Saat mobil pikap berbangku yang dinaiki Kabul dan kawan-kawannya berhenti di tepi jalan sebuah jembatan penyeberangan, tepat di pinggir sebuah persimpangan yang keempat sisinya berhias lampu merah, para gepeng masih terlena menjajakan kantong plastik bekas permen ke kaca-kaca jendela mobil. Tapi, saat Kabul dan teman-temannya turun dari mobil, seorang gepeng tiba-tiba berlari sambil berteriak, “Razia! Razia!”
Gepeng-gepeng pun berhamburan tak tentu arah. Sebagian bahkan ada yang berlari ke arah Satpol PP yang memang sudah mengepung lokasi. Suasana jalan jadi kacau. Orang-orang berseragam biru berlarian ke segala penjuru, menarik dan menangkapi para gepeng yang sebagian besar masih anak-anak. Jalanan yang semrawut bertambah kusut.
Pandangan Kabul tertuju kepada seorang pengemis kecil, sebaya anaknya, sedang kebingungan hendak menyeberang jalan menyelamatkan diri. Tapi, laju kendaraan menahan langkahnya. Melihat teman-temannya tertangkap, si pengemis kecil tampak kebingungan. Temannya sesama pengemis tiba-tiba saja menghilang. Berulang-ulang kakinya diinjakkan ke aspal jalan hendak lari menyeberang. Melihat ini, Kabul segera bergerak ke arah si pengemis kecil, mencoba mencegahnya agar tidak berlari menyeberang jalan. Sambil berlari kecil, Kabul memanggil dan memberi isyarat kepada si pengemis kecil agar jangan menyeberang. Melihat sekelebat tubuh Kabul dengan seragam cokelat tuanya berlari ke arahnya, si pengemis kecil panik dan lari menerobos jalan raya untuk menghalau kendaraan.
Kabul hanya diam membatu saat tubuh si pengemis kecil terkulai kaku. Sebuah sedan melemparkan tubuhnya sejauh 10 meter. Lalu lintas macet. Tampak kerubungan orang mengitari tubuh si pengemis kecil. Para pengguna jalan memandang sinis Kabul dan teman-temannya. Si anak dibawa ke rumah sakit, tapi melihat jauhnya badannya terlempar sepertinya rumah sakit tidak akan bisa berbuat banyak. Darahnya terlalu banyak mengalir di aspal jalan.
Kabul masih tetap di posisinya semula. Syarafnya seakan tidak mampu mengirim perintah ke otak untuk berbuat sesuatu, setidaknya menggerakkan badannya. Tubuhnya masih mematung. Mengapa harus dia yang menjadi pembawa nahas bagi si pengemis kecil? Mengapa hatinya selalu nelangsa saat melakukan penertiban? Ia mencoba menanggung rasa bersalah yang akan selalu menjadi bayangannya seumur hidup. Kabul terbayang wajah anaknya berkata, “Ayah kejam.” (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H