Bertahun, selalu saja mengganjal dalam diri saya tentang biaya entertainment. Bukan apa-apa, sungguh, saya tidak tahu sama sekali. Ini lantaran saya tidak pernah bekerja di perusahaan-perusahaan bisnis apalagi bekerja di instansi pemerintahan. Saya merasa sudah cukup menjadi buruh harian lepas, yang secara jujur juga pernah dijamu dengan biaya menurut orang yang menjamu sebagai biaya “entertainment”.
Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang bekerja di sebuah perusahaan yang baru berdiri dan mendapat proyek dari sebuah BUMN menceritakan bahwa semalam dirinya baru saja menjamu sembilan orang dari pusat. “Ya, masukkin ruang karaoke saja semalaman. Habis 43 juta rupiah,” katanya sambil tertawa tanpa beban.
Lain hari, ketika singgah ke sebuah kota, saya bertemu dengan seorang kawan lama, mantan anak jalanan yang kini bekerja di sebuah tempat hiburan. Setelah ngomong panjang lebar tak beraturan, ia menceritakan pengalamannya semalam. “Wah, semalam ada tamu, orang muda-muda semua. Open bottle terus. Habisnya 65 juta,”
Dari dua kasus tersebut, cukup membuat saya terhenyak. Biaya entertainment yang sangat besar bila hanya sekedar menjamu tamu. Saya kira, dari banyak kisah lainnya yang bertebaran di seluruh wilayah Indonesia ini, hal serupa pastilah sering terjadi. Sesuatu yang biasa terjadi, pada akhirnya menjadi kebiasaan. Bukan suatu hal yang luar biasa dan perlu dipersoalkan.
Saya lalu teringat kembali kisah seorang sahabat setidaknya sekitar lima belas tahun lalu. Awalnya ia bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji yang lebih dari cukup. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk keluar. “Tidak tahan juga. Berpikir dosa,” katanya memberikan alasan.
Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan “segala sesuatu” bila hendak ada tamu atau bila ada pertemuan besar. Ia harus membereskan semuanya, setidaknya satu minggu sebelum hari “H”. ”Karena itulah saya jadi memiliki nomor-nomor kontak tempat hiburan dan para mucikari di berbagai kota,” katanya.
Dalam bisnis, katanya tidak ada sesuatu yang gratis. Konon untuk bertemu dengan seorang pejabat yang berhubungan dengan bisnis-nya, rela pula merogoh saku untuk membayar para perantara yang bisa menghubungkan.
Pada isu yang tengah mengemuka sekarang ini terkait dengan penyuapan dan korupsi, apakah menjamu tamu merupakan bentuk yang bisa dikategorikan sebagai penyuapan atau korupsi? Mohon pencerahannya dari para Kompasianer sekalian.
Salam hangat
Odi Shalahuddin
Yogyakarta, 18 Desember 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H