Entah dorongan apa, malam ini Kobar memutuskan untuk menghabiskan waktu di Titik Nol, hingga fajar menyapa dunia. Titik Nol, dinilaianya tempat yang tepat sebagai pelarian dari kejenuhan rutininitas yang mendera dalam ruangan dengan layar-layar monitor guna mengarungi segenap penjuru dunia, kendati fisik tak banyak bergerak ke mana-mana. Hanya jemari terus bermain, dengan jendela-jendela yang terbuka, diantaranya adalah ruang sosial untuk bersapa, berkenalan, bercanda, dengan kata-kata yang tertulis dan sesekali bercakap dengan memandang lawan bicara dengan latar belakang ruang terbatas pula. Bertahun. Bertahun-tahun. Menjadi nyata. Padahal tanpa tersadari telah memenjara sehingga lepas dari realita sesungguhnya. Ah, tampaknya kalimat ini tidak begitu tepat. Bukankah dunia dalam layar monitor telah menjadi realita sesungguhnya? Sentuhan segenap pancaindera secara langsung, barangkali itu yang terhilang.
Ah, Kobar tersipu sendiri, merutuki kesombongannya yang “seolah-olah” telah menjadi, padahal sesungguhnya telah menciptakan keterasingan tersendiri. Ia begitu tergeragap tatkala secara langsung berhadapan dengan perubahan-perubahan yang terjadi, walau dalam pikiran hal semacam benar-benar sudah merasuk ke dalam dirinya.
Pikiran dan realita memang dua hal yang berbeda. Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri pada arah yang berlawanan. Pikiran menyatakan A, sedang realita berada pada titik B. Dibutuhkan saat berjarak dengan keduanya, melihat secara jernih, hingga dapat tersadarkan, dan menggiring keduanya agar dapat berjalan seiring-sejalan. Kendati disadari pula, pikiran menerobos lebih cepat dibandingkan tindakan yang dapat dilakukan.
Pelarian yang menyatu dengan rasa rindu terhadap masa lalu, barangkali pula itu yang tengah terjadi. “Ya, barangkali,” lirih Kobar menyatakan kepada dirinya sendiri. Pengakuan spontan dan jujur yang membuatnya ingin terbahak sekaligus menangis lantang. Atau ini terlalu berlebihan? Sebenarnya sesuatu yang wajar, yang biasa dialami oleh seseorang pada umur atau titik tertentu dalam kehidupan manusia. Lintasan-lintasan kenangan masa lalu, yang ingin dinikmati kembali, walaupun dalam bayang-bayang. Ya, wajar, bukan?
Atau, jangan-jangan seperti sering muncul dalam perbincangan, seseorang yang tiba-tiba selalu mengingat dan mengungkapkan kisah-kisah masa lalu adalah orang-orang frustasi yang tidak dapat menerima posisinya dalam kekinian? Ia mengeksplorasi masa lalu dengan membuat artefak-artefak kegagahan yang pernah dialaminya. Sesuatu yang dapat dibangga-banggakan. “aku pernah… aku pernah… aku pernah…”
Sejauh tidak terseret pada arus masa lalu, memutar roda dan berobsesi menghidupkan kembali dalam kekinian, namun tanpa daya, apalah guna. Pastilah bila itu dapat terjadi, maka akan terpilih penggalan-penggalan ketika diri merasa sangat bermakna. Tapi, omong kosong. Masa lalu biarlah berlalu. Bolehlah mengenang, sebagai cermin diri untuk memperbaiki dan memperkuat jejak perjalanan hari ini dan masa depan. Masa lalu hanyalah kenangan, yang tidak perlu dibanggakan terlalu berlebihan. Bukan itu yang dibutuhkan.
Sekarang? Ya, apa yang kita lakukan sekarang? Apa yang kita impikan untuk masa depan? Masihkah kita memiliki mimpi? Masihkah memiliki daya juang untuk melakukan sesuatu? Atau terjebak pada ketidakberdayaan? Seringkali memang kita tidak mau jujur pada diri sendiri. Kita terlalu takut untuk bercermin, sehingga pada wajah sendiri-pun kerap terlupa.
Kobar menengadah memandang langit. Bintang-bintang bertaburan. Ah, mengapa tiba-tiba tersadarkan sudah beberapa tahun ia tak menikmati lagi keindahan alam macam ini? Bintang-bintang di langit, yang menjadi pengisi waktu sekaligus membangkitkan imajinasi dan mimpi, dengan hitungan-hitungan yang tak pernah usai. Apalagi jika berbaring di hamparan pasir dengan sayup debar ombak pantai selatan. Ya, hal yang biasa dilakukan setidaknya sebulan sekali. Baik sendiri atau bersama kawan-kawannya. Saat mencoba menyatukan diri dengan alam, menumpahkan segala kesah dengan teriakan semerdeka mungkin, menari mengikuti gerak yang terlahir dari setiap bagian tubuhnya, hingga keringat deras mengalir, berguling melekatkan pasir-pasir. Sampai kehilangan daya dan terkulai, berebah memandang langit. Merasakan diri bagai sebutir pasir di luasnya semesta. Kesadaran atas keterbatasan, semakin membangkitkan gairah. Ya, semacam itulah, biasanya, lebih dari 25 tahun lalu.
”Gantungkan cita-cita setinggi langit,” pendiri negeri ini pernah menyatakan demikian.
Sebagai kaum muda, memang tidak perlu takut membangun mimpi, termasuk memimpikan sesuatu yang dinilai orang-orang ”tidak mungkin”. Keberanian disertai langkah-langkah nyata, pastilah tidak akan sia-sia. Jika belum tercapai, pastilah ada kemajuan yang teraih. Percayalah....
7/1/15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H