Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Menulis Horor untuk Mirror

15 Desember 2011   07:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:14 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang, sudah lama sekali saya tidak pernah membaca karya horor. Berbeda ketika pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an saat saya masih SD dan SMP. Saya kira, kisah-kisah horror menjadi salah satu bacaaan yang paling saya suka (Selain cerita silat dan buku-buku sastra). Abdullah Harahap tentulah satu nama penulis yang tidak bisa dilepaskan dari  kisah-kisah horor. Selain buku, film-film pada masa itu juga banyak yang bernuansa horror (selain silat dan kisah percintaan berbau seks)

Sepanjang saya menulis fiksi, tampaknya baru sekali saya menulis cerpen beraroma horor yang seingatan saya terjadi pada tahun 1985 atau 1986. Kisah yang saya tulis adalah tentang pencari jimat atau pesugihan yang mencuri mayat dari orang yang meninggal pada Malam Selasa (dan Jum’at) Kliwon. Seseorang akan merangkak dan berperilaku seperti anjing, mengorek-ngorek tanah pekuburan, dan dengan giginya akan menarik mayat di dalamnya. Lantaran itulah, orang yang meninggal pada malam Selasa Kliwon harus dijaga selama 40 malam.

Dorongan menulis cerita itu berdasarkan pengalaman saya turut menjaga sebuah makam bersama masyarakat di satu desa di Jalan Kaliurang karena meninggal pada Malam Selasa Kliwon. Berbagai pertanyaan yang saya lontarkan, ada beragam kisah yang menggetarkan dan membuat saya ketakutan. Itulah yang saya tuangkan, dan saya muat di bulletin yang kebetulan saya kelola.

Sudah lama sekali sebenarnya saya tidak aktif membaca buku karya-karya fiksi. Karya di media cetak, juga sudah jarang tersentuh. Pengecualian hampir dua tahun belakangan ini lebih cenderung membaca dari postingan para sahabat sendiri di Kompasiana, notes Facebook dan beberapa media online lainnya. Menulis fiksi-pun, setelah sekian lama berhenti, baru tergerak saat Kompasiana ramai dengan persoalan “fiksi sampah”

Maka ketika para fiksioner menggelar perhelatan Mirror yang berlangsung pada tanggal 12-21 Desember 2011, ini saya tertarik untuk terlibat. Cilakanya, saya mendapat nomor 25, yang berarti harus posting di hari pertama.

Sungguh, hingga tiba pada harinya, saya agak gemetar dan mengeluh lantaran belum ada ide yang bisa saya pilih untuk dituangkan sebagai cerita. Beragam kisah horor yang pernah terbaca, tertonton ataupun terdengar,  berseliweran di kepala. Banyak diantaranya, saya nilai sudah banyak diangkat, dan saya khawatir bisa dianggap basi. Pengalaman-pengalaman pribadi-pun saya nilai minim untuk diangkat menjadi cerita.

Lama di depan komputer, memandang layar kosong, jemari terpaku di depan tuts. Isi kepala membayangkan tempat-tempat yang bisa membuat saya tergetar. Muncul kuburan, muncul pohon beringin dan pohon preh, muncul Rumah-rumah tua, muncul kamar-kamar penuh misteri. Uh, susah sekali.

Lantas terbayang kisah sebuah kamar penuh misteri. Judul saya buat: ”Maya dalam Kamar”, tentang seorang gadis yang pulang ke rumah orangtuanya di desa. Suasana kamar sangat ramai karena kehadiran para saudara yang bersapa. Waktu berjalan, orang-orang berpamitan. Sepi-pun menggelayut. Maya memandangi kamarnya yang berantakan, tapi enggan untuk segera membereskan. Ia merebahkan diri di pembaringan, ingin mengistirahatkan segenap tubuhnya. Namun mata sulit terpejam, justru menjelajah ke setiap inci ruang. Tak puas, saya hapus seluruh tulisan yang telah hadir.

Kembali diam. Terbayang sebuah malam, sebagai pembuka. Maka mulai mengalir tulisan, tanpa saya tahu hendak kemana alur cerita. Satu alenia selesai, terbayang suasana berikutnya, tulis lagi, terbayang dan berkembang setting lokasi yang pernah hadir dalam perjalanan selama ini, hingga akhirnya menjelang selesai, saya masih belum tahu, kisah ini akan berakhir seperti apa. Saya membaca ulang, dan menilai setting suasana yang membawa aura tertentu sudah terasa. Agak terlama terdiam, membayangkan beragam adegan penutup. Tidak ada yang memuaskan. Tapi tulisan harus segera selesai. Maka, dengan kesadaran penuh, saya sedikit memaksakan akhir dari cerita yang tertulis di alenia terakhir, tentang sosok makhluk halus yang melayang. Selesai. Lalu berpikir mencari judul. Dapat.  Posting.

Nah, bagaimana dengan pengalaman dirimu sendiri ketika menulis untuk meramaikan perhelatan MIRROR ini?

Salam hangat,

Odi Shalahuddin
Semarang, 15 Desember 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun