Beberapa hari yang lalu ada teman saya yang curhat mengenai keinginannya untuk berhenti dari insitusinya (institusi pemerintah) yang sekarang. Namun ia sendiri masih bingung dengan pilihan apakah ia harus tetap berada di tempatnya bekerja dan memperbaiki kesalahan dalam sistem kerja yang ada atau perlukan ia kerja di institusi lain dengan sistem insentif dan disentif karyawan yang jelas. Permasalahannya di inistitusinya yang sekarang, dia tidak melihat adanya capacity building yang jelas. Hampir seluruh karyawan yang bekerja disana diperlakukan sebagai pelaksana kegiatan. Mereka (termaksud teman saya ini) tidak mengerti substansi dari pekerjannya. Hal ini karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam merancang sebuah program/project. Tidak ada komunikasi dua arah antara atasan dan staf. Mereka hanya harus melaksanakan program sebagaimana telah dirancang di dalam TOR.
Berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan insitusi pemerintah belum memiliki mekanisme insentif dan disinsentif karyawan yang jelas. Atasan sibuk dengan pencitraan dirinya sehingga mengabaikan staf yang selama ini membantunya di balik layar. Akibatnya kemampuan staf mandek, hanya bisa mengerjakan pekerjaan administrative yang itu-itu saja tanpa mengerti big picture dari seluruh rangkaian kegiatan yang mereka lakukan. Selain itu, mereka tidak tahu value pekerjaan mereka. Itu sebabnya kebanyakan karyawan yang memilih terus bekerja diinstitusi pemerintah tidak punya passion terhadap pekerjaan mereka. Hidup menjadi monoton: bangun pagi, sarapan, kerja, makan siang, kerja lagi, pulang, makan malam, tidur. Begitu terus ritmenya. Dengan biaya hidup yang tinggi di Jakarta, bekerja dengan kondisi seperti itu bagai di hukum penjara seumur hidup bagi saya.
Pemimpin yang baik seharusnya memperhatikan kondisi lingkungan kerja mereka. Pemimipin yang mengutamakan pencitraan saja tidak bisa dibilang sebagai pemimpin. Bagaimana pun yang memimpin Indonesia nantinya adalah generasi muda. Itu sebabnya penting untuk memberikan capacity building untuk kaum muda yang baru menjejaki kariernya di pemerintahan. Bila terus menerus dibiarkan kosong, lama-lama mereka akan terbiasa dengan kondisi tersebut. Lebih ironis lagi adalah bila akhirnya mereka kebal dengan sistem birokrasi yang terlalu berbelit-belit dan merasa tidak ada yang salah dengan kondisi tersebut.
Proses pemberian capacity building kepada karyawan memang tidak bisa disimplifikasi. Perlu ada assessment yang jelas terhadap potensi dan kemampuan karyawan. Hanya saja, saya melihat bahwa dalam sistem birokrasi pemerintah kebayakan, tidak ada proses assessment yang jelas terhadap karyawan. Semuanya seolah-olah disamaratakan yakni yang senior diprirotiaskan untuk mendapat capacity building. Padahal belum tentu si senior layak mendapatkannya dan bisa saja si junior memiliki potensi yang sangat bisa dikembang dan akan bermanfaat bagi institusi tersebut. Fenomena yang sedang terjadi ini adalah sebuah sistem birokrasi hirearki yang telah tersistematis sejak sangat lama (sisa peninggalan sistem kolonial Belanda) sehingga akar kebobrokan menjadi sulit dibongkar. Bukan rahasia lagi bahwa sistem birokrasi tersebut tidak ideal dan sudah sepantasnya diubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H