Oleh: Odios Arminto
Saya tidak peduli apakah debat dengan Jokowi, Presiden Terpilih ini, nyata atau imajiner. Tidak penting amat. Pertemuan gagasan ini juga karena berangkat dari kegelisahan yang sama, ingin menyaksikan Indonesia maju, Indonesia yang top markotop. Gagasan Jokowi soal Revolusi Mental, Nawa Cita, tidak mengagetkan saya. Setengah abad yang lalu Jiddu Krisnhamurti, spiritualis dan guru dunia asal India yang tinggal di Inggris dan Amerika sudah ngomong soal itu. Kunci keberhasilan revolusi massa, dimulai dari revolusi individu.
Rencana Jokowi mengurai kemiskinan lewat pemberdayaan dari pinggir, harus diakui menarik. Tapi pengertian pinggir-tengah ini harus ditajamkan lagi. Apakah itu bermakna geografis atau filosofis. Kalau pengertian itu semata mengacu kepada makna geografis berarti bisa kecele, dia. Karena warga miskin kota juga tak kepalang jumlahnya.
Revolusi humor yang saya tawarkan, sebuah pengertian cair tentang kebekuan dan kebuntuan budaya yang melanda seluruh pori-pori daya hidup kita karena bangsa kita telah terlalu lama mengonsumsi pil doping yang namanya Ekonomi Liberal. Kita mabuk pada kompetisi terbuka yang sesungguhnya sangat, sangat tidak lucu dan tidak cocok dengan kultur bangsa ini. Kecuali…
Kecuali apa? Kecuali nanti kalau tingkat pemerataan kompetensi sudah berada di level yang sama atau hampir sama.
Jarak Kesenjangan
Mari kita tengok data “kadaluarsa” berikut ini. Jarak kesenjangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia adalah fakta yang tak dapat dinafikan. Mereka menempati lapis-lapis kelas yang sangat khas. Dari kelas bawah, menengah hingga atas. Tiap kelas menampilkan profil yang berbeda. Berbeda bukan saja pada aspek ekonomi, namun juga pendidikan, kesehatan, pengetahuan, pekerjaan, akses informasi, jaringan, infrastruktur dan lain-lain.
Merujuk data BPS (Badan Pusat Statistik) Maret 2013, wah, kayak artikel opini serius nih, disebutkan jumlah penduduk miskin (dengan pengeluaran per-kapita per-bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 %), berkurang sebesar 0,52 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012, sebesar 28,59 juta orang (11,66 %).
Sementara yang terjadi di kelas menengah, proporsi kelas menengah di Indonesia telah meningkat dari 36% pada 2010 menjadi 56,5% pada 2013. Sedangkan jumlah penduduk pada tataran kelas atas, menurut riset Standard Chartered Bank menyebutkan, jumlah orang mapan atau berpenghasilan Rp240-500 juta per-tahun mencapai empat juta orang.
Data di atas sangat menggelitik. Anda ngerti apa tidak analisis ini, baca aja terus. Kadang-kadang, analisa humor justru lebih serius dari apapun yang ada di dunia ini. Kalau basis hitungan jumlah seluruh penduduk Indonesia 240 juta jiwa, maka akan kita dapatkan resume: 11,37 % = 28, 07 juta penduduk kelas bawah; 56,5% = 135, 6 juta penduduk kelas menengah; dan sisanya (100 – 67,87% = 32,13% ) sama dengan 76,40 juta jiwa. Dari jumlah ini, 4 (empat) juta masuk kategori penduduk mapan (kelas atas). Pertanyaannya, 72,40 juta jiwa yang tersisa akan dimasukkan ke mana? Pada penduduk usia nonproduktif (anak-anak, remaja dan lansia) semua kelas atau sebagian saja?
Pada tahun 2013 majalah Forbes Asia merilis daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Ke 50 orang terkaya itu urutan pertama berada di R Budi dan Michael Hartono (Djarum, BCA): 15 miliar dollar AS (Rp 175,5 triliun); urutan ke-25 Djoko Susanto (Alfamart): 1,17 miliar dollar AS (Rp 13,689 triliun) dan urutan ke-50 Sutjipto Nagaria 390 juta dollar AS.
Sungguh prestasi anak-anak bangsa yang perlu diapresiasi mengingat mereka adalah para penyumbang pajak terbesar bagi Negara. Namun demikian, ketika kita disadarkan pada fakta bahwa jarak kesenjangan yang demikian kontras belum juga tereliminasi meskipun negeri ini sudah merdeka nyaris 70 tahun, masyarakat kembali mencoba mencari pencerahan ke dalam jati diri kearifan bangsa, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 45.
Mereka kembali mempertanyakan, mengapa kendati dasar Negara Indonesia adalah Pancasila, namun sistem perekonomian yang selama ini berlangsung tidaklah bersumber darinya? Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembangunan di Bidang Ekonomi UUD 1945 ditegaskan di dalam pembukaan, bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Penegasan tersebut tidak terlepas dari pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan, yakni bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat, bukan sebagian. Tapi kenyataannya?
Regulasi Penyelaras Kesenjangan
Kalau kita proyeksikan dalam sebuah analogi, kesenjangan rakyat Indonesia ibarat tiga pelari jarak jauh yang akan berlomba. Mereka bertiga sedang bersiap di start yang berbeda untuk menuju finish yang sama. Pelari C ada di start yang letaknya sangat jauh di belakang. Pelari B ada di start yang agak di tengah. Sedangkan pelari A ada di start yang letaknya paling depan. Mereka mewakili yang tertinggal dan tidak mampu (C), agak lumayan (B), dan sangat maju (A).
Ketika bendera dikibaskan sebagai tanda lomba dimulai, ketiganya langsung bergegas dan berlari menuju finish yang sama. Secara akal sehat, siapa yang akan jadi pemenang, semua orang dapat menebaknya; kecuali ada faktor-faktor luar biasa yang membuat pelari A maupun B tak dapat melanjutkan larinya: pingsan atau sakit, misalnya. Startnya tidak lucu, aturan mainnya juga tidak lucu. Itu tak mungkin diterus-teruskan. Negara harus hadir di sana, tidak membiarkan kompetisi begitu marimba dan bebas lepas.
Esensi dari analogi di atas adalah, sampai tahun berapapun, periode pemerintahan siapapun, rakyat Indonesia yang direpresentasikan pelari C (kelas bawah), tak akan pernah dapat memperoleh perubahan dan perbaikan standar kehidupannya. Oleh karena itu hanya oleh produk konstitusi yang diusulkan Pemerintah dan disetujui DPR yang akan dapat mengubah nasib mereka. Produk konstitusi yang dimaksud berupa Regulasi Penyelaras Kesenjangan. Kalau di Negara lain ada konstitusi wajib militer, maka di Indonesia perlu ada konstitusi wajib bangkit dan maju. Semua biaya ditanggung APBN dan APBD.
Produk konstitusi berupa: Pertama, Semua masyarakat kelas bawah (tertinggal) mendapatkan prioritas pemberdayaan urgen lewat pendidikan, pelatihan, pendampingan, pelaksanaan dan evaluasi hasil yang ketat. Pengawasan selain dilakukan pemerintah selaku fasilitator, juga oleh media, LSM, dan masyarakat.
Kedua, Bidang-bidang usaha dan SDM yang berada di garda paling depan, bersifat menunggu (sementara) sambil berbagi kompetensi kepada yang ada di bawahnya. Sikap ke-“negarawan”-an demikian tidak hanya dituntut pada para elit penguasa tetapi juga kepada seluruh warga negara; khususnya warga yang telah mencapai kompetensi sangat memadai, sebagai bukti bela dan bakti kepada Negara.
Ketiga, Bila pada pemerintahan tertentu program belum memadai, maka dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya. Namun bila program tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan, dalam 15 atau 20 tahun berjalan sudah tentu akan terlihat hasilnya.
Keempat, ketika semua unsur SDM telah berada di titik kilometer yang sama (mendekati sama), kran regulasi dibuka lagi. Kompetisi terbuka, yang sudah tentu lebih adil dan sehat dapat diberlakukan kembali.
Regulasi kesenjangan (REvolusi Humor) di atas bukannya tak menuai pro-kontra, seperti kekhawatiran terjadinya capital flight (investor kabur), misalnya, tetapi pemerintah yang bijak pasti akan dapat mengelola dengan baik hal-hal sensitif dan krusial semacam itu. Kemakmuran di Indonesia akan makin jelas perwujudannya ketika jarak dan kesenjangan kaya-miskin makin menyempit.
Demikian, jebret!…jebret!! Jebrettttttt!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H