[caption id="attachment_327420" align="aligncenter" width="300" caption="jemaah haji. Sumber : Republika"][/caption]
Perjalanan penuh idaman ini akhirnya akan kutempuh. Perjalanan ke suatu tempat yang katanya bisa lebih dekat dengan Nya, bisa lebih merasakan kehadiran Nya. Walau sebenarnya dimanapun kita, dalam kondisi apapun, Dia akan selalu dekat dan hadir kalau kita menginginkan Nya. DIA tidak menentukan tempat dimana kita harus merapalkan nama Nya, dan meminta banyak permohonan....
Tapi di sana setiap bentangan sejadah, sujudan dahi dan rentangan tangan akan berbeda. Setiap ulangan kata menyebut nama Nya terdengar lebih syahdu. Sekali lagi...Dia tidak menentukan tempat dimana kita harus merapalkan nama Nya. Tapi sekali lagi disana berbeda....
Alhamdulilah, akhirnya tahun ini aku dan mas Dhani bisa berangkat haji. Tak sia-sia tekad kami untuk menabung sejak lima tahun yang lalu, sekarang berbuah manis—sebuah perjalanan yang diidam-idamkan hampir semua umat Islam di dunia. Sebuah perjalanan evaluasi dari dosa dan pahala yang sudah dibuat, sebuah perjalanan pulang...
Mendekati hari keberangkatan ada perasaan lain dalam diriku. Perasaan yang juga sama dialami mas Dhani—aku dapat melihat dari matanya saat menatap dua buah hati kami, Laira dan Raisa—dan mas Dhani melihat hal yang sama dari mataku.
Jauh hari sebelum berangkat, aku dan mas Dhani sepakat menitipkan anak-anak kepada ibu. Ibu yang sewaktu saya menginjak SMA juga pernah berangkat haji, saya boyong kerumah.
Malam ini, aku dan mas Dhani kembali baraut wajah sama—menatap dalam kedua buah hati kami yang sedang belajar. Laira yang sudah kelas II SMP, tampak bersemangat mengajari adiknya, sama semangatnya seperti dulu aku begitu semangat membantu ibu membesarkan adik-adikku.
Melihat tatapanku yang sama dengan tatapannya, mas Dhani memegang tanganku. Aku pun merebahkan kepalaku di dadanya. Kami memilih diam dan kembali menyaksikan buah hati kami sepuas-puasnya seakan tidak akan melihatnya lagi.
”Ibu mengerti kebimbangan kalian,” ujar ibu yang ternyata dari tadi memperhatikan kami. Ibu memang faham betul beratnya perjalana haji. Dia yang dulu berangkat berdua harus pulang sendiri.
”Orang naik haji itu ibarat meninggal dunia, jadi sebelum berangkat harus bersih. Bersih lahir dan batin, jangan ada perasaan dan masalah yang tersangkut. Naik haji bukan hanya siap materi dan fisik, tapi juga harus siap mental. Allah akan memberi jalan terbaik bagi kalian berdua,” ucap ibu lembut.
Ucapan ibu agak mengikis kekhawatiran yang merundung kepala ku. Ini adalah sebuah perjalanan mulia, sebuah perjalanan yang diidam-idamkan semua umat Islam yang beriman. Perjalanan yang turut digariskan sebagai salah satu prinsip dalam agamaku. Berdosanya aku berburuk sangka atas salah satu perintah NYA.
Tapi saat melihat dua buah hatiku yang masih belum beranjak dewasa, rasa khawatir itu kembali menjalar. Laira yang walaupun sebentar lagi akan berseragam putih abu-abu, tapi setelah menonton film horor, malamnya pasti mengendap-ngendap ke kamarku dan menyelinap tidur diantara aku dan mas Dhani. Raisa yang tali sepatunya masih harus aku bantu kaitkan saat hendak ke sekolah, membuat perjalanan ini terasa begitu berat.
Seperti kebiasaan sebelum berangkat haji, aku dan mas Dhani mengadakan perayaan perjalan atau Walimatus Safar. Kami mengundang keluarga besar, teman-teman kantor dan tidak lupa tetangga. Selama acara tidak henti-hentinya aku dan mas Dhani meminta maaf dan meminta doa agar selamat.
Saat acara berpamitan air mataku tidak henti-hentinya mengalir. Setiap jabatan tangan dan pelukan seakan-akan menjadi jabatan dan pelukan terakhir. Ya Allah begitu berat ingin berada di dekat Mu.
Malam ini adalah malam memantapkan hati. Sengaja malam ini aku habiskan banyak waktu bersama Laira dan Raisa. Kutitipkan banyak pesan kepada keduanya. Anehnya tidak ada sedikit pancaran kekahawatiran di mata keduanya. Sambil merangkulku keduanya malah menuliskan catatan pesanan oleh-olehnya masing-masing. Sampai mereka tidur, raut wajah keduanya begitu tenang...
Air mataku tumpah di pangkuan ibu. Mas Dhani yang kedua orangtuanya sudah tidak ada, menjadikan ibu juga sebagai tumpahan air mata nya. Permohonan maaf terus mengalir dari mulutku. Doa agar aku bisa kembali dan melanjutkan baktiku kepadanya juga tak henti ku pinta.
”Bu karena perjalanan ini, ibarat perjalanan meninggalkan dunia kutitipkan kedua anakku kepada ibu. Didiklah mereka seperti ibu mendidik aku. Katakanlah kepada mereka apa yang ibu katakan kepada anak-anak ibu saat ayah tidak pulang bersama ibu selesai haji. Beri jawaban yang sama saat aku menanyakan dimana jasad ayah, katakan kepada mereka bahwa jika nanti tubuh ku dan mas Dhani tidak pulang, sebenarnya kami sudah pulang ke kampung halaman umat manusia.....ajarkan mereka kuat seperti ibu mengajarkan aku kuat....,” ucap ku sambil memeluk ibu...
Kutitipkan pula sertifikat rumah dan polis asuransi kepada Ibu. Ucapan ibu bahwa perjalan haji, ibarat orang meninggal benar-benar aku laksanakan. Kepasrahan menjadi mutlak untuk menjalani perjalan ini....
Perjalan menuju pulang ini akhirnya aku jalani. Derit suara ban pesawat yang beradu dengan aspal landasan Bandara King Abdul Azis, juga menderitkan perasaanku. Akhirnya aku tiba. Ada perasaan lain saat menghirup udara dan menginjak tanah suci. Udara dan tanahnya seakan punyamagnet dan selalu memanggil-manggil ku, ”di sinilah asal mu”. Terlintas cerita-cerita yang pernah aku baca tentang Mekkah, Tentang Ka’bah, cerita orang-orang tentang tarikan magnet sebuah bangunan kubus yang hanya terbuat dari batu-batu kasar.
Hari menjelang siang, sebentar lagi waktunya tiba. Aku akan menuju titik dimana semua sujudan mengarah ke sana. Saat keluar, udara menerusuk hidung ku, saat pemandangangan mata ku dipenuhi jubelan orang yang dibalut helaian kain sama, saat warna putih menutupi retina hitam mataku, semangatku melambung, tapi diriku jadi menciut, aku merasa kecil, sangat kecil, kebangganku sebagai manusia hilang. Dan saat melihat bangunan kubus berbatu kasar itu, lutut ku lemas, air mataku tiba-tiba menetes,aku kaku....tapi saat mata ku menatapnya lagi, bangunan kubus berdinding batu kasar itu menarikku untuk mendekat....
Doa yang hendak kurapalkan, tak terdengar sedikit pun, walau hanya sayup-sayup. Aku hampir saja beranjak, aku malu, aku sudah begitu dekat dengan Nya, aku merasa kehadiran Nya, aku tidak pantas meminta apa-apa pada Nya. Apa hak ku telah curiga kepada Nya, apa hakku mengkhawatirkan anak-anakku, resah atas keselamatan ku dan suami ku, apa hakku atas semua yang sebenarnya milik Nya, semua yang sebenarnya sudah digariskannya.
Padahal sejarah sudah mengajarkan, kepasrahaan dan keikhlasan adalah sari dari ibadah ini. Kepasrahan dan keikhlasan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail.
Aku malu, doa ku hanya tangis.Tak pantas aku menjadi salah satu tamu MU. Sebelum melihat bangunan kubus berdinding batu kasar itu ,hatiku masih penuh prasangka.”Ya Allah hamba mu pasrah,” ucap hati ku berkali-kali. ”Ini baru perjalan awal ya Allah, biarkan sisanya, hamba tunjukkan kepasrahan kepada MU”.
Rangkaian perjalanan haji ini pun kujalani dengan penuh kepasrahaan dan air mata. Setiap sujudan yang kulakukan terasa berbeda disini. Aku milik Nya, aku tidak berhak atas diriku, aku tidak berhak atas anak-anakku, atas ayahku yang tidak pernah kembali. Semua itu miliknya, dia berhak atas semua yang diciptakannya. Perjalan ini membuka mataku, bahwa kepatuhan yang paling besar kepada Nya adalah kepasrahan kepada NYA.
Selesai melempar jumrah, pegangan tanganku tiba-tiba ringan. Telapak tangan mas Dhani tidak berada dalam genggamanku lagi. Ayunan tangan jemaah yang sedang melempar krikil-krikil kecil dan gerakan tubuh jemaah haji yang lalu-lalang membuat aku tertahan tetap di posisiku. Hatiku mendesir, mataku terus mencari, tapi yang kelihatan hanya jubah-jubah putih. Semua jemaah tampak sama. Aku mengapit diantara jemaah yang lain, tapi tak satupun jemaah haji yang kukenal.
Akhirnya tinggal mulut yang memanggil nama mas Dhani, tapi suara percikan batu yang beradu dengan angin dan rapalan doa para jemaah menenggelamkan suaraku. Bulir air mata pun mulai mengalir. Aku berusaha menepi, beranjak dari kerumunan jemaah yang tak ada habisnya. Mata ku terus tertuju pada jubelan jemaah yang sedang melempar jumrah. Aku yakin mas Dhani masih disana dan sedang berusaha keluar dari himpatan. Aku terus menunggu.
Penantian tidak sia-sia, wajah mas Dhani tiba-tiba menyembul dari balik tubuh-tubuh jemaah, tersenyum kearahku. Dengan reflek aku langsung ingin menerobos kerumunan jemaah dan menjemput mas Dhani. Namun mimik wajah mas Dhani menyuruhku untuk tetap di tempatku.
Aku mulai curiga, wajah mas Dhani kenapa bisa muncul diantara kerumunan para jemaah yang berbadan besar dan tinggi. Dia kelihatan lebih tinggi dari mereka, tubuhnya seperti diangkat. Dia berusaha berbicara kepada ku, tapi suaranya tenggalam diantara deru batu dan rapalan doa. Dia kembalitersenyum, senyum terindah yang pernah aku lihat.
Aku lihat dia sedang berbicara, kali ini dengan dua orang jemaah yang ada di sisi kanan dan kirinya, palingan wajahnya juga melihat ke arahku. Dua jemaah yang berwajah sama dengan mas Dhani, wajah yang penuh cahaya. Kembali mas Dhani menatapku, mencoba berbicara, kali ini aku dengar jelas apa yang diucapkannya. Suara desingan batu dan rapalan doa tiba-tiba lenyap, tinggal suara aku dan mas Dhani. Kami berbicara begitu intimnya.
Aku tersenyum ketika mas Dhani melambaikan tangannya, dan menganggukkan kepala kepada dua orang jemaah yangmengapitnya. Wajah mereka kembali tenggelam dalam jubelan jemaah. Tidak pernah hatiku setenang dan sepasrah ini. Air mata yang mengalir ini tanda kepatuhan ku kepada MU ya Allah....
Sekarang aku mengerti kenapa ibu dulu begitu tenang saat pulang haji hanya sendiri. Tidak ada kesedihan di matanya, dia begitu tenang menerima kepergian ayah. Dia tidak pernah mengeluh harus membesarkan anak-anaknya sendiri, kemudahan selalu menghampirnya saat membesarkan aku dan adik-adikku.
Ibadah haji ini pun selesai, aku dan jemaah yang lain bersiap-siap kembali ke tanah air. Terbayang wajah anak-anak ku, Laira dan Raisa. Terbayang senyum mas Dhani saat dua jemaah yang mengapitnya membawanya pergi. Ya Allah, semuanya kepunyaan Mu, aku tidak berhak memiliki apalagi mengkehendakinya, bahkan atas diriku sendiri. Kepatuhan tertinggi adalaah kepasrahan kepada MU. Aku pulang dengan senyum...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H