bersuara, namun tidak didengarkan dan hanya sekedar formalitas belaka, maka partisipasi anak bisa menjadi tidak berguna. Penting dalam hal ini memperomosikan partisipasi anak kepada orang dewasa atau para pemangku kebijakan agar menyadari peran penting pandangan anak dalam kehidupan bersama.
Tentang partisipasi anak, Hart (1992) mengelompokkan ke dalam delapan kelompok, yakni: 1) manipulasi, 2) dekorasi, 3) tokenism, 4) dilibatkan dengan memberi informasi, 4) dikonsultasikan dan diinformasikan, 6) inisiatif orang dewasa, keputusan bersama, 7) inisiatif dan pelaksanaan dilakukan oleh anak, 8) inisiatif oleh anak, pembuatan keputusan dilakukan bersama.
Tangga partisipasi ini mendapat kritik, misal dari Reddy dan Ratna, aktivis yang bekerja pada working children in India, yang menyatakan bahwa istilah “tangga” adalah suatu istilah yang tidak cocok karena menyiratkan suatu urutan, pada kenyataannya, satu tingkatan mungkin tidak perlu menjurus ke tingkatan berikutnya. Dan mereka mengusulkan istilah “jenis” untuk mengganti istilah “tangga”.
Namun, dari pengelompokkan yang dibuat, kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa point nomor (1) – (3) bukanlah bentuk partisipasi anak, walaupun anak terlibat dalam suatu kegiatan/acara.
(bersambung)
tulisan sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H