Bung AK, panggilan akrab dari sebagian kawannya kepada BSW Adji Koesoemo, yang kini tengah menjalani proses persidangan di PN Sleman, DIY, dijerat dengan pasal 170 ayat 2 ke-1 KUHP, atau pasal 406 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang perusakan.
Kasus ini bermula dari berlangsungnya aksi warga Karang Wuni, Jalan kaliurang, Sleman pada tanggal 13 Juni 2014 yang menolak pembangunan apartemen The Uttara Icon. Bung AK dijemput oleh warga KarangWuni di rumahnya untuk memberikan dukungan. Ia sempat berorasi, selain orasi yang dilakukan oleh ketua DPRD Sleman.
Pada aksi tersebut terjadi perusakan spanduk dan gypsum, yang oleh pengembang yakni PT Bukit Alam Permata, dinyatakan pihaknya mengalami kerugian sekitar 100 juta.
Selain Bung AK, seorang pemuda setempat, Rizki Adjie Sanjaya juga menjadi terdakwa yang disidang secara terpisah. Bedanya, Bung AK mengalami penahanan selama proses hukum berlangsung. Sejak ditangkap pada tanggal 24 September 2014, ia menjadi tahunan Polres Sleman, tahunan Kejaksaan dan tahunan pengadilan, yang pada hari ini (1/1/15) memasuki hari ke 99, sedangkan Rizki tidak ditahan. Upaya meminta penangguhan penahanan, sama sekali tidak pernah dikabulkan.
Berdasarkan dakwaan dari JPU, Bung AK dinyatakan terlibat merusak salah satu spanduk yang sebelumnya sudah dirusak oleh Rizki. Namun, dalam persidangan, barang bukti yang dipertunjukkan bukanlah spanduk yang diduga dirusak oleh Bung AK.
“Robeknya selembar baner reklame papan bisnis apartemen Uttara The Icon sebagai casus belli memperkarakan saya dalam Hukum Acara Pidana, yang penuh kenaifan dan di luar akal sehat diklaim sepihak merugikan SERATUS JUTA RUPIAH (Rp. 100.000,000,-) oleh pihak marketing apartemen. Tanpa penyelidikan atas besarnya nilai aktual kerugian, penyimpulan gegabah tersebut juga disuarakan terbuka oleh Sdr. AKBP. Ihsan Amin, Kepala Polres Sleman, dalam pernyataan media massa. Di titik ini, Kapolres telah menjadi juru bicara korporat bisnis swasta,” demikian dinyatakan oleh AK dalam Nota Pembelaan yang dibacakannya pada saat persidangan yang berlangsung pada hari Rabu kemarin (31/12/14).
Pada bagian lain, Bung AK menyatakan dari kursi duduk sebagai terdakwa, betapa tendensi balas dendam kuasa politik yang melatari ini sangat sulit dibuktikan tetapi teramat mudah dirasakan. Keterangan saksi-saksi yang diajukan JPU, bahkan terhadap alat bukti utama, sudah gagal memberikan penjelasan mengenai selembar banner, siapa sebenarnya pelaku perusakan sesungguhnya.
“Banner yang diajukan ke muka persidangan ternyata bukan banner yang saya sentuh di lokasi kejadian perkara. Barang bukti yang GAGAL menetapkan sebagai petunjuk bahwa saya sebagai pelaku tindak pidana perusakan atas banner yang menempel pada dinding GRC, tak ubahnya pelecehan terhadap kekuasaan peradilan dan martabat persidangan,” tegas AK.
AK menilai bahwa seolah ada pesan sponsor, dengan ‘mencomot’ dirinya sekaligus shock-therapy bagi warga masyarakat yang menentang pendirian hotel, apartemen dan bangunan komersial lain. Kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan menjadi alasan paling mudah karena ketidak-mampuan mengelola konflik kepentingan.
Lebih lanjut dikatakannya: “ada pihak-pihak lain yang secara konspiratif ‘menargetkan’ saya sebagai terdakwa, ialah asal Adji Koesoemo masuk penjara. “Balas dendam subyektif sudah dapat saya duga dari mana dan siapa saja mewarnai pergaulan saya sebelum peristiwa ini,” tegasnya.
[caption id="attachment_362673" align="aligncenter" width="538" caption="Adji Koesoemo sebelum persidangan di mulai (31/12) -dok Wiji-"]
Siapakah Adji Koesoemo ?
BSW Adji Koesoemo (49), terlahir dari pasangan Bapak RB Dytee Triwaluyo (Suryowilogo) dan Ibu Dra. Soertijati, BA. Ia anak sulung dari empat bersaudara, yang tinggal dan dibesarkan dalam lingkungan Ndalem Pujokusuman, Jogjakarta.AK adalah cucu dari GBPH Pujokusumo (adik kandung Sri Sultan Hamengkubuwono IX) dan cicit dari Sultan Hamengkubuwono VII.
Bapak dari tiga orang putri ini (Cintia, Wika dan Ami) yang pernah mengecap pendidikan di Fakultas Filsafat UGM, sejak mahasiswa telah terlibat aktif dalam gerakan-gerakan menentang ketidakadilan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Berbagai aksi besar pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, diikutinya. Termasuk ia menjadi pelaku aksi mogok makan menentang Undang-undang Lalu Lintas (UULL) tahun 1992 yang berlangsung lama di ruang publik, yakni di depan gedung Senisono (sekarang sudah menjadi bagian dari Gedung Agung, istana Yogyakarta).
Perhatiannya terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan, khususnya kaum petani terus berlanjut. Selain memberikan dukungan atas aksi-aksi masyarakat yang (akan) digusur seperti masyarakat Parang Tritis dan petani pesisir pantai selatan Kulonprogo, ia bersama kawan-kawannya juga mengembangkan pupuk cair yang dikatakannya asli ramuan Indonesia.
Kecintaan terhadap Indonesia dan mimpinya untuk memberikan kontribusi bagi kemakmuran bangsa Indonesia dirumuskan ke dalam Lima Kedaulatan Bung AK menuju Indonesia Makmur Raya, yang berisi:
1.Kedaulatan pangan
2.Kedaulatan energy
3.Kedaulatan telekomunikasi
4.Kedaulatan Mata Uang
5.Kedaulatan Pertahanan dan Keamanan
Dalam wawancara dengan salah satu media nasional dinyatakan ia mendapat tawaran dari sebuah perusahaan di Malaysia yang siap mentrasnfer uang 140 milyar untuk menjadi agen tunggal produk pupuknya. Namun, ia bersama istrinya menolak. ''Bila ada agen tunggal, masyarakat petani yang akan dirugikan, karena ketersediaan barang maupun harga bisa dimainkan,'' ujar Adji. (Lihat SINI)
Pada satu kesempatan, ia pernah menceritakan bahwa dirinya pernah bertemu dengan Menteri dan mempresentasikan tentang pupuknya. Sang menteri merespon positif. Namun saat akan ditindaklanjuti oleh bawahannya, ia dimintai “setoran” terlebih dahulu. “Susah, untuk kepentingan bangsa ini saja malah dihambat,”
AK bersama tim-nya, dari Komunitas Indonesia Bangkit, pernah melakukan penelitian biota laut yang dapat menghasilkan minyak. Hasilnya dinilai setara dengan pertamax, yang ia beri nama Bahan Bakar Nusantara (BBN) dengan harga jual Rp. 1,500 per liter. (lihat di SINI) Kelanjutan hasil penetilian ini belum diketahui, kendati dalam berbagai pertemuan ia masih memiliki obsesi untuk mewujudkan BBN.
Simpati Para Sejawat
Proses hukum yang tengah dihadapi oleh AK, mengundang banyak simpati dari para aktivis. Aktivis lingkungan dan HAM di Yogya membentuk Komite Aksi Peduli Aktivis Lingkungan (KAPAL), yang aktif menggalang dukungan dan menuntut dibebaskannya AK sejak masa penahanan di polres Sleman. Di PN Sleman, sebelum persidangan, KAPAL terus aktif melakukan aksi-aksi membela AK.
Muhammad Yamin, mantan anggota DPR RI, dan ketua Presidium Seknas Jokowi, yang berkesempatan menyaksikan proses persidangan Rabu kemarin (31/12) tidak kuasa menunjukkan keheranannya. “Saya itu berkawan dengan Adji sejak mahasiswa. Ia aktif terlibat dalam aksi-aksi besar mahasiswa pada masa Orde Baru. Tapi sekalipun tidak pernah diadili. Peserta aksi ditangkap paling cuma satu hari dan diperlakukan oleh polisi dengan baik. Kalian tahu bagaimana rejim Orde Baru? Sekarang di masa reformasi, aktivis HAM malah dikriminalisasi. Seperti ada yang tidak beres, dan ini harus dibongkar,”
Simpati juga datang dari ketua Komnas HAM yang semapt menjenguk Adji saat berada di tahunan Polres Sleman, dan kunjungan dari Wakil Bupati Sleman saat Adji sudah berada di Lapas Cebongan.
Simpati juga berdatangan dari para aktivis lingkungan dan HAM dari berbagai wilayah Indonesia.
Bahaya yang Mengancam Demokrasi
Jika kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan HAM menjadi pola, maka bahaya tengah mengancam proses demokratisasi negeri ini yang telah terbangun semakin baik. Proses pembangunan dari para pemilik modal yang didukung oleh para birokrat, jika mengabaikan suara dan kepentingan rakyat yang terkena dampaknya, maka juga mengancam upaya mencapai cita-cita bangsa ini yang terumuskan did alam konstitusi untuk mencapai keadilan dan kemamuran.
Para aktivis lingkungan, sesungguhnya mendapatkan jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 66, menegaskan, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Sayang, menurut AK, yang terjadi, Pasal 66 UU 32/2009 ini dikebiri demi melayani kekuasaan melalui aparat koersif.
Yogyakarta, 1 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H