Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tentu Salah Bila Guru Melakukan Kekerasan Dengan Alasan Apapun (3)

8 Desember 2011   17:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penilaian dan rekomendasi yang diberikan oleh Komite Hak Anak PBB di tahun 2004, tentu saja mengacu kepada Laporan Indonesia atas pelaksanaan Konvensi Hak Anak. Bagaimana langkah atau upaya Indonesia melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan dan penghukuman fisik yang terjadi di sekolah? Untuk ini kita bisa mengacu kepada laporan periodik ketiga dan keempat periode 1997 – 2007 yang terlambat pula dikirimkan ke PBB.

Pada draft laporan dengan status 28 Maret 2008, dinyatakan pada butir 63-65 dinyatakan:


  • Berbagai penelitian dan data menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak terus berlanjut dengan intensitas yang makin meningkat, motif yang makin beragam dan lokasi yang semakin luas. Berdasarkan pengaduan masyarakat kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak diketahui bahwa pada tahun 2004 terdapat 547 kasus tindak kekerasan terhadap anak, tahun 2005 ada 866 kasus serupa, dan tahun 2006 terdapat 150.000 anak yang memerlukan perlindungan khusus. Menurut data Departemen Sosial Republik Indonesia pada tahun 2006 jumlah anak yang mengalami tindak kekerasan secara nasional mencapai 182.400 kasus
  • Sementara itu, hasil penelitian UNICEF (2007)di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur memperlihatkan banyaknya anak-anak yang mendapatkan perlakuan buruk. Dari penelitian pada tahun 2002 yang melibatkan 125 anak terungkap bahwa dua per tiga dari jumlah responden anak laki-laki dan sepertiga dari jumlah responden anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Pada tahun 2003, dari penelitian yang melibatkan sekitar 1.700 anak  terungkap bahwa sebagian besar anak yang menjadi responden mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.
  • Pada tahun 2006, penelitian yang dilakukan UNICEF di Jawa Tengah menunjukkan bahwa 80 persen guru mengaku pernah menghukum murid-muridnya dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas. Pada penelitian di Sulawesi Selatan oleh UNICEF, diketahui bahwa 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, selain itu 73 persen guru pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen guru pernah menyuruh murid untuk membersihkan toilet. Pada penelitian di Sumatera Utara oleh UNICEF, lebih dari 90 persen guru menyatakan pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, sedangkan 80 persen guru pernah berteriak pada murid-muridnya

Pada butir 68, Pemerintah Indonesia juga mengakui bahwa Kekerasan terhadap anak juga terjadi di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru dan staf sekolah maupun oleh sesama murid. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dapat bersifat fisik seperti pemukulan dan penggunaan rotan dalam penegakan disiplin, pelecehan seksual, bersifat psikologis seperti penghinaan, ancaman, penggertakan yang merendahkan martabat, kekerasan berbasis jender. Kekerasan di sekolah oleh sesama murid bisa terjadi dalam bentuk perkelahian, penggertakan, perploncoan, ancaman, bullying yang lebih sering terjadi terhadap anak-anak dari keluarga miskin atau kelompok-kelompok etnis yang terpinggirkan

Pada butir 71, Indonesia menyatakan diri untuk mengurangi kekerasan terhadap anak pada lima tahun ke depan. Indonesia dengan dukungan organisasi non pemerintah internasional akan mengupayakan hal-hal berikut.

a)Kampanye global untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak.

b)Perubahan sistem hukum nasional.

c) Pembuatan regulasi di tingkat pusat maupun daerah yang melarang segala bentuk penghukuman yang bersifat fisik dan psikis pada anak di rumah dan di sekolah.

d)Pembentukan institusi lokal untuk mengkaji dan mendiskusikan kembali kebiasaan dan praktik-praktik adat yang meligitimasi kekerasan terhadap anak dan mengancam hak-hak anak.

e)Peningkatkan kapasitas anak dan masyarakat secara umum agar semua pihak lebih memahami hak-hak anak.

f)Pemantauan terhadap implementasi regulasi mengenai kekerasan terhadap anak.

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Banyak negara masih melakukan praktek-praktek kekerasan terhadap anak, termasuk yang terjadi di sekolah-sekolah.

Pada persidangan ke 61, Majelis Umum PBB telah menerbitkan dokumen A/61 tertanggal 23 Agustus 2006 mengenai Laporan Pakar Independen untuk Studi mengenai Kekerasan Terhadap Anak PBB. Laporan ini, didasarkan pada Studi mendalam oleh Paulo Sérgio Pinheiro, pakar independen yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal sesuai dengan resolusi Majelis Umum no. 57/90 tahun 2002, yang memberikan gambaran global mengenai kekerasan terhadap anak dan mengusulkan rekomendasi untuk mencegah dan merespons masalah ini.

Gambaran mengenai situasi Kekerasan dalam lingkungan sekolah dan lingkungan pendidikan terumuskan pada butir ke 48-52, yaitu:

48. Di sebagian besar negara, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya dalam perawatan orang dewasa dalam lingkungan pendidikan dibanding dengan tempat lain manapun di luar rumahnya. Sekolah memiliki peranan yang penting  untuk melindungi anak-anak dari kekerasan. Orang-orang dewasa yang mengawasi dan bekerja dalam lingkungan pendidikan memiliki tugas untuk menyediakan lingkungan yang aman yang mendukung dan mempromosikan/ mengedepankan martabat dan perkembangan anak.

49. Bagi banyak anak, lingkungan pendidikan menjadi tempat mereka  bersentuhan dengan kekerasan dan mungkin juga mengajarkan kekerasan kepada mereka. Persepsi umum terdapat kekerasan di sekolah telah diwarnai oleh fokus media pada peristiwa-peristiwa luarbiasa yang melibatkan penembakan dan penculikan anak sekolah. Kendatipun demikian, cedera serius dan kematian akibat kekerasan lebih kecil kemungkinannya terjadi pada anak –anak di lingkungan sekolah di banding dengan di rumah atau lingkungan masyarakat yang lebih luas.

50. Kekerasan yang dilakukan oleh guru dan staf sekolah lainnya, dengan atau tanpa persetujuan yang secara diam-diam ataupun tertulis dari kementrian pendidikan dan otoritas lain yang mengawasi sekolah, mencakup hukuman fisik, bentuk-bentuk hukuman psikologis yang kejam dan merendahkan martabat, kekerasan berbasis jender dan seksual, dan penggertakan. Hukuman badan seperti pemukulan dan penggunaan rotan dalam hukuman merupakan praktek standar di sekolah pada sejumlah besar negara. Konvensi Hak-hak Anak memperrsyaratkan negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan konvensi itu. The Global Initiative to End All Corporal Punishment of Children melaporkan bahwa 102 negara telah melarang hukuman fisik di sekolah, namun penegakan aturan itu masih belum nyata.

51.Kekerasan di sekolah dalam bentuk perkelahian dan penggertakan (plonco) juga terjadi. Di beberapa lingkungan masyarakat, perilaku agresif, termasuk perkelahian, dipandang sebagai masalah disiplin yang tidak penting. Penggertaan atau bullying lebih sering diasosiasikan dengan dikriminasi terhadap anak-anak dari keluarga miskin atau kelompok-kelompok etnis yang terpinggirkan, atau mereka yang memiliki kepribadian tertentu. (misalnya penampilan, atau ketidakmampuan fisik atau psikologis). Penggertakan yang paling umum bersifat verbal, namun  secara fisik juga terjadi. Sekolah juga terkena dampak peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya, meningkatnya insidensi budaya gangster dan kegiatan-kegiatan kriminal yang terkait dengan geng  khususnya yang terkait dengan Narkoba.

52. Kekerasan berbasis jender dan seks juga terjadi dalam lingkungan pendidikan. Banyak diantaranya yang tertuju pada anak perempuan, dan dilakukan oleh guru laki-laki dan teman sekelas. Kekerasan juga semakin diarahkan pada lesbian, kaum gay, biseks, dan waria muda usia di banyak negara dan kawasan. Kekerasan berbasis jender dan seks ditunjang oleh kegagalan pemerintah untuk memberlakukan dan menerapkan undang-undang yang memberikan perlindungan jelas dan tegas bagi siswa terhadap diskriminasi.

Pada dokumen itu, salah satu rekomendasi adalah mendorong tiap negara untuk merespon kekerasan terhadap anak, yang diintegrasikan dalam proses perencanaan nasional (lihat butir 92)

Di Indonesia, rekomendasi tersebut dilaksanakan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak No. 02 tahun 2010 mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak.  Berdasarkan Permen inilah dalam rangka pencegahan, dikenal istilah yang sekarang tampaknya tidak asing lagi bagi kita, yaitu, SEKOLAH RAMAH ANAK.

(Bersambung)

Salam,

Odi Shalahuddin
Yogyakarta, 9 Desember 2011

_____________________________

Tulisan Sebelumnya:

Tentu Salah Bila Guru Melakukan Kekerasan Dengan Alasan Apapun (1)
Tentu Salah Bila Guru Melakukan Kekerasan Dengan Alasan Apapun (2)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun