[caption id="attachment_363296" align="aligncenter" width="400" caption="Punggawa Srimulat (roysfiles)"][/caption]
Oleh Odios Arminto
Sejarah literatur perlawakan Indonesia memang gelap. Beda dengan seni sastra, lukis, suara dan seni-seni elitis lainnya. Di masa lalu, seni berbasis humor atau lelucon, domainnya rakyat jelata. Para abdi atawa punakawan. Para bendara atau kaum priyayi umumnya, harus jaim. Tampil angker supaya berwibawa. Tidak berwibawa, uang kembali; eh, pamor sosialnya langsung jatuh.
Di masa kini, memang ada sedikit kemajuan. Ada apresiasi. Entah itu karena pelawak dihargai mahal atau masyarakat telah menyadari apa manfaat humor bagi kehidupan sehari-hari. Yang jelas, di berbagai Negara maju, seni berbasis humor menjadi primadona dan mendapatkan perhatian istimewa. Banyak pihak – multidisplin ilmu, multiprofesi - tertarik menggali dan mencoba menguak manfaat yang ada di baliknya.
Puncak-puncak kronologi seni lawak Indonesia ini hanya salah satu versi untuk mencatat jejak-jejak penting yang pernah terjadi agar sebagai bangsa kita tidak buta sejarah. Dengan demikian kita tidak tergagap-gagap atau gampang kagetan ketika merespon datangnya bebagai seni lawak yang berasal dari luar. Sebutlah stand up comedy, misalnya. Ia mungkin dianggap “barang” baru, tapi apa iya? Apa kita tak punya jejak terkait dengan seni sejenis itu? Mari melek sejarah perlawakan kita sendiri.
Tersebutlah nama Cak Markeso. Seniman ludruk tunggal dan garingan (tanpa iringan musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial, sekitar tahun 1949. Sebelumnya ia pernah tergabung dalam sebuah grup yang bernama "Ludruk Cinta Massa". Karena suatu alasan, ia memilih keluar dari grup tersebut dan bersolo karier.
Ia kemudian mengamen dari kampung ke kampung di Surabaya. Bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai dalam memancing imajinasi penonton.
Agak melompati waktu. Bentuk pertunjukan lawak tunggal sejenis stand up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 – 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat misalnya nama pelawak Arbain, dengan logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai, sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama.
Sementara itu, meskipun tidak rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.
Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, sebagian di antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua terjaga, elegan dan berkualitas.
Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo atau Junaedi; setelah ger-geran antara lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi.
Di pertunjukan ketoprak, ludruk, seni pertunjukan rakyat lain, juga punya kecenderungan yang sama. Pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan penonton, kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain.