Anak dibawah umur disidang secara in absentia di Pengadilan Negeri Tangerang. Ia didakwa terlibat tindakan terorisme bersama enam pemuda. Perlukah perlakuan yang sama untuknya?
Pada 11 Januari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menggelar sidang perdana perkara terorisme yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab (UBK), Bima, Nusa Tenggara Barat. Mustakim Abdullah alias Mustakim, seorang murid kelas III SMP 02 Dompu didakwa terlibat tindakan teror bersama dengan keenam terdakwa lainnya yang berumur antara 19 – 36 tahun yaitu Abrory, Sa’ban Umar, Rahmad Ibnu Umar, Asrak, Rahmat Hidayat, dan Furqon. Mustakim ditangkap pada 12 Juli 2011 dan menjadi tersangka kasus terorisme pada 19 Juli 2011. Mustakim yang masih dibawah umur tidak dihadirkan di Pengadilan Negeri Tangerang sebagaimana keenam terdakwa lainnya.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lalu Rudi Gunawan menyebutkan bahwa keterlibatan Mustakim dimulai saat ia membeli korek api dengan jumlah banyak atas permintaan Abrory, yang merupakan guru mengajinya di Pesantren UBK. Setelah sampai di Pesantren UBK lagi, ia lalu menggerusnya. Hasil gerusan korek api ini yang selanjutnya digunakan sebagai amunisi pada bom rakitan yang kemudian menewaskan Firdaus alias Suryanto Abdullah, kakak Mustakim yang merupakan perakit bom rakitan. Mustakim kemudian menyembunyikan keberadaan jenazah Firdaus, yang semasa hidupnya menjabat sebagai bendahara pesantren UBK.
JPU menuntut 1,5 tahun penjara dengan mendakwa Mustakim dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme pasal 13 huruf c, dikarenakan ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah memberikan bantuan terorisme dan menyembunyikan informasi tentang keberadaan jenazah Firdaus. Pada 8 Februari 2012 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Mustakim.
Cepatnya proses persidangan Mustakim menurut JPU merupakan hak setiap terdakwa untuk segera mendapatkan proses pemeriksaan dan pengadilan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 50 (1) sampai dengan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa sebagai terdakwa berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada Penuntut Umum, kemudian perkaranya untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut Umum, dan untuk segera diadili oleh pengadilan. Bertentangan dengan JPU, Tim Pembela Muslim (TPM), yang menjadi penasihat hukum Mustakim, tidak sepakat dengan penetapan Mustakim sebagai terdakwa teroris di Pengadilan Negeri Tangerang. TPM menyatakan bahwa undang-undang yang digunakan tidak tepat, seharusnya menggunakan Undang-Undang Pengadilan Anak. Seperti yang tercantum pada pasal 7 (1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
Hal lain yang tidak disepakati oleh TPM dalam kasus Mustakim adalah pengategorian teroris terhadap terdakwa anak. Tindakan Mustakim merupakan kepatuhan seorang anak atas perintah orang yang lebih dewasa, dalam hal ini guru mengajinya, Abrory. Berdasarkan informasi Darmansyah, sepupu Mustakim yang selalu menemaninya selama pemeriksaan, Mustakim tidak mengetahui mengenai bom, bahkan dia dipaksa oleh Abrory dan diancam akan dipukul dengan pedang jika tidak menjalankan perintahnya untuk membeli korek api. Dengan demikian, Abrory memanfaatkan kekuasaannya selaku orang yang lebih dewasa untuk mempengaruhi, menyuruh atau melibatkan anak yaitu Mustakim dalam suatu tindak pidana terorisme. Tidak tepat kiranya, jika kemudian Mustakim diposisikan sama dengan pelaku teroris yang dewasa.
Pengadilan Mustakim di PN Tangerang dapat memberikan legitimasi penjeratan hukum yang sama terhadap setiap anak yang terlibat dalam tindakan terorisme. Kejahatan yang mereka lakukan akan disederajatkan dengan pelaku kejahatan teroris orang dewasa. Penyamarataan ini akan menimbulkan efek samping. ‘Pelabelan’ anak yang terlibat dalam tindakan teroris sebagai teroris, sama seperti ‘senior-senior’ nya akan mengakibatkan beban psikologis tersendiri. Pada kalangan teroris, dia kemudian akan naik ‘kasta’ karena meski perannya sangat kecil, namun telah dihukum ‘sama’ dengan pelaku yang memiliki peran lebih besar.
Di sisi lain, stigmatisasi masyarakat yang menganggap si anak sebagai teroris akan dihadapi oleh si anak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), bahkan di sekolahpun anak tersebut mungkin akan sulit diterima kembali. Sikap diskriminatif yang dialaminya secara terus menerus dapat membuat trauma tersendiri dan dapat berujung pada sikap keyakinannya yang melegitimasi tindakan kekerasan yang waktu itu dituduhkan kepadanya. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa penyamarataan proses pengadilan pidana teroris bagi terdakwa anak akan menimbulkan dampak negatif yang memungkinkan berkembangnya tingkah laku ‘radikal’ (dukungan terhadap perilaku kekerasan), sehingga fungsi hukum untuk menimbulkan efek jera bagi tertuduh anak tidak akan tercapai.
Kurangnya perhatian terhadap dampak psikologis yang akan berpengaruh pada kehidupan anak yang terkait dalam kasus terorisme, menunjukkan masih kurang siapnya lembaga penegakan hukum dan peradilan dalam menangani kasus teroris dibawah umur. Dimulai dari penyidikan hingga digelar pengadilan, banyak hal yang tidak seharusnya dijalankan untuk Mustakim. Seperti pada saat penyidik menjalankan rekonstruksi untuk membuat berita acara selama proses penyidikan, yang tercantum dalam KUHAP pasal 75, Mustakim harus melakukannya bersama dengan tersangka lainnya dalam satu tempat dan terbuka untuk umum. Hal ini bertentangan dengan Undang Undang tentang Pengadilan Anak pasal 42 (3) yang menitikberatkan pada kerahasiaan dalam proses penyidikan.
Penggunaan Undang Undang Anti Terorisme terhadap Mustakim juga kurang tepat, terutama jika dilihat dari tingkat keterlibatannya dalam kasus teroris di Bima dan fakta usianya yang masih dibawah umur. Undang Undang Anti Terorisme hanya memiliki aturan penghukuman dalam bentuk hukuman penjara. Padahal pemberian efek jera tidak hanya dengan memasukkan seorang terdakwa, khusunya terdakwa anak ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Undang Undang Pengadilan Anak memberikan pilihan pidana lain yang bisa digunakan selain pidana penjara, antara lain pidana denda atau pidana pengawasan. Bahkan Undang Undang tersebut juga memasukkan hukuman selain pidana, yaitu berupa tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Walau bagaimanapun Mustakim yang tergolong anak-anak bukanlah teroris dewasa. Ia sama halnya seperti anak-anak lain yang mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (khusus) oleh lembaga penegakan hukum dan peradilan. Penting juga untuk memperhatikan bentuk program pembinaan bagi anak dalam kasus terorisme baik di dalam Lapas maupun program paska masa hukumannya. Negera mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hak-haknya sebagai terdakwa dan warga Negara di bawah umur tetap terpenuhi. Namun, jika lembaga pengadilan masih tetap memperlakukan anak sama seperti teroris lainnya untuk kasus-kasus yang serupa di masa depan, maka hal ini akan menambah panjang daftar kegagalan dari permasalahan terorisme dan kontra terorisme di Indonesia. Semoga saja tidak.