Oleh Odios Arminto
Hanya orang dengan kapasitas “empu” yang dapat menemukan definisi lelucon dengan kalimat yang demikian efisien dan mengena. Jam terbang empiris Teguh Srimulat yang panjang dan penghayatan mendalam pada profesi, telah membawanya tiba pada suatu pemikiran yang strategis ketika Srimulat bergerak dari grup sandiwara opera menuju ke grup sandiwara komedi.
“Lucu itu apa Pak Teguh?” Tanya anggota Srimulat.
“Lucu itu…aneh!” jawab Teguh Srimulat dengan tak menduga kalimat itu dapat meluncur begitu saja dari mulutnya.
Mari kita “bedah” kata ANEH dalam pemahaman yang lebih terstruktur, sistematis dan masif. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, bapak humor Indonesia) memberi dua anatomi kunci terkait dengan sosok yang bernama lucu atau lelucon. Pertama, baru; dan kedua, beda. Baru dan beda.
Makna harfiahnya, setiap kata atau istilah atau terminologi yang terdengar baru dan beda, pasti menarik perhatian bagi pendengarnya. Dalam lelucon kunci penting yang membuatnya berhasil atau tidak adalah KOMUNIKASI.
Sesuatu yang menarik perhatian berarti ada komunikasi di sana. Fase berikutnya adalah komunikasi itu efisien atau tidak? Kalau efisien berarti KOMUNIKATIF. Kalau kurang efisien, bisa ada dua kemungkinan, pertama, leluconnya gagal; kedua, pendengar atau komunikannya belum berada di level pehamanan yang diharapkan komunikator. Itu artinya, untuk dapat memahami lelucon secara efektif dan efisien, juga diperlukan sikap aktif pihak komunikan untuk selalu up to date dan memperluas wawasan.
Lucu itu Aneh
Aneh, sesuatu yang tidak lazim. Ada nuansa baru dan beda di sana. Teguh, menyimpulkan dengan sangat efisien dan mengena tentang “rasa holistik”-nya sebagai seorang praktisi tentang kata lucu atau lelucon. Itu sudah sangat memadai ketika dalam implementasinya, lahirlah out put para anggota Srimulat yang memiliki karakter tipikal atau stilisasi karakter yang tergolong genuine.
Sebutlah misalnya Gepeng, Paul, Triman. Asmuni, Tarzan, Timbul, Basuki, Gogon, Polo dan beberapa lainnya. Pencapaian itu tentu saja juga berkat upaya dan jemput bola sang pelawak. Mereka terus-menerus mempertajam detail dan anatomi karakternya.
Ketika orang bicara tentang Mr. Bean (Rowan Atkinson), kita akan mendapatkan kesan yang tajam tentang orang bertubuh dewasa namun berperilaku seperti anak umur 9 atau 11 tahunan. Sesuatu yang tidak datang secara tiba-tiba dan merupakan anugerah langit, tetapi keyakinan yang dibangun dengan penuh upaya, sangat konsisten dan percaya diri.
Lucu itu aneh, pada akhirnya menjadi sebuah ideologi khas Srimulat. Sebuah ideologi yang terus-menerus menjadi acuan hingga generasi ke generasi. Kalau dalam perkembangannya kini Srimulat seakan hanya tersisa beberapa personal, itu sebenarnya hanya soal manajemen. Kata Arwah Setiawan, ketua dan pendiri LHI (Lembaga Humor Indonesia), anggota Srimulat telah menghadapi situasi yang membuat kelompok tersebut mengalami gegar budaya, dari semula organisasi berforma paguyuban lalu seiring perkembangan zaman, menjadi dituntut ke forma administratif, namun belum seluruh anggota siap untuk menuju ke sana.
Sebenarnya, soal manajemen hanyalah soal teknis belaka. Angkatan muda penerusnya sudah pasti memiliki perangkat keilmuan untuk mengaplikasikannya ke dalam organisasi tersebut. Namun warisan pandangan hidup atau katakanlah ideologi yang bernama “Lucu itu Aneh” sungguh sebuah harta karun kebajikan yang tak ternilai harganya.
Sanggupkah para anggota Srimulat yang kini tersisa untuk menyatu kembali dan membangun kekuatan dari situasi yang memisahkan mereka - ego kesuksesan individual – menuju ke keutuhan spirit kelompok yang tetap mengakomodasi perkembangan atau perubahan zaman?
Itulah persoalan dasarnya. Atau kalau tidak, ya, forget it! Biarlah jadi bagian dari sejarah yang kemudian kita letakkan dalam album kenangan.
Catatan:
Kho Tjien Tiong, atau dikenal dengan Teguh Slamet Rahardjo (lahir di Klaten, Jawa Tengah, 8 Agustus 1926 – meninggal di Solo, Jawa Tengah, 22 September 1996 pada umur 70 tahun) adalah seorang seniman Indonesia. Teguh lahir dari keluarga miskin di Bareng, Klaten, Jawa Tengah, dari pasangan Ginem dan Go Bok Kwie. Teguh menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) Purwoningratan, Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H