Mohon tunggu...
Odilia Astuti Wijono Banjuradja
Odilia Astuti Wijono Banjuradja Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

I'm not lucky - I'm so blessed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lontong Cap Go Meh dan Kebaya Encim, Inilah Inkulturasi yang Indah Itu!

17 Februari 2011   16:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297970043373871251

[caption id="attachment_91540" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Iwan Setiyawan)"][/caption]

Hari ini orang tionghoa seluruh dunia merayakan CAP GO MEH (dari dialek ho kian, artinya hari ke lima belas bulan pertama), perayaan penutup festival musim semi yang sudah berlangsung selama dua minggu sejak tahun baru Imlek (sin cia). Kalau saya amati, tiap daerah punya tata cara perayaannya sendiri, tidak ada yang seragam.  Singkawang - Kalimantan Barat adalah kota di Indonesia yang paling heboh perayaannya. Tapi bukan ini topik bahasan saya. Saya ingin menyorot tentang hidangan yang melekat dengan perayaan ini: lontong cap go meh, dan trend busana yang dipopulerkan oleh nyonya-nyonya peranakan tionghoa yang dikenal sebagai  kebaya encim.

LONTONG CAP GO MEH

Khusus di pulau Jawa (terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah), LONTONG CAP GO MEH adalah hidangan wajib yang harus ada. Ini yang menarik! Hidangan ini terdiri dari lontong, kare ayam, sayur rebung (orang jawa menyebutnya sambal goreng)  bersantan dengan udang dan petai sebagai tambahan, sambal goreng kentang ampela ati- juga pakai petai, telur masak petis, bubuk kedelai, dan koyah kelapa, kalau suka boleh ditambah sambal bajak. Lebih kurang bisa disamakan dengan lontong sayur. Pasti Anda semua bertanya, koq masakan jawa? Bukannya seharusnya ini hidangan  Tionghoa? Waktu saya kecil saya menanyakan ini ke ibu saya, dan ibu saya tidak bisa menjawab. Beliau cuma mengatakan ini sudah tradisi turun temurun! Saya juga pernah bertanya ke ibu seorang teman saya yang lahir di daratan Tiongkok, sebenarnya hidangan seperti apa yang disajikan waktu perayaan cap go meh. Ibu tersebut mengatakan bahwa memang ada hidangan yang menyerupai lontong kita, tapi tidak persis sama. Saya sudah berusaha bertanya ke Oom Google, juga tidak menemukan jawaban yang saya cari. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, bahwa ini adalah produk inkulturasi. Para pendatang telah mengawinkan tradisi mereka dengan budaya setempat. Kalau memang benar kata ibu teman saya itu bahwa ada hidangan semacam lontong di daratan Tiongkok sana, berarti para pendatang awali dulu berusaha mencari padanannya dengan produk boga lokal, yaitu lontong. Sayur rebung yang wajib ada, saya melihatnya sebagai lambang musim semi, juga pengharapan akan bertumbuhnya rezeki dan kebahagiaan dalam keluarga. Telur melambangkan kehidupan baru, tetapi kenapa dimasak dengan petis yang berwarna hitam kecoklatan? Kenapa tidak direbus dengan sumba warna merah seperti biasanya? Lantas apa maksud di balik 'piranti' yang lain, seperti kare ayam, sambal goreng hati, bubuk kedelai, dan koyah? jujur saya belum bisa menemukan jawabannya, Mungkin rekan-rekan kompasioner dapat membantu saya. Yang jelas, secara keseluruhan kombinasi masakan-masakan tersebut sangat pas berkolaborasi dalam piring kita. Lontong cap go meh telah menjadi hidangan favorit siapa saja. KEBAYA ENCIM Produk inkulturasi yang indah lainnya adalah KEBAYA ENCIM. Beberapa dekade yang lalu, kita bisa membedakan mana wanita totok dan mana babah. Para wanita tionghoa totok masih mengenakan CIONG SAM, busana khas Tiongkok, blus berkerah tinggi yang disebut kerah shanghai, dan celana panjang agak gombrong, atau gaun terusan dengan kerah shanghai sebagai penanda. Lain halnya dengan para nyonya babah. Mereka mengenakan kain dan kebaya,  termasuk nenek saya. Bila kita cermati, gaya busana nyonya babah (selanjutnya saya pakai istilah encim - panggilan untuk istri paman) ini lain dengan kebaya pribumi. Corak kain batik encim bukan seperti yang biasa dipakai ibu-ibu jawa, yang dominan warna coklat. Batik encim lebih bercorak dan berwarna. Kadang ada gambar bunga mei (mei hwa)  dan burung hong . Ada yang unik (paling tidak yang biasa saya lihat di koleksi batik nenek saya) dari corak kain encim, yaitu corak pagi sore, satu lembar kain punya dua corak dan nada warna yang berbeda. Cara pemakaian kain juga beda antara kain jawa asli dan kain encim. Kain jawa kita sebut sewek, satu lembar utuh dililitkan di badan, untuk acara khusus bagian depannya diwiru (dilipat kecil-kecil seperti kipas). Kain encim boleh kita namakan sarung - mungkin karena mereka tidak bisa berjalan bila kain dililit terlalu ketat seperti wanita jawa yang gemulai. Dengan kain berbentuk sarung, pemakaian jadi lebih praktis, karena tinggal dimasukkan ke badan, dilipat, ditali di bagian perut, jadi sudah! Dengan corak pagi sore, satu sarung bisa dipakai dalam dua gaya. Ekonomis bukan? (Ini ciri mereka!) Bila kebaya jawa memakai 'kutu baru', semacam kain segi empat kecil dipasang di bagian dada, kebaya encim tidak memakai kutu baru, mirip dengan kebaya yang dikenakan RA Kartini. Kebaya encim adalah kebaya pendek, tidak sepanjang kebaya ala Ibu Kartini, dengan bordiran di sekeliling pinggiran kebaya dan lengan. Kebaya encim biasanya berwarna putih dan warna-warna muda lainnya, dibuat dari kain katun tipis (dulu nenek saya menyebutnya pual) atau semacam kain berenda untuk acara-acara khusus. Mereka sangat menghindari warna hitam dan gelap, itu warna duka cita dan "bo hokkie" - tidak membawa untung. Sering kali kebaya encim berlengan seperti agak kependekan. Ternyata ini ada maksudnya, supaya gelang keroncong yang mereka pakai bisa kelihatan! Jika kaum wanitanya mengadopsi busana lokal, saya melihat busana pria tionghoa sekarang diadopsi menjadi baju koko. Baju laki-laki tionghoa sehari-hari disebut baju shiang ho - kakek saya almarhum  memakai baju ini. Baju shiang ho terdiri dari celana gombrong (tidak memakai karet kolor, tetapi dilipat dan dikencangkan dengan ikat pinggang), - kalau kakek saya memakai corak garis-garis mirip piyama, dan baju berleher ketat, tetapi tidak berkerah, dengan lengan gombrong, kancing berderet di depan. Kalau Anda ingat baju Benyamin S di film-film berlatar belakang Betawi, seperti itulah kira-kira busana para encek (artinya paman).  Dan gaya busana ini diadopsi oleh orang betawi (banyak budaya betawi yang sangat kentara mendapat pengaruh dari budaya tionghoa, panggilan ENGKONG untuk kakek, pakaian pengantin betawi, makanan, hanya untuk menyebut beberapa), yang kemudian berkembang menjadi baju koko yang biasa dipakai oleh laki-laki muslim. Zaman dulu, nenek moyang kita begitu mudah untuk saling beradaptasi, saling mempengaruhi, saling menyesuaikan. Semuanya berjalan apa adanya, tanpa gesekan dan konflik. Semua tatanan harmonis ini harus pelan-pelan rusak dengan kehadiran Belanda yang takut dengan persahabatan pribumi - pendatang tionghoa. Mulailah pemerintah Belanda menciptakan sekat-sekat dengan menciptakan wilayah hunian untuk tiap-tiap etnis: pecinan, kauman, mentaraman. Disusul dengan kebijakan rezim orde baru yang memusuhi segala sesuatu yang berbau tiongkok. Sekarang sekat kita ditambah dengan sekat yang namanya agama. Agama satu menjaga jarak dengan agama lainnya. Padahal dulu, waktu saya kecil, saya bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa melihat apakah teman saya itu beragama Islam, Kristen, Budha, Kong Hu Tju, ataupun  tidak beragama. Ternyata yang berbeda itu bukan berarti harus diasingkan, saling mempengaruhi bukan berarti kehilangan identitas, saling berbagi bukan berarti harus kehilangan. Kita belajar dari perjalanan panjang nenek moyang kita, dan mari kita jadikan hidup sosial bermasyarakat kita lebih baik. Saling menghargai,  saling belajar, saling membuka diri, buang rasa curiga dan menghakimi, yang ada tinggal rasa kasih dan toleransi, semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun