[caption id="attachment_193090" align="aligncenter" width="300" caption="Saat rapat koordinasi di Jepara Jawa Tengah"][/caption]
Menggantikan seorang kawan, saya berkesempatan mengikuti Rapat Koordinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah dalam rangka Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak di lingkungan Pariwisata.
Rapat Koordinasi ini melibatkan perwakilan dinas-dinas Pariwisata dari 35 kota/kabupaten se-Jawa Tengah, instansi terkait dan kelompok masyarakat.
Acara dibagi ke dalam tiga wilayah, yakni: 1) wilayah eks karisidenan Surakarta dan Kedu yang berlangsung di Hotel Arini, Solo pada tanggal 3 Juli 2012, 2) wilayah eks karisidenan Pekalongan dan Banyumas yang berlangsung di Hotel Sendang Sari, Batang, pada tanggal 4 Juli 2012, dan 3) eks Karisidenan Semarang dan Pati, yang berlangsung di Bandengan Palm Beach Hotel, Jepara, 5 Juli 2012..
Pada setiap acara, ada tiga materi yang disampaikan oleh tiga orang narasumber, yakni mengenai Program Visit Jawa Tengah 2013 dan pemahaman dasar tentang Pariwisata Seks Anak (Di Solo disampaikan oleh Hidayatullah Al Banjari. Untuk di Batang dan Jepara disampaikan oleh Eko Suseno HRM. Keduanya adalah konsultan pengembangan pariwisata), ESA di lingkungan Pariwisata mengenai peraturan perundangan yang melindungi anak dari ESA yang disampaikan oleh AKP Sri Wahyuni Widodo SH dari Dit PAM Obvit Polda Jawa Tengah, dan Situasi serta temuan-temuan terkait dengan Eksploitasi Seksual Anak yang disampaikan oleh Odi Shalahuddin.
“Rapat Koordinasi ini diselenggarakan sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi pariwisata seks anak di Jawa Tengah. Apalagi dengan adanya program Visit Jawa Tengah 2013,” jelas Sumartini, SH, M.Hum, Kepala Bidang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah, yang selalu hadir dalam tiga acara tersebut.
Program Visit Jawa Tengah 2013, dengan mascot burung Kepodang ini mentargetkan bisa mendatangkan 25,000,000 juta wisatawan nusantara dan 500,000 wisatawan mancanegara.
“Agar Pariwisata bebas dari Eksploitasi Seks Anak, perlu disosialisasikan pariwisata yang ramah anak dan bebas dari ESA, kepada pelaku bisnis pariwisata,” demikian dikatakan oleh Eko Suseno. “Pariwisata tanpa ESA, tetap bisa menguntungkan. Jangan khawatir,”
Pariwisata Seks Anak (PSA), sebagaimana dirumuskan oleh ECPAT Internasional (2008) merupakan eksploitasi seksual komersial terhadap anak, yang dilakukan oleh orang atau orang-orang yang melakukan perjalanan dari daerah, wilayah geografis, atau Negara asal mereka untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Para wisatawan seks bisa wisatawan domestik atau wisatawan internasional.
Mengutip kategori yang dikembangkan oleh ECPAT, Eko Suseno menjelaskan ada tiga bentuk PSA, yakni:
- Pelaku seks anak situasional biasanya adalah seorang wisatawan seks yang tidak pandang bulu. Hanya saja, karena dia mendapat kesempatan untuk melakukan hubungan seks dengan seseorang dibawah usia 18 tahun, maka orang tersebut memanfaatkan kesempatan itu.
- Wisatawan seks anak preferensial menunjukkan sebuah pilihan seks aktif terhadap anak-anak. Walaupun orang tersebut masih memiliki kemampuan untuk mengalami ketertarikan seksual terhadap orang dewasa, tetapi dia akan secara aktif mencari anak-anak untuk melakukan hubungan seksual dengan mereka.
- Pedofil menunjukkan sebuah kecenderungan seksual khusus terhadap anak-anak yang belum puber..
“Pariwisata Seks Anak adalah bentuk kejahatan,” demikian dikatakan oleh AKP Sri Wahyuni, yang kemudian menjelaskan pasal-pasal yang terkait dengan bentuk-bentuk kejahatan PSA.
Wahyuni, yang sebelumnya pernah aktif di unit PPA, memiliki banyak pengalaman untuk mendalami situasi ESA di Jawa Tengah. Bahkan ia pernah menyamar menjadi salah satu PSK guna mengungkap keberadaan anak-anak yang menjadi korban.
Odi Shalahuddin berdasarkan berbagai penelitian yang pernah dilakukan tentang ESA di Semarang dan sekitarnya, di lima kota Jawa Tengah, dan terakhir di empat Propinsi di Indonesia, mengingatkan tentang adanya perubahan pola dan modus operandi praktik prostitusi.
“Penegakan hukum di berbagai tempat untuk menindak para mucikari dan pengambil keuntungan terhadap eksploitasi seksual anak mengakibatkan mereka bersikap hati-hati. Mereka tidak berani terbuka, bila memiliki anak buah yang masih dalam batasan umur anak. Selain itu, perkembangan teknologi menyebabkan anak-anak yang dilacurkan tidak berada di bawah penguasan mucikari, namun bisa bergerak secara individual atau dalam kelompok kecil. Ini yang pasti sulit untuk diungkap,” demikian dikatakannya.
Proses diskusi yang berlangsung di tiga wilayah, kecenderungannya memperjelas tentang batasan umur anak, yakni di bawah 18 tahun, pendekatan bahwa anak adalah korban dan para pemanfaat adalah pelaku kejahatan, dan langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh para pelaku pariwisata untuk mencegah terjadinya ESA.
Upaya mengundang para wisatawan domestik dan mancanegara agar bisa tertarik untuk berkunjung ke Jawa Tengah, tentunya harus menegaskan tidak ada pariwisata seks anak di wilayah ini. Hal ini untuk memberikan jaminan perlindungan bagi anak. Terlalu mahal untuk mengorbankan anak-anak sebagai korban eksploitasi seksual yang hasilnya pastilah tidak akan sebanding dengan pemasukan yang bisa diperoleh. Maka, semua harus berkeyakinan dan bekerja keras, tanpa pariwisata seks anak, pariwisata tetap bisa berkembangan dengan melakukan langkah-langkah inovatif.
Semoga sukses bagi Propinsi Jawa Tengah.
Yogyakarta, 8 Juli 2012
Baca tulisan lainnya: Mucikari yang Semakin Kehilangan Kekuasaan dan Rejeki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H