[caption id="attachment_147206" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pandangan atau penilaian yang dilontarkan oleh Hilda @Hammer City, saya kira sangat berhasil merebut perhatian dari para kompasianer, utamanya yang biasa bergelut di kanal Fiksiana. Reaksi yang bermunculan, baik yang pro, kontra ataupun mengambil jalan tengah, menunjukkan gairah berkarya yang sangat tinggi di Kompasiana. Hal ini bisa terlihat dari ratusan komentar yang hadir pada tulisan Hilda tersebut.
Secara nyata, lihat saja ruang Terekomendasi pada hari ini, tiga diantaranya terkait dengan postingan menyangkut pembahasan sastra. Belum lagi bila kita meniti setiap rubrik dalam Fiksiana, pastilah dijumpai karya-karya yang menyoroti ataupun menunjukkan karyanya dengan mencantumkan sebagai karya instan.
Penyampaian yang beragam, diantaranya (tanpa mengesampingkan berbagai postingan lainnya) yang dilakukan oleh Bung R-82 melalui karyanya [mie instant] Si Congkak dan Nama Baik pada rubrik dongeng, secara ciamik menggambarkan analogi situasi dengan menampilkan situasi warung mie dan restaurant. Bunda Pipit Senja menceritakan pengalamannya yang menggambarkan bagaimana situasi relasi sosial para “sastrawan” sejak tahun 1970-an yang tampaknya belum banyak bergeser (lihat Anekdot Sastrawan: Apa Sastra Instan, Sastra Dadakan, Sastra Picisan, dan Sastra-sastraan). Pak Jack Soetopo malah memunculkan perjuangan baru dengan memperkenalkan istilah Sastra Dangdut (lihat: Sastra Dangdut ala Tukang Becak dan Sastra Dangdut yang Membuat Pakar Sastra Keblinger). Saya sendiri juga langsung merespon Hilda dengan postingan: Menyapa Hilda tentang Sastra Instan di kompasiana. Hal mana, oleh Bung Arrie dilanjutkan lagi dengan postingannya Catatan Pinggir Sang Fakir"Secangkir Kopi Sastra Instan" yang secara tajam dan bijak membedah persoalan yang mengemuka dalam pandangan jalan tengah. Hal menarik yang patut disimak adalah pernyataan Bung Arrie: Sastra itu sejatinya dalam kesejatiannya adalah makanan/minuman bathin yang akan kita sajikan baik itu terhadap diri maupun terhadap orang lain. “Tak ada yang langsung jadi. Tak ada yang langsung bisa. Tak ada yang langsung ahli!” Semuanya butuh latihan serta waktu plus kesabaran dan itulah PROSES!
Perssalan yang tengah mengemuka saat ini, mengingatkan saya pada isu mengenai fiksi sampah yang dilontarkan oleh Astree Hawa pada tahun 2010 yang menimbulkan reaksi sangat keras dari para fiksioner kompasiana. Sayangnya, pada saat itu tidak berlangsung diskusi yang mencerahkan mengingat Astree Hawa menggeneralisir seluruh karya fiksi yang ada sebagai sampah tanpa bisa mempertanggungjawabkan atau menunjukkan kelemahan dari karya sastra yang ada.
Berbeda dengan sekarang, walau ada reaksi keras terhadap tudingan yang dilontarkan Hilda, masih ada yang mencoba meletakkan persoalan dengan menentukan titik tolak pembahasan. Sebagai gambaran, misalnya yang diposting oleh sahabat Kang Insan yang memberikan gambaran tentang ”Sastra itu Apa?) yang ditulis secara bersambung (masih dinanti sambungannya) dan sahabat Jusuf An tentang ”Agar Puisi Bisa Dinikmati Banyak orang”
Mencermati perjalanan kehidupan sastra (khususnya di Indonesia) sejak masa Jaman pujangga Lama hingga masa sastra kontemporer ini, perdebatan dan pertarungan mengenai apakah sebuah karya bisa disebut sebagai karya sastra hingga saat ini terus saja mengemuka dan tidak akan pernah selesai. Alasannya sederhana, mengingat batasan sastra itu sendiri berkembang dan tidak ada definisi yang disepakati bersama. Sebagai gambaran, karya puisi saja, diketahui lebih dari 200 definisi. Pada ruang inilah, pemikiran dan interpretasi terus berkembang, dan bisa menjadi keunikan dari dunia sastra itu sendiri.
Kompasiana sendiri menggunakan istilah rubrik fiksi (dan sekarang sudah menjadi kanal tersendiri dengan nama Fiksiana). Pengelola tidak menggunakan istilah sastra. Tentu pilihan ini dilakukan secara sadar, mengingat bahwa Kompasiana merupakan blog keroyokan yang diarahkan sebagai jurnalisme warga, dan mengedepankan sharing and connecting. Istilah fiksi, menjadi sangat terbuka bagi siapa saja untuk meramaikannya, dengan membuat postingan yang dibuat secara serius, ekspresi ataupun curahan hati, ataupun sekedar bermain-main. Ini semuanya menjadi sah adanya.
Bila ingin dikelompokkan, bisa disebutkan ada tiga kategori penulis dalam kanal fiksi ini, yaitu:
1) Para penulis yang telah dikenal atau diakui sebagai sastrawan
2) Para penulis yang meniatkan dirinya belajar untuk menjadi penulis karya sastra
3) Para penulis yang menumpahkan ekspresi melalui karya fiksi
Pada point satu (1), yaitu penulis yang telah dikenal atau diakui sebagai sastrawan, jumlahnya pastilah sedikit. Mereka hadir sesekali (walau ada juga yang serius hadir dengan intensitas tinggi untuk memprovokasi agar orang-orang berani menulis fiksi dan meningkatkan kemampuannya.
Penulis yang berobsesi menjadi penulis, jumlahnya bisa lebih banyak. Biasanya mereka mengkesplorasi diri dengan berbagai tulisan untuk mematangkan tulisannya, memposting dan mempelajari respon yang hadir, juga berinteraksi dan belajar dengan para penulis lainnya di luar kompasiana, atau memiliki komunitas penulis.
Penulis yang menjadikan fiksiana sebagai ruang untuk mengekspresikan diri atau melakukan curhat melalui fiksi, tentulah yang paling banyak. Termasuk dalam kelompok ini adalah kompasianer yang benar-benar belajar ”berani” untuk menulis yang didorong oleh bacaaan/postingan yang hadir dan juga provokasi dari kompasianer lain.
Nah, melihat kategori tiga penulis ini, maka secara nyata, bahwa Fiksiana memang dihadirkan sebagai ruang ekspresi, curhat, dan menjadi media untuk sharing dan connecting. Oleh karena itulah, tidaklah tepat untuk menuntut segenap karya yang ada harus memenuhi kaidah-kaidah penulisan sastra (yang inipun masih bisa diperdebatkan).
Lontaran dari Hilda, bisa tepat untuk kategori penulis tipe kedua (tipe pertama kecenderungannya tentu akan menolak untuk dinilai. He.h.eh.e.he.e., kan sudah jadi sastrawan) untuk mendorong kegelisahan serupa dan belajar bersama-sama untuk meningkatkan kualitas karya. Sayangnya, Hilda terjebak membuat generalisasi bahwa semua penulis di kanal fiksiana berobsesi untuk membuat karya sastra. Pada situasi yang lain, sesungguhnya beberapa sahabat kompasianer yang mencoba belajar serius untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi, telah membangun komunitas-komunitas tersendiri dengan menggunakan jejaring sosial seperti Facebook sebagai ruang diskusi, dan fiksiana sebagai tempat untuk menyebarluaskan karya-karyanya.
Secara pribadi, saya bisa menerima kritikan Hilda bila bercermin pada karya-karya fiksi yang saya hasilkan sejak tahun 1990, semuanya adalah karya sekali jadi. Kebiasaan yang saya akui buruk dari dalam diri saya, yaitu menulis secara spontan, dan harus jadi. Bila tertunda, maka bisa dipastikan tidak akan bisa saya selesaikan. Demikian pula dengan tulisan-tulisan saya di luar fiksi. Tulisan sekali jadi.
Namun perhatian dan kegiatan saya, yang selama ini, walau tidak secara sistematis dan terorganisir seperti Bunda Pipit Senja, adalah mendorong orang-orang (termasuk anak-anak) untuk berani menulis. Menulis apa saja. Mengingat ketika seseorang menulis, ia tidak sekedar memaparkan apa yang dilihat dan dirasakan, melainkan juga ada unsur berpikir dan menganalisis di dalam dirinya. Berbeda, bila itu dilakukan dengan omongan. Proses ini yang dilakukan secara terus menerus tentu saja menjadi media pembelajaran tersendiri bagi siapapun sehingga tanpa disadari bisa berkembang.
Tidak percaya? Kita bisa mengambil contoh di sekeliling kita, dari para sahabat kompasianer, atau bahkan diri kita sendiri. Bila kita terbiasa menulis, maka tanpa kita sadari, tulisan kita semakin lama akan semakin baik. Cobalah cermati perjalanan tulisan kita masing-masing.
Kritik memang perlu. Melalui kritik, kita bisa melihat kelemahan dengan cepat, sehingga bisa dengan segera pula melakukan perbaikan. Tapi, kritik harus dilakukan secara tepat (dengan cara dan audiense yang tepat). Bila tidak, hal sebaliknyalah yang terjadi.
Bila saja Hilda membuat judul: ”Wahai para sastrawan Kompasiana, jangan banjiri dengan Sastra Instan”, lalu memberikan ilustrasi terhadap tulisan-tulisan tertentu, reaksi yang muncul akan sangat berbeda. Saya yang bukan sastrawan, tentu tidak akan ambil perduli, dan terus saja akan menulis, menulis, dan menulis. Toh, himbauan hanya ditujukan kepada orang-orang yang (mau menjadi) memposisikan dirinya sebagai sastrawan. Walaupun tertarik, saya akan mengintip, dan mengambil pelajaran dari proses diskusi yang berlangsung, tanpa saya merasa sebagai orang yang dituduh atau dipersalahkan.
Sekarang, sebagaimana dikumandangkan oleh para kompasianer, kita tetapkan untuk terus menulis dan menulis. Menulis adalah kebiasaan. Tanpa sadar kita tentu akan belajar dari proses yang kita jalani. Semakin cepat, bila mencermati postingan karya para sahabat lain, menyimak pembahasan tentang karya, mencari bahan referensi, dan mengintip diskusi yang berhubungan.
Sudahlah, coretan instan ini (sekali jadi), memang harus disudahi. Bukan apa-apa, tapi lantaran perut sudah keroncongan minta di isi. Berkepanjangan juga akan membuat jengah.
Salam hangat bagi semua kompasianer penikmat Fiksiana......
Odi Shalahuddin
7 November 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H